Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir berharap warga persyarikatan jangan berlebihan dan tidak terbawa pada polemik pernyataan Ketum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tetap ciptakan suasana tenang dan ukhuwah, tidak perlu bereaksi melebihi takaran. Tunjukkan warga persyarikatan cerdas dan dewasa," kata Haedar kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 29 Januari 2019.
Dalam keterangan tertulis, dia berharap pidato Ketum PBNU Said Aqil Siradj harus ditanggapi dengan bijak. Sebelumnya, viral pernyaaan Said Aqil di Milad Muslimat NU yang menyampaikan harapannya agar warga NU berperan di semua bidang untuk masa kini baik itu di ranah kursi pemerintahan, imam masjid dan berbagai posisi strategis lainnya. Pernyataan itu mendapat beragam respon dari publik.
"Hendaknya pernyataan Kiai Aqil Siradj jangan jadi polemik di lingkungan umat Islam dan masyarakat, lebih-lebih di tahun politik. Semua pihak diharapkan bijak dan tidak memperpanjang masalah ini. Kita lebih baik mengedepankan ukhuwah dan mengerjakan agenda-agenda yang positif bagi kemajuan umat dan bangsa," kata dia.
Haedar berpandangan negara dan instansi pemerintahan Indonesia harus menjadi milik bersama sebagaimana amanat konstitusi, jangan menjadi milik golongan.
Menurut Haedar, pemerintahan harus berasas meritokrasi atau dasar kepantasan dan karier. Janganlah pemerintahan didasarkan pada kriteria primordialisme atau sektarianisme.
"Jika Indonesia ingin menjadi negara modern yang maju, maka bangun 'good governance' dan profesionalisme, termasuk di Kementerian Agama," kata dia.
Dia mengatakan jabatan dalam pemerintahan sebaiknya diisi dengan orang-orang sesuai kecakapannya atau jangan berdasarkan kriteria golongan tertentu. Jika primordialisme itu dibiarkan tumbuh subur dalam institusi pemerintahan maka menghilangkan obyektivitas dan prinsip negara milik semua.
"Bahayanya jika hal itu dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi, bahkan dapat memicu konflik atau perebutan antargolongan di Indonesia," katanya.
Dia mengatakan Indonesia jangan didominasi satu golongan apalagi bermazhab golongan tertentu. Terlebih apabila pandangan tersebut meniadakan komponen lainnya dengan menganggap diri paling benar.
Jika hal semacam itu ditumbuhkembangkan, kata dia, dapat menuju pada fanatisme dan bisa menjurus pada radikalisme yang bisa bertentangan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Haedar mengatakan pernyataan-pernyataan di tahun politik saat ini harus seksama agar tidak memantik perpecahan karena bisa sensitif.
"Di tahun politik ini bahkan jauhi ujaran-ujaran yang berpotensi menumbuhkan retak di tubuh umat dan bangsa, jika ingin Indonesia rukun dan utuh sebagaimana sering disuarakan dengan penuh gelora," kata dia.
Said Aqil sebelumnya mengatakan tak akan menarik pernyataannya soal peran tokoh agama yang harus dipegang orang-orang NU. Mulai dari imam masjid, khatib, KUI hingga Menteri Agama, kata Said, harus dari NU.
"Lah memang khatib sekarang itu baca alqurannya plentang plentong. Makanya saya bilang kemarin, khatib kalau bukan dari NU itu salah semua. Pada marah kan, biarin," ujar Said Aqil dalam acara pembukaan Rakornas Lembaga Dakwah NU di Hotel Bidakara, Jakarta pada Senin, 28 Januari 2019.