Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. memilih menggugat ke MK karena laporan ke Bawaslu diabaikan.
Bawaslu menepis tuduhan yang menyebutkan bahwa mereka tidak netral dan abai dalam menangani kasus.
Mahkamah Konstitusi pernah mendiskualifikasi peserta pilkada yang tidak memenuhi syarat pencalonan.
Sikap Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang dianggap abai terhadap laporan dugaan kecurangan dalam proses Pemilu 2024 membuat dua pasangan calon memilih mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tim hukum kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. menilai Bawaslu tidak serius menanggapi laporan mereka atas cawe-cawe Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ari Yusuf Amir, Ketua Tim Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Anies-Muhaimin, mengatakan Bawaslu dinilai bertindak tidak profesional dalam mengawasi proses pemilihan presiden 2024. Ketidaknetralan Bawaslu dianggap memperkuat argumentasi adanya dugaan kecurangan proses pemilihan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ari, sejumlah laporan mereka tidak ditindaklanjuti Bawaslu. Dia mencontohkan saat Gibran hadir dalam silaturahmi nasional Desa Bersatu. Desa Bersatu merupakan kumpulan asosiasi perangkat desa yang belakangan menyatakan dukungan kepada Gibran. Kasus lain adalah dugaan politisasi bantuan sosial untuk memenangkan pasangan calon Prabowo-Gibran.
Ari menyebutkan Bawaslu tidak mengawasi secara aktif proses identifikasi dan penelitian oleh Komisi Pemilihan Umum terhadap Gibran, calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo. Penetapan putra sulung Presiden Jokowi tersebut sebagai cawapres oleh KPU dinilai cacat formil dan melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023. PKPU mensyaratkan usia cawapres minimal 40 tahun. Saat mencalonkan, Gibran masih berusia 36 tahun.
“Pengawasan padahal menjadi tugas Bawaslu berdasarkan Pasal 454 ayat 2 Undang-Undang Pemilu,” ujar Ari dalam ringkasan gugatan yang diterima Tempo pada Rabu, 27 Maret 2024. Pasal 454 ayat 2 UU Pemilu menyebutkan temuan pelanggaran pemilu merupakan hasil pengawasan aktif Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, panitia pengawas pemilu (panwaslu) kecamatan, panwaslu kelurahan/desa, panwaslu luar negeri, dan pengawas tempat pemungutan suara pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Ari menyayangkan sikap Bawaslu yang dinilai tidak adil dalam memproses laporan. Beberapa dugaan kasus pelanggaran pemilu oleh pasangan Prabowo-Gibran tidak diproses. Alasannya, kurang bukti materiil tanpa dijelaskan bukti apa yang dimaksudkan. Sementara itu, laporan tim sukses pasangan Prabowo-Gibran terhadap pasangan Anies-Muhaimin diproses cepat oleh Bawaslu, misalnya kasus pantun oleh Muhaimin Iskandar. “Bawaslu justru memproses sampai putusan,” kata Ari.
Calon wakil presiden nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, memberikan keterangan setelah memenuhi panggilan Bawaslu Jakarta Pusat di Jakarta, 3 Januari 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Adapun Bawaslu menepis tuduhan yang menyebutkan bahwa mereka tidak netral dan abai dalam menangani kasus. Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan semua laporan ditanggapi. Menurut dia, penanganan pelaporan tidak hanya dilakukan di tingkat pusat, tapi juga di tingkat bawah. “Semua laporan selalu direspons di berbagai tingkat. Ada, dan pasti ada respons,” ujar Bagja saat ditemui di sela sidang di Mahkamah Konstitusi, kemarin.
Perihal tudingan cacat formil pencalonan Gibran, menurut Bagja, perkara tersebut telah diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pada 5 Februari lalu, DKPP menyatakan komisioner KPU terbukti melanggar etik karena menerima pencalonan sebagai salah satu calon wakil presiden dalam Pemilu 2024.
Bagja menjelaskan, lembaganya telah menyiapkan jawaban sehubungan dengan putusan DKPP itu dan masalah cacat formil pencalonan Gibran pada sidang selanjutnya. Menurut dia, Bawaslu harus menjelaskan tentang Sipol dan Silon, yakni sistem pendaftaran capres-cawapres dan partai politik, saat persidangan untuk menjelaskan masalah pencalonan Gibran. “Jadi laporan itu tidak bisa berdiri sendiri karena ini dilihat dari bagaimana akses Bawaslu dan juga pengawasan pendaftaran seperti apa,” tutur Bagja.
Bawaslu saat ini tengah menginventarisasi semua pelanggaran yang masuk. Hasil ini akan disampaikan oleh Bawaslu sebagai pihak pemberi keterangan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi. Bagja menjelaskan, inventarisasi kasus dilakukan dari temuan lapangan oleh pengawas di tingkat daerah, dari TPS, panitia pengawas kecamatan (panwascam), hingga pusat. Kendati begitu, Bagja masih memeriksa ada-tidaknya laporan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif dalam pilpres 2024.
Menanggapi hal tersebut, Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, mengatakan dalil dugaan kecurangan pemilu semestinya tidak perlu dihadirkan ke Mahkamah Konstitusi apabila Bawaslu bekerja dengan baik. “Karena laporan kecurangan diabaikan, mereka akhirnya mengajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan menyertakan gugatan hasil pemilu,” katanya saat dihubungi Tempo, kemarin.
Herdiansyah menilai Bawaslu semestinya tidak berhenti memproses laporan dugaan pelanggaran KPU dalam pencalonan Gibran meski sudah ditangani oleh DKPP. Sebab, domain tugas DKPP adalah wilayah etik dan bukan menangani pelanggaran sehingga pelanggaran oleh KPU harus ditangani Bawaslu. “Artinya, penanganan kasus yang tidak selesai di Bawaslu beralasan dibawa ke sengketa di Mahkamah Konstitusi,” tutur Herdiansyah.
Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, mengikuti Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Gedung Mahkamah Kontitusi, Jakarta, 27 Maret 2024. TEMPO/Subekti
Bukti Dugaan Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif
Tim hukum pasangan calon nomor urut satu dan tiga menyebut pencalonan Gibran sebagai penyebab utama adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif dalam pilpres 2024. Kedua kubu menyebutkan Presiden Jokowi melakukan “cawe-cawe” dengan memanfaatkan kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan untuk memenangkan Gibran.
Tim hukum kubu 01 dan 03 menyebutkan Presiden Jokowi, melalui adik iparnya yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, mengintervensi para hakim untuk mengeluarkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini memberikan karpet merah bagi Gibran untuk menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo. Belakangan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan Anwar Usman melanggar etik berat dan dicopot dari jabatan Ketua MK.
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan cacat formil dalam pencalonan Gibran bisa menjadi bukti kuat untuk mendiskualifikasi Gibran dan Prabowo dalam pilpres 2024. Dia menjelaskan, Mahkamah Konstitusi bisa memeriksa perkara prapemilu, termasuk dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif. Sebab, wewenang Mahkamah Konstitusi juga memeriksa sengketa pemilu atau pilkada yang sifatnya kualitatif, dari awal tahapan, prapemilu, hingga pascapemilu. “Bukan sekadar kecurangan-kecurangan yang terjadi pada saat pemungutan suara,” kata Charles.
Charles menuturkan Mahkamah Konstitusi pernah mendiskualifikasi peserta pilkada yang tidak memenuhi syarat pencalonan. Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PHP.BUP-XIX/2021 yang mendiskualifikasi pasangan Orient Patriot Riwu Kore-Thobias Uly dari pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Sabu Raijua 2020. Orient Patriot tidak memenuhi syarat pencalonan karena masih menyandang status warga negara Amerika Serikat saat pendaftaran.
Permohonan tim hukum pasangan calon nomor urut satu dan tiga secara tidak langsung meminta Mahkamah Konstitusi mengoreksi tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Menurut Charles, dalil penggugat adalah pelaksanaan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 oleh KPU terbukti cacat etik dengan tidak mengubah PKPU lebih dulu.
Dengan begitu, menurut Charles, cacat formil pendaftaran Gibran bisa menjadi bukti kuat adanya pelanggaran pemilu terstruktur, sistematis, dan masif. Sebab, syarat pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif itu adalah melibatkan penyelenggara pemilu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.