Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kehadiran mereka masih akan lama tenaga asing mau diapakan?

Masalah tenaga kerja asing di Indonesia. kehadiran mereka selalu dipermasalahkan. gaji dan fasilitas mereka lebih besar dibanding dengan tenaga Indonesia. (nas)

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEKALI Hiroyuki Hattori menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Terik matahari Jakarta yang siang itu menerpa juga telah membasahi baiunya. Hingar bingar memenuhi suasana: truk pengangkut tanah yang berlalu-lalang, deru traktor pengeras jalan serta suara ribuan mobil yang melintas perempatan Pancoran, Jakarta Selatan. Di tengah kebisingan itu tak henti-hentinya Hattori memberi petunjuk pada penyurvei (surveyor) Indonesia yang mendampinginya. Hattori, 28 tahun, adalah salah satu dari 18 insinyur Jepang yang dipekerjakan oleh PT Hutama Karya, yang bekerja sama dengan perusahaan Jepang, Takenaka-Nippo, dalam pembangunan jalan layang Pancoran. Telah setahun ia berada d Indonesia, dan akan tinggal di sini sampai tahun depan. Kehadiran Hattori dan kawan-kawan ternyata tak menyenangkan banyak karyawan Indonesia. "Di sini semua orang rata-rata tidak suka pada mereka," kata salah seorang karyawan Hutama Karya. Ia memang memuji tenaga Jepang itu karena mereka "tekun, disiplin, dan teliti". Tapi kecamannya merupakan deretan panjang. Orang-orang Jepang itu dianggap "suka memperpanas suasana kerja," dan "cenderung menganggap orang Indonesia bodoh". Mereka juga dianggap sering memperlakukan karyawan Indonesia seenaknya dan kurang memperhatikan adat kebiasaan di sini. "Bayangkan saja, kalau menunjuk, mereka suka pakai kaki," ujar seorang insinyur Indonesia. Yang tambah membuat keki -- dan mungkin juga iri -- karyawan Indonesia adalah perbedaan gaji serta fasilitas. "Gaji mereka rata-rata di atas Rp 1 juta, sedang kami orang Indonesia dengan tingkat keterampilan yang sama paling banter menerima Rp 600 ribu," kata sumber itu. Fasilitas yang disediakan pun berbeda: untuk orang Jepang disediakan kendaraan, mereka bisa membawa keluarganya dan mengontrak di daerah perumahan mewah Pondok Indah. Kecaman seperti itu lazim dan telah lama terdengar. Namun tak semua tuduhan itu terbukti. Hattori sendiri, yang menilai tenaga Indonesia setaraf dengan orang Jepang, mengakui pertentangan yang terkadang timbul diakibatkan oleh perbedaan sistem kerja Indonesia dan Jepang. Hattori tidak tinggal di Pondok Indah. Karena masih bujangan, ia tinggal di sebuah mess di Tebet bersama 4 temannya (lihat: Yang Datang . . . ). Untuk mereka disediakan kendaraan jip buat dipakai bergantian. Namun kehadiran tenaga kerja asing di suatu negara memang hampir selalu mengundang kecaman -- terutama bila mereka dianggap merebut porsi tenaga lokal. Di Indonesia sendiri, tenaga asing deras masuk sejak keran penanaman modal asing dibuka pada 1967. Mula-mula mereka memang disambut gembira. Mereka dianggap akan segera mengalihkan keahlian dan teknologi baru. Tapi benturan ternyata kemudian terjadi. Di sektor kehutanan, misalnya, banyak penebang kayu Filipina dan Malaysia yang pada awal 1970-an bekerja di Kalimantan. Mereka sering mengundang protes. Selain karena mereka menutup kesempatan kerja buat tenaga Indonesia, juga bisa timbul gara-gara lain: persoalan "kawin kontrak" buruh asing tersebut dengan para wanita Indonesia. (TEMPO, Hukum, 11 Juni 1983). Maka, sejak 1974, keluar Surat Keputusan Presiden Nomor 23. Pembatasan penggunaan tenaga asing pendatang pun dilakukan. Berdasar SK itu, Menteri Tenaga Kerja menetapkan jenis pekerjaan yang terbuka dan tertutup bagi tenaga asing. Setiap enam bulan daftar ini ditinjau dan diperbaharui. Sejak akhir 1982, misalnya, jabatan juru masak di sektor minyak dan gas bumi (migas) tertutup bagi tenaga asing. Alasan: tenaga Indonesia dinilai telah mampu mengisinya. "Bila tidak ada pembatasan dan Indonesianisasi, pada akhir 1982 jumlah tenaga kerja asing bisa mencapai 30 ribu orang," kata Danang Joedonagoro, Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja. Tapi tenaga asing, menurut Danang, tetap masih diperlukan di beberapa sektor, terutama yang menggunakan teknologi baru. Alasan ini pula yang menyebabkan mereka datang. Menurut catatan BKPM, pada akhir 1982 ada sekitar 16 ribu tenaga asing di Indonesia. Yang terbanyak berkebangsaan Jepang (3.300), Malaysia (2.100), dan Amerika (2.000). Sektor yang paling banyak mempekerjakan mereka adalah industri minyak dan gas, kehutanan, dan bangunan. Ada dua jenis tenaga asing di Indonesia: tenaga kerja yang ditunjuk pemegang saham dan mewakili perusahaan asing, dan tenaga teknis. Sebagian besar tenaga asing di sini adalah jenis terakhir. Kehadiran mereka memerlukan berbagai izin, dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Tenaga Kerja, Imigrasi, dan Laksusda. Izin ini bisa diperpanjang bila kehadiran mereka dianggap masih diperlukan. Jumlah tenaga asing di Indonesia ternyau terus bertambah, sekalipun tidak begitu melonjak (lihat tabel). "Itu karena penanaman modal asing dan proyek pembangunan bertambah, hingga banyak jabatan baru yang terbuka," kata Danang. Ia menyebut contoh di bidang minyak dan gas. Di sektor ini banyak tenaga asing berjubel karena teknologi baru yang dipakai. Teknologi baru tampaknya memang tak terelakkan. Perusahaan pertambangan Freeport Indonesia Inc. (FII) di Tembagapura, Irian Jaya, misalnya, sekarang ini mempekerjakan 285 karyawan Filipina pada tambang bawah tanahnya. Mereka dianggap perlu, mengingat metode block caving yang digunakan baru sejak 1981 diterapkan di Indonesia. Di Filipina metode ini telah digunakan sejak 40 tahun yang lalu. Sekitar 150 tenaga asing yang saat ini bekerja di PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) dari keseluruhan 6.029 karyawan -- umumnya juga bekerja di bidang yang memakai teknologi baru. Misalnya, di lapangan minyak Duri. Di sana digunakan proses steamflood (penyemprotan uap untuk menaikkan minyak). Mungkin itu sebabnya Baihaki Hakim Koordinator Eksplorasi dan Produksi CPI beranggapan, "Selama teknologi masih berkembang, kita masih membutuhkan tenaga kerja asing." Menurut dia, Indonesianisasi di CPI hanya dilakukan "pada bidang yang teknologinya sudah mapan". Ia menilai kebijaksanaan pemerintah luwes: setiap ada teknologi baru, lapangan pekerjaan terbuka untuk tenaga kerja asing, tetapi mereka harus didampingi tenaga kerja Indonesia. Dengan langkah itu tampaknya diharapkan tenaga Indonesia bisa belajar teknologi baru itu, dan kemudian bisa mengambil alih pekerjaan itu. Direktur Jenderal Danang Joedonagoro sendiri menyebut adanya gagasan di kalangan instansinya untuk mengeluarkan suatu peraturan yang mengharuskan setiap tenaga asing didampingi dua orang "pendamping" buat lebih cepat menyerap pengetahuan dari tamu-tamu ahli itu. Namun bisakah tenaga Indonesia sepenuhnya bisa mengisi semua jabatan? Banyak yang menyebut munculnya beberapa orang Indonesia yang memegang jabatan puncak pada beberapa perusahaan asing sebagai bukti keberhasilan Indonesianisasi. Misalnya, Direktur Utama PT Unilever Indonesia Yamani Hasan, Direktur Utama PT Good Year Indonesia Syahfiri Alim, dan Direktur Utama PT CPI Harun Al Rasjid. Kedudukan mereka memang menonjol, karena ketiga perusahaan tersebut perusahaan multi nasional yang besar. Syahfiri Alim bahkan merupakan satu-satunya pribumi yang memegang jabatan puncak dari 47 perusahaan Good Year di seluruh dunia. Di beberapa perusahaan multi nasional, Indonesianisasi seratus persen memangtidak dimungkinkan. Misalnya, di PT Unilever Indonesia. Perusahaan ini menganut prinsip: manajemen terbaik adalah selalu manajemen campuran, -- terdiri dari berbagai kebangsaan -- hingga memungkinkan terjadinya "penyerbukan silang ide-ide". Karena itu beberapa tenaga Intonesia saat ini ada juga bekerja di perusahaan Unilever di beberapa negan. Sebelum menjabat direktur uuma, Yamani Hasan sendiri pernah memegang jabatan manajer pemasaran di Rotterdam, Belanda. Namun yang dianggap hambatan utama bagi Indonesianisasi tampaknya adalah kualitas tenaga kerja Indonesia sendiri. "Dalam disiplin kerja dan kualitas, tenaga Indonesia masih kalah jauh," kata Ketua BKPM Suhartoyo. Ia bahkan sampai berkata: "Bila ada bule satu, semua beres." Disebutnya contoh sebuah hotel di Indonesia tatkala dipimpin oleh seorang asing, keadaannya rapi dan bersih. Tetapi, begitu dialihkan ke orang Indonesia, segera kebersihan itu tidak diperhatikan. Menurut Suhartoyo, dalam motivasi kerja pun tenaga kerja Indonesia kalah. Misalnya, yang bekerja di tengah hutan pada perusahaan perkayuan, atau di tengah laut pada perusahaan pengeboran minyak. "Mereka tidak uhan menderita dan kesepian," katanya. Ini dibenarkan oleh Baihaki Hakim. "Kebanyakan orang profesional di Indonesia maunya tinggal di kota besar," katanya. Bila benar demikian, persoalan masih akan panjang. Menumbuhkan disiplin dan motivasi kerja, rasanya lebih sulit dibanding mendidik keahlian dan keterampilan. Salah satu cara ditawarkan Suhartoyo: "Mungkin perlu dipertimbangkan agar perusahaan bisa memberi gaji yang lebih tinggi pada tenaga kerja kita." Pada banyak perusahaan asing, perbedaan gaji karyawan Indonesia dengan asing memang cukup menyolok. Di Caltex, kabarnya, gaji tenaga asing bisa dua atau tiga kali lipat tenaga Indonesia dengan kualifikasi yang sama. Tentu saja alasan bisa diberikan. "Perbedaan itu bukan karena diskriminasi, melainkan karena pasaran," kata Victor Siburian, manajer Hubungan Masyarakat dan Pemerintah PT CPI. Tenaga kerja Amerika, kata Siburian, biasanya meminta gaji yang lebih besar dari yang didapatnya di negerinya. "Soalnya, kalau dia tak diberi tambahan, mana mau ia pergi jauh-jauh dari negerinya sendiri," katanya. Victor sendiri, yang lulusan salah satu perguruan tinggi di AS, tak merasa keberatan bahwa gaji yang didapatnya menurut takaran gaji orang Indonesia. "Soalnya, ini kan negara saya sendiri," katanya. Namun di CPI ada hal lain: sekalipun gaji berbeda, fasilitas yang diterima tenaga Indonesia yang setaraf kedudukannya tidak berbeda. Di PT Good Year Indonesia, fasilitas perumahan dan kendaraan yang diperoleh manajer senior Indonesia juga sama dengan tenaga asing. "Bahkan untuk manajer Indonesia, rumah yang ditinggalinya akan menjadi miliknya setelah ia mencapai usia pensiun," kata Direktur Utama Syahfiri Alim. Syahfiri menganggap, berkurangnya tenaga asing malah menguntungkan perusahaan, mereka tidak perlu membayar mahal dengan mendaungkan keluarga dan menyediakan fasilitas perumahan. Di perusahaan yang dipimpinnya kini cuma ada enam tenaga asing dan jumlah keseluruhan karyawan sebanyak 1.638 orang. Pada PT Multi Bintang Indonesia, yang memproduksi bir Bintang, gaji tenaga asing selal lebih tinggi. "Mereka kan harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman. Tenaga kita kalau dikirim ke luar negeri, misalnya, ke pabrik bir di Papua Nugini, juga mendapat far allowance," kata Katik Soeroso, orang ketiga di Multi Bintang. Tak semua karyawan Indonesia iri pada gaji tenaga asing yang tinggi. "Mereka memang dibayar karena keahliannya," kata Budiharto, 24 tahun, yang telah tiga tahun bekerja di PT Benua Indah, salah satu industri perkayuan terpadu di Kalimantan Barat. Di perusahaan yang mempekerjakan 13 tenaga asing dari 1.100 karyawan itu, kata Budiharto, tidak pernah terjadi keributan karena perbedaan gaji karyawan Indonesia dan asing. Tapi tanpa rasa iri, toh tak semua soal mudah. Mempekerjakan tenaga asing melewati batas masa kerjanya bisa dikenai sanksi. Denda itu berwujud iuran Wajib Pendidikan dan Latihan (IWPL) yang berlaku sejak 1974. Pertengahan Maret lalu, Menteri Tenaga Kerja menaikkan IWPL dari US$ 100 menjadi US$ 400 per orang setiap bulan, berlaku surut sejak Januari 1983. Kecuali sektor minyak dan gas, "karena peranan mereka yang vital," kata Danang semua perusahaan bisa terkena sanksi tersebut. Membayar IWPL tak menghilangkan kewajiban buat perusahaan yang terkena untuk mengadakan program pendidikan dan latihan pada tenaga Indonesia untuk mengganti tenaga asing. Dana yang terkumpul dari IWPL digunakan untuk mengadakan pendidikan bagi tenaga Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan masing-masing departemen yang memungut iuran tersebut. Pada umumnya perusahaan asing menerima kenaikan ini tanpa banyak cingcong. "Latihan untuk tenaga kerja Indonesia memang diperlukan. Jadi pemungutan itu wajar kalau dilihat dari sudut itu," kata M. Komiya, Koordinator Perwakilan Mitsubishi Corporation di Jakaru. Menurut pendapatnya pribadi, kenaikan itu tidak terlalu berat bagi perusahaan patungan yang dimodali Mitsubishi. Melihat itu sasaran utama IWPI untuk mendorong pelaksanaan usaha pengindonesiaan tenaga kerja tampaknya kurang tercapai. Kabarnya banyak perusahaan asing yang menilai lebih murah membayar IWPL daripada harus mendatangkan tenaga baru dari negara lain. Peraturan tentang pembatasan tenaga asing memang masih banyak bolongnya. Akibatnya cukup banyak tenaga asing yang bekerja tanpa izin di Indonesia. Menurut suatu sumber di Departemen Tenaga Kerja, ratusan juru masak dari Hong Kong dan Taiwan sekarang ini secara gelap bekerja di Jakarta. Di Medan, banyak juga pengusaha restoran yang mempekerjakan familinya dari Taiwan dan Malaysia, yang datang ke Indonesia dengan visa wisatawan. Malah ada tenaga asing yang melenggang masuk ke sini tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja. Misalnya, yang datang dari negara anggota ASEAN, hingga bebas dari keharusan memiliki visa. Pekan lalu saja, beberapa puluh tukang kayu Singapura tampak membongkar pameran Indo Energy 1983 setelah usai diselenggarakan di Arena Promosi dan Hiburan Jakarta (APHJ). Peralatan yang mereka pergunakan cuma martil dan pencabut paku. Pekerjaan ini sebenarnya dapat dilakukan pekerja Indonesia. Tapi buruh Singapura datang karena penyelenggara pameran tersebut sebuah perusahaan Singapura. Kemungkinan masih adanya tenaga asing yang lolos dari berbagai peraturan dan perizinan diakui oleh Direktur Jenderal Danang Joedonagoro. "Pengawasan terhadap mereka memang perlu kita atur lebih baik," katanya. Jumlah mereka sebenarnya tak teramat sulit untuk dikontrol. Bahkan menurut Ketua BKPM Suhartoyo, di sektor minyak dan gas, perkayuan, dan industri kimia, tenaga asing sudah jauh berkurang. Menurut perkiraannya, di sektor minyak dan gas tenaga asing dalam lima tahun mendatang akan dapat diganti tenaga Indonesia. Namun ketinggalan Indonesia di bidang teknologi yang cukup jauh dengan negara maju tampaknya masih akan menyebabkan kehadiran tenaga asing masih akan lama di Indonesia. Yang bisa dilakukan tampaknya adalah memperketat pengawasan terhadap masuknya tenaga asing non-ahli, serta melipatgandakan pendidikan dan latihan bagi tenaga pribumi. Tindakan serupa juga dilakukan banyak negara lain. Singapura, misalnya, dalam dua tahun mendaung akan memulangkan sekitar 20 ribu buruh asing -- terutama dari Filipina, Sri Lanka, Muangthai, dan Indonesia. Langkah itu, menurut Menteri Tenaga Kerja Wong Kwei Chong, merupakan bagian dari kebijaksanaan Pemerintah Singapura untuk mendorong untuk memiliki seluruh angkatan kerjanya sendiri pada 1992. Indonesia sendiri, nampaknya, belum punya target seperti itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus