Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan menghentikan perkara penistaan agama oleh keempat petugas RSUD Djasamen Saragih, Pematangsiantar, karena dianggap tidak memenuhi unsur penistaan agama saat memandikan jenazah pasien Covid-19.
Pakar hukum mengkritik sikap kejaksaan yang tidak konsisten karena awalnya jaksa peneliti talah menyetujui bahwa berkas perkara sudah lengkap atau tahap P21.
Komisi Kejaksaan berencana meminta laporan Kejaksaan Negeri Pematangsiantar atas penanganan perkara keempat petugas RSUD tersebut.
MEDAN – Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, Sumatera Utara, menghentikan penuntutan perkara penistaan agama oleh empat tenaga kerja Rumah Sakit Umum Daerah Djasamen Saragih, Pematangsiantar, kemarin. Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, Agustinus Wijono, beralasan bahwa penghentian itu dilakukan karena jaksa tidak menemukan tiga unsur penistaan agama yang disangkakan terhadap keempat tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak ditemukan unsur kesengajaan penodaan agama dalam memandikan jenazah, unsur bersifat permusuhan, serta penodaan agama," kata Agustinus, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Agustinus, perbuatan keempat tenaga kerja RSUD Djasamen Saragih tersebut semata-mata untuk melaksanakan tugas sesuai dengan perintah pemerintah daerah Pematangsiantar dalam penanganan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Sebab, kata Agustinus, keempatnya memang membersihkan jenazah yang diduga tertular Covid-19.
Kasus penistaan agama itu berawal ketika keempat petugas RSUD membersihkan jenazah bernama Zakiah, 50 tahun, warga Serbelawan, Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, pada 20 September tahun lalu. Zakiah diduga meninggal karena terjangkit virus corona. Kemudian keempat petugas RSUD tersebut, yang semuanya berjenis kelamin laki-laki, membersihkan jenazah Zakiah.
Langkah memandikan jenazah wanita inilah yang dianggap menistakan agama. Sebab, keempat petugas RSUD itu bukan mahram dari jenazah wanita tersebut. Lalu keluarga Zakiah melaporkan perkara ini kepada Kepolisian Resor Pematangsiantar dengan tuduhan penistaan agama. Dugaan penistaan agama itu dikuatkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia Pematangsiantar.
Kepolisian lantas menindaklanjuti laporan tersebut hingga menetapkan keempat petugas RSUD Djasamen Saragih sebagai tersangka. Mereka disangkakan dengan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai penistaan agama. Keempatnya juga disangkakan dengan Pasal 79 juncto Pasal 51 Undang-Undang Nomor 79 Tahun 2014 tentang Praktik Kedokteran mengenai pemberian pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar profesi dan prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
Penyidikan perkara ini berlanjut ke Kejaksaan Negeri Pematangsiantar hingga berkas perkara dinyatakan lengkap atau tahap P21. Berkas perkara keempat tersangka lantas dilimpahkan ke kejaksaan. Berselang satu hari setelah pelimpahan berkas perkara, kejaksaan menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) atas keempat tersangka.
Kuasa hukum keempat tersangka, Jasman Nadeak, mengatakan kliennya lega mendengar keputusan Kejaksaan Negeri Pematangsiantar tersebut. Selama masa penyidikan, Nadeak menyatakan sudah membantah dua alat bukti yang dituduhkan penyidik dan jaksa peneliti kepada keempat kliennya.
"Tapi sikap kami tetap menghormati hak penyidikan kepolisian dan jaksa peneliti," kata Nadeak.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengapresiasi keputusan Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Ia mengatakan seharusnya kejaksaan lebih berhati-hati secara yuridis dalam menafsirkan pernyataan dan perbuatan yang dianggap menodai agama.
Fickar juga menyoroti sikap Kejaksaan Negeri Pematangsiantar yang tidak konsisten. Sebab, kata dia, sebelum mengeluarkan SKP2, jaksa menyatakan hasil penyidikan polisi sudah lengkap alias P21. Pernyataan P21 dari jaksa itu mengartikan bahwa kejaksaan membenarkan perkara tersebut sudah cukup bukti. "Kalau sekarang kejaksaan beralasan kurang bukti, seharusnya tempo hari tidak sampai P21," katanya.
Ia juga berharap kepolisan tidak mudah menafsirkan sebuah perkara penodaan agama sebelum mendengarkan tiga keterangan ahli dari mazhab berbeda. Intinya, polisi harus mengupayakan penegakan hukum sebagai jalan terakhir.
Menurut Fickar, perkara keempat tenaga kesehatan RSUD Djasamen Saragih ini pasti akan menimbulkan silang pendapat di antara pemangku kepentingan ketika berlanjut ke pengadilan. Sebab, tuduhan kepada keempat tersangka harus memenuhi empat unsur, yaitu bukti perbuatan yang melanggar hukum, unsur kesengajaan atau kelalaian, jiwa pelaku bisa dipertanggungjawabkan, serta tidak ada alasan pemaaf, seperti menjalankan perintah jabatan.
Fickar menilai urusan perintah jabatan ini harus dilakukan sesuai dengan aturan. Jika keempat tenaga medis itu tidak menyampaikan keberatan kepada atasan, mereka bisa dinyatakan bersalah. "Kalau mereka sudah sampai keberatan kepada atasan dan atasan tetap memerintahkan mereka, maka harus dilepaskan dari segala tuntutan karena melaksanakan perintah jabatan," kata dia.
Anggota Komisi Kejaksaan, Muhammad Ibnu Mazjah, mengatakan penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan itu merupakan kewenangan kejaksaan. Namun kejaksaan wajib mempertanggungjawabkan keputusannya tersebut.
Ibnu mengatakan Komisi Kejaksaan butuh waktu untuk menelaah keputusan Kejaksaan Negeri Pematangsiantar tersebut. Ia menuturkan lembaganya membuka peluang memanggil Kejaksaan Negeri Pematangsiantar untuk meminta laporan lebih lanjut. Paling tidak, Komisi Kejaksaan akan memantau perkembangan perkara tersebut lantaran telanjur menjadi perhatian publik.
"Kalau ada temuan dugaan pelanggaran dari aspek perilaku atau kinerja, kami akan tindak lanjuti," kata Ibnu.
Adapun Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Harif Fadhillah, menyayangkan perkara pidana yang menjerat keempat petugas RSUD Djasamen Saragih ini. Harif menegaskan bahwa keempat petugas tersebut hanya menjalankan perintah sesuai dengan protokol Covid-19.
Menurut Harif, tak ada petugas perempuan dalam kegiatan pemulasaraan jenazah di RSUD Djasamen Saragih. Padahal jenazah berstatus terduga Covid-19 harus segera dimakamkan dengan protokol Covid-19. "Mereka murni laksanakan tugas saja," kata dia.
Harif menganggap perkara ini menambah masalah tenaga kesehatan yang bertugas di garda terdepan penanganan pandemi. Selain tugas berat dan risiko tinggi tertular virus, mereka terancam jerat perkara pidana. "Harapan kami, tak akan ada perkara serupa," ujarnya.
SAHAT SIMATUPANG (MEDAN) | INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo