Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kapan Konflik Papua Mereda

Kekerasan bersenjata yang mengorbankan warga sipil Papua berlanjut. Solusi damai lewat dialog politik tersendat. 

16 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Daftar kasus konflik kekerasan bersenjata di Papua semakin panjang. Kemarin, Kamis, 15 Desember 2022, sedikitnya sembilan penduduk sipil dilaporkan tertembak dalam kerusuhan di Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga tadi malam, belum diketahui pasti berapa korban tewas dalam kerusuhan tersebut. Direktur Eksekutif Yayasan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, mengatakan baru mendapat informasi kerusuhan diduga melibatkan aparat TNI-Polri. “Berhubungan dengan penangkapan seorang warga yang telah membacok warga lainnnya,” kata Theo ketika dihubungi, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerusuhan kemarin bermula ketika seorang pelajar bernama Sabinus Sedap, 18 tahun, dihadang oleh seseorang yang membawa parang di Distrik Minyamur. Diduga dalam keadaan mabuk, pria tersebut lantas memalak Sabinus. Hingga laporan ini diturunkan, Sabinus yang terluka di bagian kepala dan paha dikabarkan selamat setelah mendapat perawatan di rumah sakit setempat.

Warga di sekitar lokasi kejadian lantas menangkap pelaku dan diserahkan ke Kepolisian Resor Mappi. Namun, tak lama kemudian, serombongan massa datang memaksa agar pelaku pembacokan dibebaskan. Aparat gabungan TNI-Polri bersenjata laras panjang lantas membalas dengan penembakan. Penembakan tersebut mengenai sejumlah warga sipil. Mereka adalah Moses Nagas Ero, 35 tahun; Basilius B. Boy, 27 tahun; Prederikus Boy, 15 tahun; Yohanes Sedap, 25 tahun; Wilem Jeji Samogoi, 14 tahun; Kasper Jebo, 20 tahun; Erikson Pasim, 21 tahun; dan Otnniel Samogoi, 27 tahun.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal, enggan menjawab permintaan konfirmasi Tempo. Pertanyaan yang dikirim ke ponselnya hanya ditanggapi dengan emoticon bergambar polisi yang sedang hormat. Ia juga hanya mengirim pesan terima kasih tanpa memberi penjelasan ihwal kebenaran informasi penembakan tersebut. 

Tim gabungan TNI-Polri dari Polres Pegunungan Bintang dan Satgas Damai Cartenz mengevakuasi tiga tukang ojek yang menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata di Kampung Mangabip, Distrik Oksebang Kabupaten Pegunungan Bintang, 6 Desember 2022. Dok papua.polri.go.id

Kekerasan Bersenjata Meningkat Sepekan Terakhir

Kasus kekerasan dan penembakan di Papua tengah meningkat dalam sepekan terakhir. Rangkaian peristiwa itu diduga melibatkan TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Adapun penduduk sipil menjadi korbannya.

Pada Selasa, 13 Desember lalu, seorang karyawan Bank Papua, Darius Julius Yumame, tewas tertembak di kompleks Pasar Sinak, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Saat itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua, Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal, sempat menjelaskan kepolisian masih mengejar para pelaku yang diduga adalah kelompok OPM pimpinan Gholiat Tabuni dan Lekagak Teenggelen. 

Sebelumnya, 5 Desember lalu, OPM juga diduga menembak mati seorang tukang ojek di Kampung Mangabip, Distrik Okaom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. Pembunuhan diduga karena kelompok OPM mencurigai korban sebagai intelijen yang sedang menyamar. “Kami sudah sampaikan agar seluruh warga sipil tinggalkan wilayah Papua, karena kami sudah menyatakan perang,” kata Sebby Sambom selaku juru bicara TPNPB OPM. 

Sebby menjelaskan, sejak beberapa bulan lalu mereka telah memberi ultimatum agar seluruh warga pendatang di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, hingga Pegunungan Bintang, hengkang dari Papua. Peringatan tersebut dipicu pengiriman pasukan TNI-Polri ke Bumi Cenderawasih. Sebby dan kelompoknya menyatakan perang melawan TNI-Polri. Dia mengatakan penyerangan tak akan selesai sebelum Papua diberi hak berunding dan merdeka. 

Pengungsi di hutan setelah insiden penyerangan Pos Koramil Kiso di Distrik Aifat Selatan, Maybrat, Papua Barat, 2 September 2021. Dok. LP3BH Manokwari

Perlu Dialog Politik agar Korban Sipil Tak Bertambah

Juru bicara Dewan Pimpinan Pusat Partai Prima wilayah Papua dan Papua Barat, Arkilaus Baho, mengungkapkan berbagai insiden kekerasan dan penembakan tersebut mengakibatkan situasi di sejumlah kabupaten mencekam. Masyarakat sipil, baik orang asli Papua (OAP) maupun pendatang, khawatir menjadi korban konflik bersenjata ini. “Seiring banyaknya pasukan TNI-Polri, situasi makin mencekam, banyak kabupaten sudah tidak aman,” kata Arkilaus. 

Dia menilai pasukan TNI-Polri dan TPNPB OPM telah mengubah Papua menjadi medan perang. Insiden kekerasan dan penembakan terus berulang di setiap wilayah di Papua. Menurut dia, partainya sempat menawarkan resolusi untuk menciptakan perdamaian di Papua. Arkilaus telah beberapa kali menemui kelompok OPM untuk meminta agar menyudahi peperangan. 

Arkilaus mengatakan, salah satu solusi yang ditawarkan adalah kelompok OPM dapat masuk dalam wadah Dewan Rakyat Papua (DRP). Dengan begitu, perjuangan kelompok ini diakomodasi melalui cara-cara politik. Namun, persoalannya, tawaran Arkilaus itu ditentang pemerintah. “Padahal solusi konflik di Papua merupakan dialog,” ujarnya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay, berharap Presiden Joko Widodo berkaca pada penanganan konflik di Aceh untuk mengatasi persoalan di Papua, termasuk mengakomodasi kelompok OPM pada sistem politik. “Ini demi menghentikan konflik bersenjata di Papua dan juga menjalankan prinsip-prinsip hak asasi manusia berdasarkan konvensi di Jenewa pada 1949,” ujarnya. 

Menurut Gobay, pemerintah juga perlu segera mengirim Palang Merah Indonesia ke Papua untuk menangani para pengungsi konflik Papua. Sejak peristiwa penembakan pekerja proyek jalan Trans Papua pecah di Nduga pada 2018, kata dia, puluhan ribu warga tinggal di pengungsian yang tersebar di sejumlah daerah. “Mereka belum mendapatkan bantuan,” kata Gobay. “Mereka menghadapi ancaman kelaparan, dengan akses kesehatan dan pendidikan yang terbatas.”

AVIT HIDAYAT | HELMALIA PUTRI (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus