Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BNPT menganggap tindakan kelompok kriminal bersenjata di Papua identik dengan kegiatan teroris.
Ketika KKB di Papua dinyatakan sebagai organisasi teroris, anggotanya tidak bisa lagi berlindung di luar negeri.
Komnas HAM meminta penyelesaian di Papua dilakukan secara menyeluruh.
JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berencana menetapkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua sebagai kelompok teroris. Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan, ketika dinyatakan sebagai organisasi teroris, anggota KKB tidak bisa lagi berlindung di luar negeri dan negara lain tak bisa melindunginya atas nama tindak pidana politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsekuensi dari penetapan KKB sebagai kelompok teroris berimbas pada cara penanganan mereka. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tindakan terorisme bukanlah tindak pidana politik dan pelakunya dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal-balik sesuai dengan ketentuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini masih wacana untuk didiskusikan, belum ada ketetapan,” kata Boy Rafli kepada Tempo, kemarin.
Ia menjelaskan, berbagai tindakan KKB selama ini sudah memenuhi unsur tindak pidana terorisme. Misalnya, mereka menggunakan kekerasan bersenjata, menimbulkan efek ketakutan, serta mengakibatkan korban di masyarakat dan petugas keamanan. Mereka juga memiliki motif politik, yakni ingin merdeka, dan ideologinya berseberangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta, 2017. TEMPO/Imam Sukamto
Mantan Kepala Kepolisian Daerah Papua ini mengatakan kategorisasi KKB sebagai teroris akan mempermudah aparat menelusuri pihak-pihak yang mendukung pendanaan mereka. Ia menduga selama ini sumber pendanaan KKB di Papua berasal dari pihak-pihak tertentu. Namun Boy tidak menyebutkan secara spesifik siapa pemberi dana tersebut.
“Dalam penelusuran dana, kami dapat bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),” ujarnya.
Menurut Boy, meski nantinya KKB ditetapkan sebagai kelompok teroris, lembaganya akan tetap membuka ruang dialog dengan berbagai pihak. “BNPT, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, mengkoordinasi pemangku kepentingan untuk melahirkan kebijakan yang tepat. Nanti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kami ajak berdialog soal ini,” kata Boy.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin lalu, Boy menyampaikan bahwa lembaganya tengah mengkaji opsi mengkategorikan KKB sebagai jaringan terorisme. Sebab, KKB telah melakukan kejahatan yang dianggap layak disejajarkan dengan aksi teror, seperti penggunaan kekerasan, ancaman kekerasan, senjata api, dan menimbulkan efek ketakutan yang luas di masyarakat.
“Kondisi riil di lapangan sebenarnya dapat dikatakan telah melakukan aksi-aksi teror,” katanya.
Beka Ulung Hapsara di kantor Komnas HAM, Jakarta, 2019. Tempo/M. Taufan Rengganis
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, mengatakan solusi penyelesaian masalah di Papua harus dilakukan dengan cara damai. Ia menilai rencana memasukkan KKB sebagai kelompok teroris akan menimbulkan masalah baru, sementara berbagai pelanggaran HAM di Papua hingga kini belum tuntas.
Menurut Beka, kepolisian dan militer sudah memiliki cukup kewenangan untuk menyelesaikan masalah hukum di Papua terkait dengan kekerasan KKB. Ia pun menganggap kepolisian dapat menelusuri sumber pendanaan KKB dengan meminta bantuan PPATK dan lembaga lainnya.
“Penanganan di Papua harus mengenali akar masalah terlebih dahulu, sehingga solusi menyeluruh bisa didapatkan,” kata Beka.
Menurut Beka, lembaganya belum menerima ajakan resmi dari BNPT untuk membicarakan wacana tersebut. Namun, ia menyatakan, Komnas HAM bersedia berdiskusi dengan BNPT untuk menyelesaikan masalah di Papua secara menyeluruh. “Kami berpendapat, penyelesaian harus dari perspektif HAM agar rasa keadilan masyarakat dapat diperoleh,” katanya.
Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Muhammad Syauqillah, mengatakan kelompok separatis yang dikategorikan sebagai kelompok teroris sudah pernah terjadi di luar negeri. Ia mencontohkan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki. Awalnya, PKK merupakan kelompok separatis, lalu ditetapkan sebagai teroris.
Syauqillah berpendapat, KKB di Papua dan teroris memiliki irisan seperti memunculkan ketakutan publik, menimbulkan korban jiwa, dan memiliki ideologi. Perbedaannya terletak pada ideologi teroris yang selama ini beroperasi di Indonesia, yaitu mendirikan negara Islam.
Menurut Syauqillah, penetapan KKB sebagai teroris akan memungkinkan pelibatan TNI secara lebih luas dalam operasi militer. Lalu program-program deradikalisasi juga dapat dilakukan kepada para anggota KKB nantinya. “Itu kembali pada pilihan kebijakan keamanan yang mau ditempuh negara. Dilihat dari preseden internasionalnya, sudah ada,” katanya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo