Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB) menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat Indonesia dan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Mereka juga menuntut pemerintah untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 yang menggunakan bumi, air, dan seluruh kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mahasiswa juga mengutuk keras segala kepentingan yang merugikan dan tidak berpihak kepada masyarakat dalam upaya pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di Boven Digoel, Papua. “Kami mendesak pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah daerah untuk mencabut izin usaha perkebunan sawit di Boven Digoel dan melakukan peninjauan ulang keperluan pembukaan lahan dengan memperhatikan masyarakat setempat,” kata Ketua Kabinet KM ITB Fidela Marwa Huwaida lewat keterangan tertulis, Jumat 14 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut KM ITB, pembukaan dan ekspansi lahan baru untuk perkebunan memang dapat memenuhi kebutuhan Crude Palm Oil (CPO) yang kian meningkat setiap tahunnya. Akan tetapi, langkah tersebut dinilai bukan pilihan yang bijak mengingat keterbatasan lahan.
Jika hanya mengandalkan ekspansi lahan tanpa mencari alternatif lain dalam meningkatkan produktivitas kelapa sawit, jumlah potensi lahan di Indonesia akan habis hanya untuk memenuhi kebutuhan komoditas tersebut. “Selain itu, perlu ditekankan bahwa kemampuan penyerapan teknologi industri sawit di Indonesia masih tergolong rendah,” ujarnya.
Diversifikasi produk sawit yang rendah menurut KM ITB, menyebabkan efisiensi industri sawit di Indonesia tidak maksimal. Tanpa komitmen yang jelas untuk industrialisasi, pembalakan hutan untuk perkebunan sawit dinilai hanya akan memuaskan hasrat devisa negara dan mengabaikan keberlangsungan hidup manusia yang berpangku pada negara.
“Perlu ada solusi non-destruktif seperti penguatan manajemen lahan dan kualitas penanaman, ketimbang pembukaan lahan baru yang dinilai sebagai solusi industri yang tidak lestari,” kata Fidela.
Selain itu, mahasiswa juga memandang pemerintah perlu lebih memfokuskan diri pada proses industrialisasi sawit dengan meningkatkan investasi teknologi pemrosesan ketimbang perluasan lahan perkebunan sawit.
Alih fungsi lahan hutan Boven Digoel menjadi perkebunan sawit dapat mengurangi cadangan dan penyerapan karbon, sehingga lebih banyak karbon yang dilepaskan ke atmosfer dan menimbulkan ancaman terhadap polusi udara dan pemanasan global.
Konversi lahan juga dinilai dapat menyebabkan pencemaran tanah dimana akan terjadi ketidakseimbangan unsur hara sehingga mudah mengalami erosi. Daya infiltrasi air akan menurun sehingga semakin mudah menyebabkan banjir.
Sementara, gas polutan yang dihasilkan dari pabrik sawit dapat membahayakan kesehatan masyarakat setempat, dan alih fungsi lahan dapat merusak ekosistem di Boven Digoel sehingga menciptakan ketidakseimbangan kehidupan.
KM ITB menyatakan suku Awyu memiliki hubungan erat dengan alam dan hutan yang menjadi sumber kehidupan dan budaya mereka. Namun, eksploitasi hutan dan konversi lahan menjadi perkebunan sawit telah merenggut sumber daya vital dan mengancam kelestarian budaya.
Di sisi lain, menurut mahasiswa perusahaan dan beberapa oknum pemerintah terlibat dalam proses perizinan yang tidak transparan dan diduga ada persekongkolan. “Kasus ini menjadi contoh nyata dari pelanggaran hak adat dan ketimpangan kekuasaan,” ujar Fidela. Menurutnya masyarakat adat berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan mengelola tanah mereka secara berkelanjutan.
Pilihan Editor: Simak Persiapan yang Mesti Dilakukan Usai Lulus SNBT 2024