Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kembali ke sistem normal

Indonesia minta agar Bank Dunia membentuk kelompok konsultasi, menggantikan IGGI. tanggapan dari bank dunia dan beberapa negara kreditur.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA satu pertanyaan besar yang sekarang ini sedang menggayut di benak banyak pejabat. Apakah usaha membentuk Kelompok Konsultasi Negara-Negara Donor sebagai ganti IGGI bakal berhasil? Kelompok semacam ini memang bukan barang baru dan sudah digunakan banyak negara. Namun, Indonesia tampaknya dituntut jangan sampai lengah agar tak terantuk. Ini memang perkara yang dapat dibilang mahapenting. IGGI boleh bubar dan bantuan Belanda juga sudah ditolak. Tapi, bukannya berarti Indonesia tak perlu bantuan lainnya. Bantuan Belanda yang ditolak itu sungguh kecil jumlahnya, hanya sekitar 1,9 persen dari total bantuan yang diterima Indonesia lewat IGGI. Namun, harus diingat, sisanya yang besar tentu saja tetap diperlukan untuk berbagai proyek pembangunan. Untuk proyek penyediaan listrik, misalnya, dalam waktu lima tahun mendatang Pemerintah memerlukan dana US$ 10 milyar. Jika tak ada pinjaman dari luar, kiranya agak sulit proyek itu dapat diwujudkan. Gambaran yang lebih gamblang juga dapat dilihat pada RAPBN 1992/93, yang akan mulai digunakan tanggal 1 April nanti. Untuk pengeluaran pembangunan pada tahun anggaran mendatang ini (atau seluruh dana yang disediakan Pemerintah untuk membiayai berbagai proyek pembangunan), Pemerintah mecadangkan dana sebesar Rp 22,9 trilyun lebih. Rp 9 Trilyun di antaranya, atau hampir 40 persennya, didapat dari utang luar negeri. Tanpa dana Rp 9 trilyun itu, tentu saja akan banyak proyek yang tak dapat dikerjakan, terhambat, atau bahkan berhenti sama sekali. Padahal, proyek-proyek yang dibiayai dari dana itu sebagian besar adalah proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang sangat penting agar lokomotif perekonomian Indonesia berjalan lancar. Lubang ini juga tak akan dapat ditutup dari sumber-sumber dalam negeri, pajak misalnya. "Masalahnya bukan cuma pada anggaran, tapi kita sekarang ini memerlukan arus masukan modal dari luar negeri yang cukup besar," kata pengamat ekonomi, Djisman Simanjuntak. Ia mengingatkan defisit neraca pembayaran masih merupakan salah satu soal yang selama ini hanya dapat diganjal dengan memperbesar utang luar negeri. Jelas utang dari luar memang tetap diperlukan. Sejak Orde Baru berdiri, Pemerintah memang selalu konsisten menolak berbagai persyaratan yang dikait-kaitkan dengan pemberian utang. "Kita tetap memerlukan bantuan, tapi yang tidak dikaitkan dengan ikatan politik," kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada TEMPO. Selama ini, IGGI sudah dapat digunakan sebagai ajang yang baik untuk mempertemukan kepentingan Indonesia dengan negara-negara kreditur. Namun, Pemerintah menilai bahwa belakangan ini Belanda sebagai ketua terlalu banyak menuntut ini dan itu. Bantuan yang diberikan juga dikaitkan dengan masalah politik, hak asasi, dan digunakan sebagai alat intimidasi. Bahkan, sempat dibekukan karena peristiwa Dili. Untuk menggantikan IGGI itulah Indonesia memilih pembentukan Kelompok Konsultatif yang dipimpin Bank Dunia. "Ini yang masih harus diperjuangkan, tapi Insya Allah berhasil," kata Menteri Negara dan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Saleh Afiff. Sebenarnya, prosedur untuk membentuk Kelompok Konsultatif itu tidaklah sulit. Yang penting Indonesia bisa "memegang" para pentolan di Bank Dunia yang punya pengaruh besar. Para pentolan yang dimaksud adalah negara-negara yang duduk sebagai executive director. Kelima negara tadi adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Prancis, dan Inggris. Kelima negara ini mempunyai hak suara 43,6 persen. Jika pendekatan ke lima negara ini mulus, tampaknya tak ada aral melintang lagi untuk membentuk Kelompok Konsultasi itu. Para manajer Bank Dunia tinggal melaksanakan saja. Upaya pemerintah Indonesia untuk mengegolkan rencana ini juga bukannya masih mentah. Seorang pejabat tinggi mengungkapkan, tak mungkin keputusan ini diambil jika belum mempunyai persiapan. Karena, sudah barang tentu para pembuat keputusan di kalangan Ekuin tahu persis betapa pentingnya arti pinjaman itu untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang selama ini berhasil dicapai. Konon, berbagai usaha pendekatan diam-diam juga sudah dilakukan sejak sekitar empat bulan lalu. Jelas isyarat baik sudah ada di sini. Untuk sementara, secara resmi Bank Dunia memang belum menentukan sikap. Permintaan Indonesia ini akan dirapatkan dalam beberapa hari ini. Harapan tampaknya cukup tebal. Ketika menerima surat permintaan dari pemerintah Indonesia, yang diteken Menteri Keuangan Sumarlin, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Gautama Kaji, sudah memberikan sedikit pertanda dengan mengatakan, "Bank Dunia merasa mendapat kehormatan dengan adanya permintaan Indonesia itu". Lebih jauh Kaji menjelaskan, permintaan itu akan segera dibicarakan dengan para kreditur seraya menegaskan bahwa Bank Dunia menganggap Indonesia sebagai negara yang tergolong "penting". Gelagat bahwa pembentukan Kelompok Konsultasi ini akan berjalan lancar juga sudah dapat diraba dari sikap beberapa negara pentolan tadi. Sekalipun secara resmi umumnya mereka masih menyatakan pikir-pikir, tapi hampir semua sumber penting menyatakan tak ada masalah. Misalnya saja, Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Michihiko Kunihiro. Ketika ditanya apakah Jepang akan masuk dalam Kelompok Konsultasi jika terbentuk, ia hanya menjawab singkat, "Tampaknya terlalu dini jika dikatakan sekarang, toh kelompok itu sendiri belum terbentuk," katanya. Baik di Tokyo maupun Jakarta, para pejabat Jepang yang mengurusi soal bantuan asing boleh dibilang sudah sepakat. Mereka akan tetap membantu Indonesia dan menyetujui pembentukan Kelompok Konsultasi itu. "Kami anggap ini adalah masalah antara Belanda dan Indonesia. Soal bantuan, Jepang tak akan ada perubahan," kata seorang pejabat Gaimusho alias Kementerian Luar Negeri Jepang. Dalam pandangan seorang pejabat Jepang, dengan meminta pembentukan Kelompok Konsultasi, Indonesia malah dianggapnya telah meninggalkan sistem yang abnormal, yakni IGGI, kembali ke sistem normal. Di banyak negara, sebut saja beberapa contoh di sini, Filipina, Papua Nugini, dan India, Kelompok Konsultasi yang langsung dipimpin Bank Dunia adalah sarana yang lazim untuk mengoordinasikan pemberian pinjaman. Pentolan lain, Amerika Serikat, tampaknya juga menunjukkan gelagat yang sama. Kementerian Luar Negeri AS sudah menegaskan, "Amerika tak akan mengaitkan bantuan ekonominya dengan peristiwa Timor-Timur." Pertanda itu juga sudah dapat dibaca ketika Presiden George Bush menyampaikan RAPBN-nya ke Kongres Amerika, jumlah pinjaman untuk Indonesia tak berkurang. Kalau semua gelagat dan pertanda itu akhirnya memang benar, tampaknya persoalannya hanyalah menunggu waktu. Seorang pejabat tinggi Indonesia malah yakin betul bahwa paling telat bulan Agustus nanti, sidang-sidang awal Kelompok Konsultasi ini akan dapat dimulai. Bahkan, pejabat tadi juga yakin bahwa jumlah pnjaman yang didapat, tak akan jauh berbeda dengan yang diberikan negara-negara anggota IGGI tahun kemarin, yaitu US$ 4,7 milyar lebih itu. Biasanya, sidang-sidang Kelompok Konsultasi akan berlangsung di Paris, seperti halnya sidang-sidang kelompok konsultasi untuk negara-negara lain. Tapi, bisa saja dipindahkan ke kota lain, asal saja di tempat itu ada Perwakilan Bank Dunia yang dapat memberikan dukungan logistik. Pada saat persidangan itu Bank Dunia biasanya datang dengan rombongan besar langsung dari Amerika. Tata cara perundingan juga tak akan berbeda dengan perundingan-perundingan IGGI, yang sudah 34 kali diikuti Indonesia sejak 1967. Indonesia menyiapkan rancangan proyek dalam "Buku Biru", negara-negara kreditur menyiapkan berapa duit yang akan dipinjamkan, lalu berunding. Sebenarnya perundingan ini juga hanya sekadar formalitas, karena biasanya pendekatan antara negara kreditur dan penerima pinjaman sudah dilakukan sebelumnya secara bilateral. "Kalau Indonesia berhasil membentuk Kelompok Konsultasi, sebenarnya itu sama saja dengan IGGI ganti ketua. Ketua barunya Bank Dunia," kata seorang pejabat tinggi Jepang, yang sering menghadiri sidangsidang Kelompok Konsultasi. Dengan bergantinya ketua, satu hal yang pasti hilang adalah nuansa politik. "Bank Dunia itu di anggaran dasarnya saja sudah menegaskan bahwa lembaga ini adalah lembaga ekonomi, bukan politik," kata Juru Bicara Bank Dunia, P.B. Sison. Maka, dapat dipastikan tak akan ada debat soal-soal politik di persidangan nanti. Menurut Sison, Bank Dunia baru memperhatikan soal hak asasi misalnya, jika soalnya memang terlalu parah sehingga berdampak langsung pada kegiatan ekonomi. Misalnya, saja yang terjadi di Uganda pada zaman Idi Amin. Namun, bukan berarti Bank Dunia bersih sama sekali dari politik. Dalam keadaan tertentu bisa saja tiba-tiba anggaran dasar, yang katanya ekonomi tadi untuk sementara, sedikit tak diperhatikan. Itu bisa terjadi jika Amerika sebagai negara yang paling dominan suaranya, marah dan menghentikan bantuan luar negerinya untuk satu negara. Contohnya, ketika peristiwa Tiananmen meletus. Bank Dunia akhirnya sempat pula ikut menghentikan tujuh proyek yang sedang dikerjakan di sana. Satu-satunya kemungkinan buruk yang dapat menjegal pembentukan Kelompok Konsultasi ini adalah jika Belanda berhasil mempengaruhi opini dunia sehingga semua negara berbalik tak mendukung Indonesia. Di Jakarta, Duta Besar Robert Dudley Van Royen agak meragukan kemungkinan ini. "Secara pribadi, saya hampir yakin Belanda tak akan mempengaruhi negara lain untuk ikut menunda bantuannya," katanya. Namun, di Belanda, "bekas Ketua IGGI" Jan Pronk sudah bergerak. Dikabarkan, Jumat malam pekan lalu ia terbang ke markas Bank Dunia di Amerika Serikat untuk berbicara soal ini. Tapi belum jelas betul, apa yang diusulkannya. Yang sudah tampak, sekalipun kecil, adalah dukungan dari Austria. Tiba-tiba saja Menteri Muda Kerja Sama Austria, Peter Jan Kovitch, mengumumkan penundaan semua bantuan teknik yang bersifat bilateral kepada Indonesia. Alasan yang disebut adalah pelanggaran hak asasi di Dili. Jelas ini hanya sekadar alasan formal. Bukankah insiden Dili terjadi November tahun lalu. Kalau itu sebabnya, mengapa baru diumumkan sekarang. Austria tahun lalu menyumbang US$ 8 juta dolar dan itu adalah 0,2 persen dari seluruh pinjaman dari negara-negara anggota IGGI pada tahun lalu yang mencapai US$ 4,75 milyar lebih. Sekalipun kemungkinannya tipis, bukannya mustahil langkah kecil Austria ini mendapat pengikut semakin banyak. Kalau itu terjadi memang repot. Bisa-bisa pembentukan Kelompok Konsultasi gagal. Katakanlah hal itu betul-betul terjadi, tetap harus diingat, bahwa ini bukanlah akhir segalanya. Bisa saja Indonesia tetap mendapat bantuan yang dirundingkan secara bilateral tanpa koordinasi atau konsorsium segala. Hanya saja itu sedikit merepotkan. Yopie Hidayat, Max Wangkar (Jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo), dan Bambang Harimurty (Washington DC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus