Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kembali ke yogya

Kembali aktif sebagai kepala daerah istimewa yogyakarta. (nas)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG diri, tanpa istri atau pengawal, Hamengku Buwono IX Minggu siang lalu tiba di Yogyakarta. Seperti bukan orang resmi, dengan hem batik lengan pendek. Tapi di Pelabuhan udara Adisucipto, nampak para penjemputnya penting, antara lain Paku Alam VIII, Sekwilda Soemidjan dan Walikota Soegiarto. Setelah itu Sultan menaiki mobil dinas gubernur AB 1, Toyota Crown 2600, sesuatu yang telah bertahun-tahun tak dilakukannya. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 71 tahun, memang telah kembali ke Yogyakarta. Banyak yang menantikan saat itu. Achmad Mutlib, 58 tahun, penjual rokok di Stasiun Tugu, berkata yakni: "Beliau raja di sini. Bila Sri Sultan sendiri yang memerintah, pasti kepentingan rakyat akan lebih diperhatikan. Yogyakarta pasti akan lebih tenteram." Abdul Malik, wakil ketua Fraksi PPP di DPRD DIY, juga berharap. Menurut anggapannya, mekanisme pemerintahan -- khususnya pengambilan keputusan -- di DIY sekarang macet. Penyebabnya antara lain suasana yang menyebabkan bawahan rikuh atau pakewuh (sungkan) terhadap atasan. Di Yogyakarta, ABRI juga kurang bisa berbuat banyak seperti di daerah lain karena segan berhadapan dengan pamor keraton. "Jalan keluarnya adalah kembalinya Sri Sultan. Beliau bisa jadi dinamisator," ujarnya. DIY lahir sejak Mei 1946. Dengan UU No. 3 tahun 1950, pembentukan daerah istimewa ini dipertegas, dengan Hamengku Buwono IX sebagai kepala daerah dan Paku Alam VIII sebagai wakilnya. Namun kemudian hampir seluruh waktu Sultan disita tugasnya di Jakarta. "Setelah Sri Sultan diangkat sebagai menteri negara dalam Kabinet Syahrir III, bulan Oktober 1946, praktis saya mewakili untuk memimpin Daerah Istimewa Yogyakarta sehari-hari," tulis Paku Alam VIII dalam buku Tahta Untuk Rakyat. Dan jabatan Sultan di Jakarta terus bertumpuk: sebagai menteri dalam berbagai kabinet, Menteri Ekuin, ketua KONI ketua Kwartir Gerakan Nasional Pramuka dan juga wakil presiden 1973-1978. Selama menjadi wakil presiden, praktis Sultan nonaktif memimpin DIY. Setelah tak lagi memangku jabatan tersebut, DPRD DIY secara resmi pernah memintanya untuk aktif kembali sebagai gubernur. Baru sekarang ini permintaan tersebut dipenuhi. Tapi secara resmi pengertian "aktif kembali" tak dipakai. "Beliau tidak pernah ingin tidak aktif. Selama ini Sri Sultan tetap kepala daerah," bantah Paku Alam VIII. Sultan sendiri kemudian juga membantah. Ini diucapkannya Senin pagi lalu di depan sekitar 500 pejabat Pemerintah Daerah DIY sampai tingkat lurah di Gedung Wilis, Kepatihan, Yogyakarta. "Rupanya ada salah paham. Kedatangan saya untuk mengadakan rapat dengan para pejabat di sini dikatakan sebagai akan aktif kembali dalam pemerintahan daerah. Sebetulnya saya belum pernah tidak aktif. Jadi rapat yang sekarang diadakan ini kejadian biasa, bukan sesuatu yang istimewa." Selama ini memang masalah penting selalu dikonsultasikan dengan Sultan di Jakarta, lewat telepon atau kurir. Hanya, sejak pekan ini Sultan memutuskan untuk terjun langsung, itu pun dengan batas-batas. "Beliau akan aktif dua bulan sekali, itu pun hanya dua hari di Yogyakarta," kata KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Mangkubumi, S.H., 37 tahun, putra tertua Sultan. Kepala Hubungan Masyarakat & Protokol DIY, Sudomo Sunaryo, menjelaskan: Sultan sebelumnya telah berpesan untuk menyiapkan materi yang memang memerlukan kehadirannya. Untuk itu, 20 Juni lalu, dibentuk Satuan Tugas Pembantu Gubernur dan Wakil Gubernur. Satuan Tugas ini beranggotakan enam orang, di antaranya Mangkubumi, KPH Probokusumo (putra tertua Paku Alam VIII) dan Sudomo Sunaryo. Tujuannya: mencari masalah yang berbobot, untuk disampaikan kepada Sultan. Satuan Tugas ini telah tujuh kali mengadakan rapat. Salah satu materi yang dianggap penting adalah masalah agraria. "Banyak status tanah di DIY ini yang belum diketahui atau dimengerti. Yang tahu persis adalah Sri Sultan," kata Sudomo. Ikut sertanya Mangkubumi dan Probokusumo dalam satuan tugas tersebut menimbulkan dugaan: keduanya dipersiapkan untuk menganti kedudukan ayah mereka. Artinya, Mangkubumi sebagai calon Hamengku Buwono X dan Probokusumo sebagai calon Paku Alam IX. Persoalan tentang perlunya regenerasi di Keraton Yogya memang tetap ramai dibicarakan. Bekas Walikota Yogyakarta, yang kini menjabat Ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta, Soedarisman Purwokusumo, menganggap ada dua persoalan dalam regenerasi ini: pengganti raja di keraton dan pengganti gubernur. "Apakah pengganti raja itu otomatis jadi gubernur dan pengganti Paku Alam juga wakil gubernur, itu yang menjadi masalah sekarang." Menurut penglihatan Soedarisman, Sultan dan Paku Alam menghendaki salah seorang putranya menggantikan kedudukan mereka, sebagai raja dan gubernur serta wakil gubernur. Ia juga melihat Mangkubumi dipersiapkan Sultan sebagai penggantinya. "Ia (Mangkubumi) sudah diberi pendidikan politik: semula anggota DPRD DIY. Sekarang menjadi anggoa DPR Pusat dan pimpinan Golkar DIY," kata Soedarisman. Dan Mangkubumi, sarjana hukum UGM lulusan 1982 itu harus membuktikan bahwa ia mampu. Hamengku Buwono IX memberikan gelar Mangkubumi kepada putranya tertua, Herjuno Darpito, pada 1974. Dalam buku Tahta Untuk Rakyat, Sultan pernah menjelaskan gelar Mangkubumi merupakan langkah pertama pencalonan putra mahkota. "Tapi apaah ia benar-benar akan menjadi putra mahkota, masih tergantung penilaian." Menurut Soedarisman, seandainya Mangkubumi mampu jadi Hamengku Buwono X, belum juga jelas apakah ia juga akan jadi gubernur DIY. Jabatan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai gubernur DIY berlangsung hingga ia wafat. Menurut peraturan, seorang gubernur dicalonkan oleh DPRD. Adakah DPRD DIY nanti akan berani mencalonkan seseorang dari luar keraton, kata Soedarisman, "saya belum bisa menjajakinya." Mangkubumi sendiri menganggap perbincangan tentang pencalonannya sebagai putra mahkota "tidak menguntungkan" dirinya. "Bagaimanapun ada orang yang senang, ada yang tidak. Kalau begitu saya yang jadi 'sasaran tembak'," katanya. Menurut dia, apakah nanti akan ada Sultan yang kesepuluh, belum diketahui. "Zamannya mungkin dianggap sudah lain. Itu semua terserah Sri Sultan," tuturnya. Sesuai dengan sifatnya yang hanya suka berbicara seperlunya, pendapat Hamengku Buwono IX tentang masalah penggantinya ini tidak diungkapkannya. Namun peluang untuk meneruskan dinastinya agaknya terbuka. Ini ditopang antara lain oleh sikap DPRD DIY yang nampaknya ingin mempertahankan sifat "istimewa" Yogyakarta. Salah satu keputusannya pada 1979 antara lain menyebutkan, "DPRD tetap menghendaki agar DIY dipertahankan sebagai daerah istimewa." Ini bisa diartikan, kepala daerahnya dipegang seorang raja. Bagaimanapun, soal calon Hamengku Buwono X adalah masalah masa depan. Dan Sultan yang tampak dalam usianya yang 71 tahun itu, rupanya lebih suka memperhatikan masalah yang lebih mendesak: bagaimana menggerakkan aparat pemerintah daerah. Dalam pidato tanpa teksnya pada para pejabat, berkali-kali Sultan menekankan perlunya para aparat lebih aktif dan mempunyai inisiatif. "Janganlah takut dan ragu-ragu mengambil inisiatif. Jika ada kesalahan, akuilah kesalahan itu dan perbaikilah secepat mungkin," katanya. Selain pentingnya inisiatif, Sultan juga menekankan agar aparat membuang rasa rikuh. "Penyakit rikuh ini menghambat. Dalam pemerintahan, kita tidak boleh mempunyai sikap rikuh untuk mengemukakan sesuatu yang sulit atau pahit. Jika sesuau yang sulit atau pahit itu mengenai masyarakat keseluruhan, rasa rikuh itu akan merugikan kita," ujar Sultan. Apakah gemblengan Sultan itu akan bisa mendobrak kemandekan aparat Pemerintah Daerah DIY, masih harus ditunggu. Menurut rencana, Sultan hanya dua hari di Yogya ia akan kembali ke Yogyakarta pertengahan November mendatang, buat memimpin rapat Muspida yang serupa. Tempatnya akan bergilir, di tiap kabupaten disertai peninjauan ke desa. Ada yang baru, tapi memang dari keraton tua di Jawa Tengah itu tak usah ditunggu sesuatu yang mengagetkan. Bagaimanapun juga, kehadiran Sri Sultan secara lebih nampak umumnya dinilai penting untuk masyarakat Yogya yang selama ini agak jauh dari aparat pemerintah daerah yang ada. Ada kesan, bahwa birokrasi tak cukup kuat menghadapi pertumbuhan wilayah -- terutama perekonomian di kota yang sangat pesat, sampai hampir 13% di tahun 1981-1982, sementara 40% penduduk masih di bawah garis kemiskinan. Kelemahan aparat ini juga dapat dilihat dari biaya rutin yang selalu tekor, sementara subsidi pemerintah pusat menurun dari Rp 2,5 milyar menjadi Rp 1,5 milyar. Dalam hal seperti itulah agaknya Mangkubumi mengatakan, kondisi Yogya kini menuntut kehadiran Sri Sultan. Sultan, kata sejarawan Sartono Kartodirdjo, selalu menyebabkan rasa ering ke bawah -- rasa patuh karena hormat. Ia bisa mengisi apa yang akhir-akhir ini di Yogya terasa kurang. Pada akhirnya tugas mengisi itu tentu harus dipenuhi juga oleh penggantinya. Dan sementara regenerasi mulai disebut calon Hamengku Buwono X sedang dalam, untuk mengutip istilah di keraton, "periode penjajakan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus