Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjelaskan soal informasi yang menyebutkan kementriannya akan mengorkestrasi informasi dari Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, sampai Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Prabowo menyebut kewenangan itu didapatkan Kementerian Pertahanan setelah ada perintah dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, Ketua Umum Partai Gerindra itu membantah informasi yang menyebut semua lembaga intelijen itu bakal berada di bawah langsung Kementrian Pertahanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ya tidak di bawah Kemhan, diperintahkan oleh Presiden untuk semacan koordinator, untuk semacam menilai, itu saja ya," ujar Prabowo saat ditemui usai peresmian Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra-PKB di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 23 Januari 2023.
Jokowi berikan perintah setelah rapat dengan Kemenhan
Perintah agar Kemhan mengelola informasi intelijen ini keluar setelah Jokowi memenuhi undangan Prabowo Subianto untuk hadir dalam Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan pada Rabu, 18 Januari 2023. Dalam pertemuan, Jokowi memerintahkan Prabowo untuk bisa mengorkestrasi alias memadukan informasi intelijen yang tersebar di berbagai instansi.
"Di dalam saya menyampaikan pentingnya Kemenhan menjadi orkestrator bagi informasi-informasi intelijen di semua lini yang kita miliki," kata Jokowi usai memberikan arahan dalam rapat yang digelar di Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Januari 2022.
Jokowi menyebut informasi intelijen yang dimiliki BIN (Badan Intelijen Negara), Polri, sampai Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). "Semuanya itu harus diorkestrasi sehingga menjadi info yang solid, tiap info itu diberikan ke kita untuk membangun sebuah kebijakan," kata Jokowi.
Selanjutnya, pengelolaan Informasi Intelijen oleh Kemhan dianggap ancam kebebasan sipil
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia atau PBHI menilai langkah Jokowi menunjuk Kementerian Pertahanan menjadi koordinator intelijen di Indonesia berpotensi mengancam kebebasan sipil. Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan pernyataan Presiden Jokowi jelas melanggar UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dari segi fungsi, struktur tata negara, dan tujuan dari intelijen itu sendiri.
"Pernyataan ini juga akan mengaburkan tata kelola kenegaraan karena Kementerian Pertahanan bukan leading sektor dari pengelolaan informasi terkait dengan keamanan negara. Kementerian Pertahanan bukanlah lembaga yang menurut undang-undang sebagai lembaga koordinasi intelijen negara,” kata Julius Ibrani dalam pernyataan tertulis, Ahad, 22 Januari 2023.
Julius menjelaskan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.
Ia mengatakan definisi tersebut menjelaskan fungsi intelijen sebagai bahan perumusan kebijakan dan straegi nasional, yang menstrukturkan hierarki instansi sektoral (TNI, Polri, Kejaksaan, Kementerian/Lembaga) sebagai pengumpul informasi dan fakta, seperti tercantum pada Pasal 9, melalui isu dan perspektif sektoral, sehingga dapat dirumuskan secara holistik dan komprehensif oleh koordinator Intelijen, yakni BIN, yang dirinci pada Pasal 38.
Perpres Nomor 67 tahun 2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara, menegaskan kembali relasi fungsi dan hierarki tersebut dalam Pasal 3, yakni
"BIN sebagai koordinator penyelenggara Intelijen Negara bertugas mengoordinasikan penyelenggaraan Intelijen Negara; memadukan produk Intelijen; melaporkan penyelenggaraan koordinasi Intelijen Negara kepada Presiden; dan mengatur dan mengoordinasikan Intelijen pengamanan.”
Karena itu, Julius menilai penempatan Kementeria Pertahanan di atas Badan Intelijen Negara jelas pelanggaran terhadap UU Intelijen.
"Dan justru terlihat hendak mengutamakan pendekatan sektoral pertahanan yang bernuansa militerisme, dan artinya isu pertahanan membawahi isu hukum, hak asasi manusia, dan lainnya, dan berpotensi semakin menjauhkan kebijakan negara dari supremasi dan kebebasan sipil sebagai mandat reformasi,” ujar Julius.
M JULNIS FIRMANSYAH I EKA YUDHA SAPUTRA I FAJAR PEBRIANTO