Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin, menyatakan Irwan terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Irwan divonis 12 tahun, lebih tinggi dari tuntutan jaksa.
Jaksa mengklaim tetap memburu para tersangka.
JAKARTA– Ahli hukum pidana dan pegiat antikorupsi menilai vonis terhadap Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan dan koleganya bisa menjadi pintu masuk bagi penyidik Kejaksaan Agung mengusut aliran dana pengamanan perkara kasus base transceiver station (BTS) 4G. Penyelisikan terhadap mereka yang diduga terlibat sangat bergantung pada upaya tim penyidik mengungkap kasus pengamanan korupsi proyek penyediaan menara BTS 4G itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan hakim mempertimbangkan putusan berdasarkan informasi dan fakta selama persidangan. Informasi tersebut diperoleh dari para saksi, keterangan terdakwa, dan dokumen. Informasi itu pun sudah menjadi fakta persidangan untuk memvonis Irwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sehingga hal itu bisa dijadikan dasar untuk menentukan status seorang saksi atau tersangka,” ujar Fickar saat dihubungi pada Kamis, 9 November 2023. Dalam konteks perkara BTS, dia melanjutkan, keterangan terdakwa atau saksi Irwan bisa dijadikan dasar untuk menetapkan tersangka lain, seperti Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo yang diduga menerima aliran dana Rp 27 miliar serta Nistra Yohan yang diduga menjadi penghubung dan penyalur dana ke Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Bidang Komunikasi dan Informatika.
Ketua majelis hakim Dennie Arsan Fatrika dalam amar putusan pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin, menyatakan Irwan terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Salah satu pertimbangannya, hakim menyatakan Irwan dan orang kepercayaannya, Windi Purnama, diduga mengumpulkan uang untuk pengamanan kasus korupsi BTS 4G yang diusut aparat hukum. Di antaranya, Irwan diduga menyerahkan Rp 27 miliar kepada Dito Ariotedjo. Adapun Windu Purnama diduga menyerahkan Rp 70 miliar kepada Nistra Yohan, staf ahli anggota Komisi I DPR, di sebuah hotel di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Irwan Hermawan (kanan) dan Galumbang Menak bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, 17 Oktober 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Hakim Dennie memvonis Irwan dengan pidana penjara selama 12 tahun. Vonis ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa selama 6 tahun penjara. Irwan juga dikenai denda Rp 500 juta dan uang pengganti Rp 1 miliar. Hakim Dennie mengatakan, bila terdakwa tidak bisa membayar denda, hukuman akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Hakim juga menolak permohonan terdakwa Irwan Hermawan menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau justice collaborator dalam perkara ini. Pertimbangan hakim menolak pengajuan itu adalah Irwan dinilai sebagai salah satu pelaku utama dalam kasus tersebut.
Majelis hakim menyatakan Irwan melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Namun hakim mengatakan Irwan Hermawan tidak terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang.
Menurut pertimbangan hakim, Irwan Hermawan merupakan terdakwa yang berperan menutup kasus penyelidikan dugaan korupsi proyek BTS 4G di Kejaksaan Agung. Irwan bekerja bersama orang kepercayaannya, Windi Purnama, mengumpulkan uang sesuai dengan perintah eks Direktur Utama Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Anang Achmad Latif.
Menteri Pemuda dan Olahraga Nandito Ariotedjo bersiap memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan menara BTS 4G Bakti Kementerian Kominfo, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 11 Oktober 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Adapun hal yang memberatkan Irwan Hermawan, menurut hakim, adalah terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, serta nepotisme. Perbuatan Irwan juga telah menimbulkan kerugian keuangan negara serta berusaha menutupi dan menghentikan proses perkara. Menurut hakim, terdakwa mengumpulkan dan mengalirkan uang dalam proyek BTS 4G sehingga memperluas terjadinya tindak pidana korupsi itu sendiri.
Sedangkan hal-hal yang meringankan Irwan adalah dia belum pernah dihukum; bersikap sopan dan terus terang sehingga memperlancar proses persidangan; serta mempunyai tanggungan keluarga, istri, dan anak-anak.
Abdul Fickar menyatakan penyidik harus segera memanggil Dito dan Nistra untuk selanjutnya diproses secara hukum. “Kemudian dilanjutkan dengan penahanan tindak pidana korupsi, termasuk pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun,” kata Abdul.
Masih dalam sidang perkara yang sama, majelis hakim juga membacakan putusan terhadap terdakwa Galumbang Menak Simanjuntak, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia; dan Mukti Ali, Account Director of Integrated Account Department PT Huawei Tech Investment.
Majelis hakim menjatuhkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan terhadap Galumbang. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni pidana 15 tahun penjara.
Sementara itu, terhadap terdakwa Mukti Ali, majelis hakim menjatuhkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan. Vonis majelis hakim tersebut sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Penasihat hukum Irwan dan Galumbang, Maqdir Ismail, tidak menyangka kliennya divonis lebih tinggi dari tuntutan. Atas putusan hakim, Maqdir menyatakan kliennya menyatakan pikir-pikir dulu. Demikian juga dengan Mukti Ali yang menyatakan pikir-pikir.
Desakan untuk menuntaskan penyelidikan kasus BTS 4G disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tibiko Zabar. Dia mendesak penyidik mendalami aliran uang ke Nistra Yohan dan Dito Ariotedjo. Apalagi adanya aliran dana kepada dua orang itu sudah terbukti dalam persidangan. Dengan demikian, penyidik harus segera memeriksa keduanya. “Ini sudah jadi fakta yang tidak terelakkan. Bukti ini juga sudah jadi putusan, dan ini menjadi hal serius karena ada indikasi dana pengamanan mengalir ke sejumlah pihak,” kata Tibiko kepada Tempo.
Tibiko juga meminta tim penyidik Kejaksaan Agung melihat kembali fakta persidangan. Fakta itu kemudian harus dikonstruksi untuk membongkar pengamanan perkara. Tidak hanya itu, konstruksi itu juga penting untuk membongkar adanya indikasi skandal lain. “Proyek BTS dari awal perencanaan, pelaksanaan, hingga selesai memang diatur untuk korupsi. Jadi kemungkinan masih ada skandal yang belum terungkap,” kata Tibiko.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, mengatakan penyidik seharusnya mendalami fakta persidangan. Fakta persidangan sudah dengan terang menunjukkan aliran dana mengarah ke mana. “Ini disebut-sebut mengalir ke salah seorang menteri dan juga ke pihak-pihak lain. Ini harus diusut tuntas tanpa pandang bulu. Semua harus diproses,” kata Zaenur.
Tidak hanya itu, Zaenur mengatakan, meski Dito disebut-sebut sudah mengembalikan uang tersebut, penyidik harus mengusut keterlibatan Dito. Sebab, Zaenur mengatakan perkara ini melibatkan banyak pihak. “Penyidik harus proaktif,” ujarnya.
Kejaksaan Klaim Tetap Buru Tersangka
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan pihaknya terus mencari Nistra Yohan. Sebelumnya penyidik sudah dua kali memanggil Nistra, tapi dia tak kunjung hadir. Untuk itu, pihaknya saat ini sedang mencari keberadaan Nistra. “Kendalanya, dia belum ditemukan,” kata Ketut, kemarin.
Perihal Dito, Ketut tidak banyak berkomentar. Dia hanya mengatakan penyidik pasti memiliki pertimbangan untuk memanggil seseorang.
Adapun Dito belum membalas permintaan konfirmasi Tempo mengenai hal ini. Namun Dito dalam beberapa kali kesempatan membantah jika dikatakan terlibat pengamanan kasus saat menjadi saksi untuk mantan Menkominfo, Johnny G. Plate; eks Direktur Utama Bakti Kementerian Kominfo, Anang Achmad Latif; dan eks Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia, Yohan Suryanto, di Pengadilan Tipikor, Rabu, 11 Oktober lalu. Dia juga membantah mengenal Irwan.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo