Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Partai Keadilan Sejahtera memastikan tak akan tergiur atas tawaran kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam waktu dekat ini. Partai berlambang bulan sabit kembar itu memilih berkonsentrasi memenangkan gugatan Anies Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar di Mahkamah Konstitusi lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator juru bicara PKS, Ahmad Mabruri, mengatakan, sesuai dengan hasil Musyawarah Majelis Syura PKS ke-X pada Sabtu pekan lalu, Majelis Syura mengamanatkan DPP PKS agar berfokus mengawal gugatan sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi. Di samping itu, kata Mabruri, PKS akan mendorong penggunaan hak angket kecurangan Pemilu 2024 di Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia melanjutkan, peluang pertemuan antara elite partainya dan Prabowo-Gibran akan terjadi setelah Mahkamah Konstitusi membacakan putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) tersebut.
Anies-Muhaimin baru saja menggugat hasil pemilihan presiden ke Mahkamah Konstitusi. Agenda selanjutnya, MK memberi waktu perbaikan permohonan hingga Selasa besok. Lalu pemeriksaan pendahuluan akan digelar pada 29 April mendatang.
PKS bersama Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai NasDem merupakan pengusung Anies-Muhaimin dalam pemilihan presiden 2024. Perolehan suara jagoan Koalisi Perubahan itu sesuai dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum sebesar 40,97 juta suara atau 24,9 persen. Sedangkan Prabowo-Gibran meraih 96,21 juta suara atau 58,6 persen. Lalu Ganjar Pranowo-Mahfud Md. memperoleh 27,04 juta suara atau 16,5 persen.
Tim Hukum Nasional (THN) calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar melayangkan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 21 Maret 2024. TEMPO/Subekti
Setelah penetapan KPU ini, Prabowo Subianto memberi sinyal akan merangkul partai pendukung kedua rivalnya untuk bergabung ke koalisi pemerintahannya. Sampai saat ini, kubu Prabowo sudah berusaha mendekati Partai NasDem, PKB, Partai Persatuan Pembangunan, dan PDI Perjuangan. PPP dan PDI Perjuangan bersama Partai Persatuan Indonesia (Perindo) serta Partai Hanura merupakan pendukung Ganjar-Mahfud.
Prabowo menemui Ketua Umum NasDem Surya Paloh di NasDem Tower, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. Setelah pertemuan itu, Paloh mengatakan NasDem dan Gerindra sudah bersepakat menjaga stabilitas nasional setelah pemilihan presiden.
Meski pertemuan ini sebagai sinyal berkoalisi, Paloh belum bersedia menegaskannya. “Itu 50:50 possibility-nya,” katanya.
Prabowo mengatakan kunjungannya ke kantor pusat NasDem tersebut merupakan bentuk penghargaan dan terima kasih dirinya kepada Paloh yang mengucapkan selamat atas hasil Pemilu 2024. Ketua Umum Partai Gerindra ini juga memberi sinyal ingin membangun hubungan yang lebih baik antara Gerindra dan NasDem. “Sesudah pertandingan, sesudah persaingan, saatnya kita bekerja sama,” kata Prabowo.
Jika agenda Prabowo merangkul banyak partai ini terealisasi, kemungkinan besar oposisi di DPR akan melemah. Prabowo butuh tambahan anggota koalisi karena perolehan kursi DPR partai politik pendukungnya belum mencapai 50 persen. Empat dari tujuh partai pendukung Prabowo-Gibran yang lolos ambang batas parlemen, yaitu Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional, diperkirakan hanya memiliki 280 kursi di DPR. Angka ini tak sampai setengah dari total 580 anggota DPR periode 2024-2029.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai pertemuan Paloh dan Prabowo itu menjadi pertanda bahwa NasDem menganggap pemilihan presiden sudah selesai serta Prabowo sebagai pemenangnya. "Bagi NasDem, pilpres dan Anies sudah selesai serta menjadi masa lalu. Ke depan, NasDem menatap soal kemungkinan koalisi dengan Prabowo," katanya.
Adi juga memberi penilaian atas karpet merah yang disiapkan Paloh saat Prabowo ke NasDem Tower. Ia menyebutkan karpet merah itu merupakan bentuk pengakuan Paloh bahwa Prabowo merupakan presiden terpilih.
Peneliti senior Populi Center, Usep Saepul Akhyar, mengatakan pemerintahan yang menganut sistem demokrasi membutuhkan oposisi yang kuat di parlemen. Sebab, mereka harus menjalankan fungsi DPR dengan baik, yaitu mengawasi eksekutif.
“Sehingga pemerintah akan hati-hati dalam menjalankan pemerintahan,” kata Usep, Ahad kemarin.
Ia menjelaskan, tiga pilar dalam demokrasi, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, harus sama-sama dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Karena itu, ketiga pilar tersebut tidak perlu menyatu dalam satu koalisi.
Namun, kata Usep, dari pengalaman di Indonesia selama ini, pemerintahan yang berkuasa selalu berusaha melemahkan oposisi. Eksekutif kerap menempuh berbagai cara agar dapat merangkul partai politik di luar pemerintahan.
Presiden Joko Widodo memberi hormat kepada Ketua DPR RI Puan Maharani sebelum menyampaikan pidato di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Oktober 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Usep mencontohkan dua periode pemerintahan Joko Widodo pada 2014-2024. Seusai pemilihan presiden, Jokowi lantas merangkul partai politik yang berseberangan dengannya dalam pemilihan. Bahkan hampir semua partai politik di DPR bergabung pada periode kedua pemerintahan Jokowi.
Akibatnya, kata Usep, partai politik di DPR tidak lagi dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Mereka justru menjadi perpanjangan tangan pemerintah di legislatif. “Mereka bukan lagi menjadi pengontrol dari eksekutif,” ujarnya.
Menurut Usep, masyarakat sesungguhnya membutuhkan oposisi yang kuat. Masyarakat akan menganggap ada pihak yang memperjuangkan kepentingan publik ketika eksekutif mengutamakan urusan kelompok dan koalisinya.
Baca Juga:
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, sependapat dengan Usep. Ujang mengatakan sistem demokrasi memang membutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh. Alasannya, kubu pemerintah akan mudah menggembosi oposisi yang tak tangguh atau lemah.
“Menjadi oposisi itu susah dan menderita. Bisa dicari-cari kasus hukumnya dan lainnya,” kata Ujang.
Ujang berpendapat, publik sesungguhnya membutuhkan oposisi yang kuat sebagai pelaksana mekanisme checks and balances serta pengawas terhadap eksekutif. Keberadaan oposisi yang kuat akan membuat eksekutif lebih berhati-hati dalam menjalankan kekuasaannya.
“Kalau oposisi tidak kuat, penyalahgunaan kekuasaan akan mudah dilakukan oleh pihak yang menjalankan kekuasaan,” katanya.
Menurut dia, keberadaan oposisi ini sesungguhnya bukan semata-mata menjadi rival eksekutif. Namun legislatif yang kuat akan memperkokoh konsolidasi demokrasi dan menjaga keseimbangan pemerintahan. Mereka juga berfungsi menjalankan checks and balances serta mengawasi eksekutif agar tidak salah jalan dan tak menyalahgunakan kewenangan serta kekuasaan.
“Oposisi itu gunanya untuk mengkritik pemerintahan jika salah jalan atau menggunakan pemerintahan secara sewenang-wenang,” kata Ujang.
RUSMAN PARAQBUEQ | ADINDA JASMINE PRASETYO | YOHANES MAHARSO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo