Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pungli Rutan Berujung Sidang Etik

Sebanyak 93 pegawai KPK akan menjalani sidang etik. Mereka disebut terlibat kasus pungutan liar di rutan. Apa saja modusnya?

17 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dewas KPK menggelar sidang etik terhadap 93 pegawai KPK.

  • Kasus pungli di Rutan KPK disebut sebagai pengembangan temuan awal Dewan Pengawas pada Juni 2023.

  • Perlu reformasi total pengawasan di KPK.

JAKARTA – Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) mulai menggelar sidang etik terhadap 93 pegawai di komisi antirasuah itu pada Rabu ini, 17 Januari 2024. Dewas memastikan akan menghukum 90 pegawai yang diduga terlibat kasus pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) KPK itu dengan sanksi berat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, mengatakan lembaganya telah merampungkan pemeriksaan terhadap 169 orang dalam kasus pungli di lembaga antirasuah. Sebanyak 27 orang di antaranya adalah tahanan atau narapidana kasus korupsi. Dewas KPK juga memeriksa mantan staf rutan, pelaksana tugas kepala bagian pengamanan rutan, dan inspektur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, jumlah yang diperiksa terdiri atas 32 saksi dari 169 terperiksa. Dari jumlah itu, 137 orang merupakan pegawai yang pernah bertugas di Rutan KPK. Selama pemeriksaan, terungkap 93 orang di antaranya terbukti menerima uang pungli. "Totalnya sekitar Rp 6,148 miliar. Itu total temuan kami di Dewan Pengawas," ujar Albertina dalam keterangan pers di Gedung ACLC KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.

Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean bersama tiga anggota Dewas KPK, Albertina Ho, Harjono (kanan), dan Syamsuddin Haris (kiri), memberikan paparan di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 15 Januari 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Albertina menyatakan belum dapat mengungkap identitas 93 pegawai di Rutan KPK yang diduga terlibat aksi pungli. Dia hanya mengatakan para pegawai tersebut yang akan menjalani sidang etik. Dalam sidang etik bakal terungkap peran para pegawai yang diduga terlibat kasus pungli di Rutan KPK. “Hal itu nanti disampaikan setelah sidang etik rampung.” Albertina sempat membenarkan bahwa Kepala Rutan KPK Achmad Fauzi disebut-sebut termasuk 93 pegawai yang akan menjalani sidang etik.

Dia mengungkapkan bahwa 93 pegawai KPK yang diduga terlibat aksi pungli tersebut paling sedikit menerima fulus Rp 1 juta dan tertinggi Rp 504 juta. Dewas KPK tidak mengungkapkan siapa saja pelaku utama atau yang mengambil bagian paling besar dalam aksi pungli tersebut. Dewas selama menyelisik kasus tersebut telah mengumpulkan 65 bukti berupa dokumen, termasuk dokumen penyetoran uang. Barang bukti ini menguatkan adanya praktik rasuah oleh pegawai Rutan KPK.

Dewas KPK membagi kasus pungli tersebut menjadi sembilan berkas perkara. Enam kasus di antaranya adalah berkas perkara untuk 90 orang. Sisanya masing-masing tiga berkas perkara untuk tiga pegawai yang diduga melanggar etik. Berkas kasus 90 orang akan disidangkan lebih dulu pada Rabu ini. “Tiga orang lagi nanti disidangkan setelah enam perkara ini diputus,” kata Albertina.

Albertina menjelaskan, Dewas memisahkan tiga dari 90 orang itu karena pasal yang akan dikenakan terhadap ketiga orang tersebut berbeda. Dewas KPK, kata dia, tidak bisa mengadili mereka bersama-sama. Sebanyak 90 orang yang menjalani sidang etik hari ini dikenakan Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021. Pasal tersebut berbunyi, "Setiap insan Komisi dilarang menyalahgunakan jabatan dan/atau kewenangan yang dimiliki, termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai insan Komisi, baik dalam pelaksanaan tugas maupun kepentingan pribadi dan/atau golongan."

Albertina enggan mengungkap nama pelaku utama dalam kasus pungli ini. Masalah pelaku utama, kata dia, merupakan tugas Divisi Penindakan KPK yang akan menindaklanjuti semuanya, termasuk jumlah pasti uang pungli dalam kasus ini. “Nanti dalam sidang etik itu akan terungkap semuanya,” ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, Syamsuddin Harris, juga anggota Dewas KPK, enggan mengungkap bahwa bukti dokumen transfer yang ditemukan Dewas mengindikasikan akan adanya sanksi berat berupa pemecatan tidak hormat terhadap para pegawai. Ia juga enggan menjawab benar-tidaknya Dewas akan mengusut aliran dana pungli. “Tunggu saja hasil sidang, ya,” kata Syamsuddin saat dihubungi Tempo, kemarin, 16 Januari 2024.

Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan lembaganya menghormati proses yang sedang dilakukan Dewas KPK, termasuk bersiap menggelar sidang etik terhadap 90 pegawai KPK. Ia mengatakan langkah dan keputusan Dewas menyelisik kasus pungli ini merupakan komitmen untuk menjaga marwah kelembagaan KPK. Dalam sidang etik nanti, Ali mengatakan, Dewas pastinya memutus dugaan pelanggaran ini secara independen, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Pengembangan Temuan Dewan Pengawas Tahun Lalu

Kasus dugaan pungli ini disebut merupakan pengembangan temuan awal Dewan Pengawas pada Juni lalu. Keterangan pers yang disampaikan Dewas saat itu menyebutkan adanya praktik pungli yang mencapai Rp 4 miliar dalam kurun Desember 2021 hingga Maret 2022. Dewas KPK telah melaporkan temuan praktik lancung itu kepada komisioner KPK.

Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan temuan itu didasari inisiatif penyelidikan yang dilakukan lembaganya karena mendengar adanya kabar soal pungli di rutan. Saat itu Tumpak mengatakan kasus tersebut, selain diusut secara etik, bisa masuk ranah pidana. Ia menyebutkan praktik ini merupakan tindak pidana karena melanggar Pasal 12 huruf c Undang-Undang 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Temuan kasus pungli di Rutan KPK pada tahun lalu murni temuan Dewas. Albertina mengatakan temuan itu sudah disampaikan kepada pimpinan KPK sejak 16 Mei 2023 untuk ditindaklanjuti sebagai kasus pidana. "Ini murni temuan Dewan Pengawas, tidak ada pengaduan,” ujarnya.

Dewas KPK saat itu tidak melanjutkan proses etik atas temuan kasus pungli tahun lalu karena tak cukup alasan. Namun, dia menyebutkan, satu orang sudah diberhentikan pada 16 Agustus lalu. Sedangkan satu orang lainnya berstatus pegawai alih daya. Walhasil, keduanya tidak bisa dikenai sanksi etik.

Ketua KPK (nonaktif) Firli Bahuri melakukan pertemuan dengan pimpinan Dewan Pengawas KPK di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 21 Desember 2023. TEMPO/Imam Sukamto

Disebut Bermasalah Sejak Firli Memimpin 

Kurnia Ramadhana, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), mengatakan problematika integritas pegawai maupun pimpinan KPK menjadi permasalahan yang tak kunjung usai sejak Firli Bahuri memimpin lembaga antirasuah itu. Selama kepemimpinan Firli, publik terus menerima kabar adanya laporan pelanggaran etik pegawainya ke Dewan Pengawas KPK.

Padahal, kata pegiat antikorupsi ini, lembaga antirasuah itu selama ini dikenal sebagai contoh dan patron integritas oleh masyarakat. ICW menilai pengusutan praktik pungli di Rutan KPK terbilang lamban. Sebab, kata Kurnia, Dewas KPK diketahui sudah melaporkan kasus itu kepada pimpinan KPK sejak Mei 2023. Namun, hingga saat ini, prosesnya mandek di tingkat penyelidikan. Dewas juga baru menggelar sidang etik kasus tersebut setelah lebih dari enam bulan penyelidikan.

Menurut Kurnia, kasus ini membuktikan bahwa KPK gagal mengawasi sektor-sektor kerja yang terbilang rawan korupsi. Menurut dia, KPK semestinya memahami bahwa rutan merupakan salah satu tempat yang rawan terjadinya korupsi. Sebab, para tahanan dapat berinteraksi secara langsung dengan pegawai KPK. Modus jual-beli fasilitas yang disinyalir terjadi di Rutan KPK saat ini juga bukan hal baru karena kerap terjadi pada rutan maupun lembaga pemasyarakatan lain. “Dari sana semestinya sistem pengawasan sudah dibangun untuk memitigasi praktik-praktik korup,” kata Kurnia.

ICW juga menyoroti praktik pungli oleh puluhan pegawai KPK juga disebabkan faktor tidak adanya teladan dari pemimpin di KPK. Dari lima komisioner KPK periode 2019-2024 ini, dua di antaranya sudah terbukti melanggar kode etik berat.

Lili Pintauli Siregar, Komisioner KPK, memilih mundur pada Juli 2022. Lili disebut melanggar etik karena diduga menerima akomodasi hotel dan tiket menonton MotoGP 2022 di Mandalika dari salah satu badan usaha milik negara. Lili mundur sebelum Dewas KPK menggelar sidang etik. Walhasil, sidang etik untuk Lili gugur. Komisioner lainnya yang tersangkut kasus adalah Ketua KPK Firli Bahuri. Firli saat ini menjalani proses hukum karena diduga menerima suap dan gratifikasi dalam penanganan kasus korupsi di Kementerian Pertanian.

Pegawai KPK di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto

Kurnia menegaskan bahwa perlu dilakukannya reformasi total pengawasan terhadap KPK juga harus memastikan rekrutmen pegawai mengedepankan nilai integritas. “Jangan sampai orang-orang yang masuk dan bekerja justru memanfaatkan kewenangan untuk meraup keuntungan secara melawan hukum seperti kasus pungli di Rutan KPK,” tutur Kurnia.

Adapun peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengatakan kasus pungli di Rutan KPK menegaskan pentingnya KPK untuk segera "turun mesin". Sebab, tren pelanggaran yang semakin serius menandakan semakin keroposnya nilai integritas di lingkup internal KPK.

Alvin juga menyebutkan hilangnya keteladanan juga menjadi faktor yang turut andil dalam kebobrokan KPK. “Pemimpin yang tidak taat kode etik mustahil menjadi inspirasi para pegawainya untuk menjaga integritas.” Ia mendorong KPK segera melakukan evaluasi besar-besaran terhadap penegakan nilai-nilai integritas, dimulai dari penegakan kode etik yang serius dan tegas. 

EKA YUDHA SAPUTRA | BAGUS PRIBADI | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus