KADOLO, alias Uma na Muti (ayahnya Muti), hampir tak dapat
beranjak dari tikarnya. Perutnya gembung seperti balon raksasa,
terasa lembut penuh cairan.
Gejala penyakit ini terdapat di Lembah Napu, Sulawesi Tengah,
sudah lama dijumpai di kalangan penduduk. Umumnya penderita
penyakit Schistosomiasis atau Bilharzia itu susah ditolong
antara lain karena terletak di lembah gunung dengan ketinggian
1000 meter lebih. Penduduk Napu laim menyebutnya penyakit
bengke (perut besar). Belum tersedia obat untuk mereka.
Orang seperti Kadolo, korban Bilharzia dari Kampung Alitupu yang
berpenduduk 396 jiwa, tampak dibiarkan saja tanpa pengobatan.
Cacing yang merongrong kesehatannya tergolong parasit darah.
Sekali masuk ke dalam tubuh manusia, cacing itu dapat berumur
sampai 20 tahun -- asal manusianya tahan menderita begitu lama,
tentunya.
Lebih dari separuh penduduk Napu yang 6000 jiwa itu diancam maut
oleh sejenis keong ampibi yang besarnya hanya sepentol korek
api. Keong ini -- Oncomelania hupensis lindoensis -- suka
menempel di batang rumut dan padi yang pangkalnya terendam air.
Terutama bila air mandeg, maka di tubuh keong itu bersarang
ribuan cercaria, anak cacing Schisto yang baru menetas dari
telurnya. Bila keong ini terinjak kaki manusia yang telanjang,
ribuan cercaria tadi dengan mudah menerobos pori-pori kulit
masuk ke peredaran darah. Anak cacing itu juga dapat tersebar
lewat kotoran manusia dan mamalia seperti kerbau, kuda, maupun
anjing dan kucing.
Di Lembah Napu yang kaya dengan padang rumput, sawah, rawa-rawa,
sungai dan hutan-hutan kecil, terdapat pula banyak tempat
bercokol (focus) keong renik berikut penumpang gelapnya. Depkes
dan US-Namru dalam survei 1973/74 menemukan lebih dari 60%
penduduk Kampung Alitupu dan sekitarnya berada dalam bahaya
Schisto. Begitu pula 51% penduduk Kaduwa, 46% penduduk Sedoa,
dan 20% penduduk Watumaeta. Di Kampung Wuasa sendiri yang
merupakan ibukota Kecamatan Lore Utara, 18% penduduknya diduga
sudah ketularan Bilharzia, sementara Kampung Watutau yang paling
selatan di Lembah Napu 'hanya' 12%. Tak ketinggalan pula
beberapa kampung di pinggir sungai antara Lembah Napu dan Lembah
Besoa di selatannya, meskipun persentase serangan Bilharzia
masih di bawah 10% -- tahun 1974.
Pemberantasan dan pengobatan para penderitanya belum pernah
dilakukan di Napu. Ini berbeda dengan di tepi Danau Lindu, yang
memang lima tahun lamanya jadi pusat penelitian terhadap Schisto
(TrMPO, 29 Desember 1973 dan 2 Nopember 1974). Namun seperti
diungkapkan S. Danto, Kepala Puskesmas Wuasa "faktor lingkungan
ikut menentukan (merajalelanya penyakit cacing ini). Banyak
sawah penduduk yang terlantar," antara lain karena sebagian
sawah penduduk itu selalu kebanjiran air Sungai Tambua, nama
setempat bagi S. Lairiang. Makanya Danto lewat Kepala Kampung
menganjurkan agar penduduk segera mengolah kembali sawah-sawah
tersebut agar tak tcrus menerus menjadi sumber perkembangan
keong.
Belum Berhasil
Anjuran itu memang sudah dituruti oleh rakyat setempat. Di
banyak tempat yang dulu focus keong, padi sudah menghijau. Tapi
kemudian ada faktor lain, yakni sanitasi lingkungan. Penduduk
masih terus buang hajat besar di kali, yang membuat cercaria
Schisto itu dapat terus merambat. Para kepala kampung sudah
mendapat pengarahan oleh Puskesmas Lore Utara, supaya setiap
rumah tangga membuat satu kakus darurat, tapi belum berhasil.
Pernah ada rencana untuk membangun sumur pompa di desa-desa
Schisto itu. Alitupu, misalnya, bakal kebagian tiga sumur pompa.
Inipun mandeg. Maklumlah, berada di bawah administrasi Kabupaten
Poso, bantuan pemerintah untuk desa-desa di Napu biasanya
dikirim dulu ke Kota Poso. Kalau ada pesawat Cessna MAF,
barang-barang yang agak besar atau berat itu dapat diterbangkan
ke Wuasa. Dari ibukota kecamatan harus dipikul manusia dan kuda
ke kampung-kampung yang terpencil itu. Jalan setapak antara
Wuasa dan kampung-kampung Napu lainnya umumnya tak terpelihara.