Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
ICW menjelaskan, riset kelembagaan ditujukan dalam kapasitas Moeldoko sebagai pejabat negara, bukan pribadi.
ICW menyebutkan hasil riset tidak bisa dipidanakan.
Polisi pada pekan depan menjadwalkan meminta klarifikasi kepada dua peneliti ICW.
JAKARTA — Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko disebut-sebut telah menutup pintu mediasi dengan dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayoga dan Miftahul Choir. Otto Hasibuan, pengacara Moeldoko, mengatakan kliennya, sebelum melaporkan pegiat antikorupsi itu ke polisi, sudah melayangkan tiga kali surat peringatan alias somasi agar mereka meminta maaf, tapi diabaikan. "Mereka (ICW) hanya membuat anggapan tanpa bukti,” ujar Otto saat dihubungi, kemarin. "Tidak ada kemungkinan lagi dari kami untuk mediasi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Moeldoko melaporkan dua peneliti ICW itu atas dugaan pencemaran nama perihal penelitian potensi rent-seeking alias perburuan rente serta konflik kepentingan dalam produksi dan distribusi Ivermectin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini bermula dari penelitian ICW mengenai dugaan adanya konflik kepentingan dalam produksi dan distribusi Ivermectin. Dalam penelitian tersebut, nama Moeldoko disebut-sebut mempunyai keterkaitan dengan PT Harsen Laboratories, perusahaan yang memproduksi dan menawarkan obat cacing itu untuk terapi obat Covid-19. Sebab, petinggi PT Harsen, Sofia Koswara, serta anak Moeldoko, Joanina Rachma, sama-sama menjadi pemegang saham di PT Noorpay Perkasa. Sofia juga menjabat direktur di perusahaan tersebut.
PT Noorpay ditengarai bekerja sama dengan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), yang dipimpin Moeldoko, sejak 2019. ICW menduga Moeldoko dan Sofia terhubung lewat kerja sama tersebut. Pada awal Juni lalu, Ivermectin didistribusikan ke Kabupaten Kudus melalui HKTI.
Warga mencari informasi soal Ivermectin secara daring. TEMPO/Nurdiansah
Otto membantah jika dikatakan kliennya mempunyai keterkaitan dengan PT Harsen. Meski begitu, dia membenarkan bahwa Sofia dan Joanina menjadi pemegang saham PT Noorpay. Menurut dia, jika Sofia dan Joanina mempunyai hubungan tersebut, bukan berarti bisa langsung dikaitkan dengan PT Harsen. "Mereka ingin menafsirkan bahwa, ketika anak klien kami punya saham dan bekerja sama dengan PT Harsen, berarti punya keterkaitan," ujar Otto. "Itu tafsir yang keliru."
Otto juga membenarkan bahwa PT Noorpay bekerja sama dengan HKTI. Namun kerja sama tersebut, kata dia, hanya sebatas pelatihan petani. Nah, ucap Otto, hal yang dituduhkan adalah HKTI bekerja sama dengan PT Noorpay untuk mengekspor beras. "Kami tidak percaya penelitian ICW itu. Seharusnya kajian itu dilakukan secara akademis," ucapnya. "Bukan hanya mengaitkan dengan anggapan tanpa bukti, dan hanya mengaitkan dengan berita di media."
Otto mengatakan kliennya akan mencabut laporan pencemaran nama itu jika sedari awal ICW meminta maaf secara terbuka setelah somasi dilayangkan tiga kali. Lantaran tidak ada permintaan maaf dari ICW, kata Otto, akhirnya Moeldoko memutuskan melaporkan mereka.
Moeldoko melaporkan Egi dan Miftahul ke Markas Besar Polri atas tuduhan pencemaran nama pada 10 September lalu. Moeldoko sendiri telah diperiksa atas laporannya itu di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pada Selasa, 13 Oktober 2021. "Kalau sekarang minta maaf, hal itu tidak menghentikan pidana," ucap Otto.
Saat memberikan keterangan, kata Otto, Moeldoko telah menyampaikan beberapa bukti terkait dengan laporannya. Tapi Otto belum bersedia menyebutkan bukti yang dibawa Moeldoko ke hadapan polisi. "Bukti yang dibawa berkaitan dengan laporannya. Tidak ada fakta bahwa ada keterkaitan klien kami dengan peredaran Ivermectin dan ekspor beras," tuturnya.
Adapun Muhammad Isnur, kuasa hukum dua peneliti ICW, mengatakan kajian ICW telah sesuai dengan standar penelitian. Semua data dalam penelitian itu bersumber dari dokumen yang valid. Dalam penelitian itu, kata dia, Moeldoko diduga mempunyai relasi atau kepentingan terhadap peredaran Ivermectin. "Apa dasar Moeldoko membagi-bagikan Ivermectin? Dia, kan, Kepala Staf Kepresidenan?" ucapnya. "Belum lagi jika ditelusuri dari relasi anaknya di PT Noorpay."
Isnur mengatakan kliennya siap menguji data kajian mereka perihal penelitian tersebut. Menurut dia, laporan Moeldoko justru bakal menjadi ujian kepolisian karena, berdasarkan surat keputusan bersama soal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) poin 3 (c) untuk Pasal 27 ayat 3, pejabat publik tidak bisa melaporkan kajian ataupun riset publik. "Karena dia subyek untuk dikritik."
Kuasa hukum ICW lainnya, Julius Ibrani, menuturkan bahwa kajian kliennya berdiri di atas tugas kelembagaan untuk advokasi demi kepentingan publik. Salah satu caranya adalah pengawasan ataupun kontrol terhadap pemerintahan agar tidak terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui riset atau penelitian.
"Sedari awal ICW telah menjelaskan dan menjawab Moeldoko dan kuasa hukumnya bahwa riset kelembagaan ditujukan dalam kapasitas Moeldoko sebagai pejabat negara, bukan pribadi. Jadi, tidak ada pencemaran nama, baik pribadi, apalagi caci maki pribadi," ujar Julius. Jika tidak setuju atas kajian itu, kata dia, Moeldoko bisa membantah riset tersebut. "Bukan dengan somasi dan laporan pidana. Apalagi pakai UU ITE."
Julius menjelaskan, ICW, sebagai lembaga, ataupun Egi dan Miftahul, sebagai staf ICW, akan tetap mematuhi hukum serta aturan. Termasuk, jika ada proses hukum atas laporan yang diajukan Moeldoko. ICW, kata dia, tidak punya persiapan khusus dalam menghadapi laporan pencemaran nama itu. "Kami tetap berpegang pada riset ICW saja. Kalaupun diminta membuktikan, riset yang akan menjadi buktinya," ucapnya.
Dalam kesempatan terpisah, Badan Reserse Kriminal Polri menyatakan bakal segera mengundang dua peneliti ICW untuk mengklarifikasi soal kajian mereka terhadap potensi pemburu rente Ivermectin. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Rudi Hartono, mengatakan pemanggilan kedua peneliti ICW itu masih menunggu informasi penyidik. "Kami masih menunggu proses yang ditangani penyidik," kata Rudi.
Rudi menuturkan laporan pidana pencemaran nama itu masih diproses dalam tahap penyelidikan. Proses tersebut juga masih berupa permintaan klarifikasi, baik pelapor maupun terlapor. Setelah mengklarifikasi kedua belah pihak, kata Rusdi, proses mediasi masih bisa dilakukan. "Bagaimana ke depan penanganan kasusnya, kami tunggu," ujarnya. "Biasanya mediasi dilakukan setelah penyidik mendapat klarifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa."
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo