Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI kelanjutan dari sedikit pergolakan tarekat dalam tubuh NU: masalah Tijaniyah, aliran yang banyak dipertanyakan keabsahannya. Dalam kongres ke-6 ahli tarekat NU (Jam'iyah Ahlith Thariqatil Mu'tabarah an-Nahdliyah) akhir Desember tahun lalu di Probolinggo, Jawa Timur, yang merupakan bagian dari Muktamar ke-27 NU, sekitar 200 kiai kembali memperbincangkan tarekat ini. Memang, dalam sidang itu, suara-suara yang menginginkan "dipecat"-nya aliran ini tidak berhasil menang. Kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa Tijaniyah, betapapun, telah dianggap sah dalam Muktamar NU ke-26 di Cirebon, 1931, yang sidangnya kebetulan diketuai K.H. Hasyim Asy'ari sendiri, pendiri NU dan tokoh yang berwibawa (TEMPO, 22 Desember 1984). Tapi sejak itu "kegelisahan sekitar Tijani", teperhatikan lagi. Dari kalangan Tijani sendiri, Sabtu lalu terlihat kegiatan cukup besar. Sekitar 15 ribu orang membanjiri kompleks pesantren Nahdlatut Thalibin di Blado Wetan, Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Malasan, Probolinggo. Bukan karena acara unjuk gigi. Hari itu, 17 Syawal, memang hari peringatan wafat (haul) Syekh Tijani yang kebetulan dipusatkan di situ. Di situ pula para umat dengan khidmat mendengarkan ceramah tentang riwayat Syekh Tijani dan keutamaan Tarekat, yang disampaikan K.H. Ismail Qamaruz Zaman dari Garut, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Muhdlar dari Bondowoso (simpatisan, bukan orang Tijani), dan K.H.Muhlas, pimpinan pondok Nahdlatut Thalibin. Yang terakhir ini adalah tuan rumah dan pimpinan Tijani Jawa Timur. Hanya, tidak seperti haul-haul sebelumnya, peringatan kali ini - mungkin karena TiJani selalu dihebohkan - dimanfaatkan pula untuk pertemuan para muqaddam (pendahulu, pemuka, pembuka jalan) Tijani se-Jawa dan Madura. Acara yang diselenggarakan di tempat kediaman K.H. Muhlas itu antara lain membicarakan kritik-kritik tersebut. Kritik paling formal agaknya yang dilontarkan pertengahan Februari lalu. Risalah NU Jawa Timur, Aula, menurunkan sebuah artikel di rubrik Aqidah Syan'ah mengenai keabsahan Tarekat Tijaniyah. Penulisnya K.H. Anas Thahir Syamsuddin, penanggungjawab majalah itu, mengupas segi-segi negatif Tijaniyah dalam tulisan yang berjudul "Meninjau Keabsahan Tarekat Tijaniyah". K.H. Anas antara lain mengutip perkataan Syekh Tijani ini: "Dua tapak kakiku di atas leher semua wali, sejak Adam sampai ditiupnya sangkakala (kiamat)." Juga, menurut Syekh Tijani, pendiri aliran itu, "Umur semua umat manusia akan lenyap tiada berarti sama sekali, kecuali pengamal selawat al-fatih lima ughliq (salawat kaum Tijani)." Lagi, seperti ditulis K.H. Anas, 47, kaum Tijani menganggap, "Semua zikir, doa, salawat yang dibaca orang di luar Tijani, andai diamalkan selama seratus tahun dan setiap hari seratus kali, kemudian pahalanya dikumpulkan, semuanya tak bisa menandingi pahala satu kali saja bacaan salawat al-fatih lima ughliq." Dan "Sekali saja membaca al-fatih lima ughiiq, pahalanya bisa menandingi enam ribu kali khatam Quran." Karena itulah layak jadinya bila, "Kelak di hari kiamat Allah taala tidak akan menghisab (menghitung amalan dan dosa) kaum Tijani tidak meneliti mereka, tidak menanyakan perbuatan yang telah mereka lakukan." Artinya, langsung masuk ke surga. Pada tulisannya, K.H. Anas, murid K.H. Ali Maksum itu, menggunakan berbagai kitab rujukan kaum Tijani. Tentu saja, persoalan menjadi hangat. Para pengikut Tijani yang kebetulan berlangga-nan majalah NU JaTim yang beroplah 7.000 itu terlihat gelisah. Seorang tokoh Tijani dari Probolinggo, H.A. Fauzan Fathullah, malah perlu menulis sebuah diktat 17 halaman, berisi sanggahan, yang kemudian di sebarluaskan terutama ke seluruh pengikut. Heboh Tijani semakin santer. "Tapi yang untung justru kami," kata K.H. Muhlas, 55. Sebab, "Orang lalu ingin tahu banyak tentang Tijani." Tentang doktrin "masuk surga tanpa hisab", menurut Muhlas. "Nabi sendiri menjamin, siapa saja yang di akhir hayatnya mengucap 'la ilaha illallah', akan masuk surga." Nabi juga berkata," sepertiga umatku akan masuk surga tanpa hisab." Tentu saja, Nabi tak pernah mengatakan bahwa mereka itu kaum Tijani. Masih ada lagi tentang salawat al-fatih lima ughliq. "Kita tahu," kata Muhlas, "membaca salawat tidak banyak risikonya sebagaimana membaca Alquran, yang harus tahu tajwid, makhraj, dan sebagainya. Padahal, pahala membaca salawat itu dijamin pasti dapat." Jadi, persoalannya bukan salawat itu lebih utama dari Alquran. Ini kedengarannya seperti keterangan untuk orang yang membaca risalah K.H. As'ad Syamsul Arifin, Wudhuhud dalalah (penjelasan argumen), yang ada mengatakan bahwa aliran Tijani cenderung menyepelekan Alquran. Tapi yang terpenting dalam hal Tijani ialah masalah sanad - "persambungan" sebuah tarekat "dengan Nabi", sebagaimana yang dipercayai kalangan ini. Menurut Muhlas, Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani, yang lahir di 'Ain Madli, Aljazair, 1150 H, dan meninggal di Fez, Marokko, 1230 H (tokoh peralihan abad XVIII-XIX M), mendapat talkin tarekat dari Nabi Muhammad sendiri - "bukan talkin dalam mimpi", seperti lazim dituduhkan orang. "Ini talkin 'iyaanan yaqdhatan (terang-terangan dan dalam keadaan bangun), atau talkin barzakhi. Jadi, kata Muhlas, sanad Tijani asli dari Nabi, tidak terputus. Apakah Anda percaya, itu soal lain. Betapapun, Muhlas mengharap kepada para ulama NU atau para ahli tarekat mu'tabar NU agar tidak usah mengungkitungkit persoalan yang sudah disahkan para ulama pendahulu NU. "Sebab, ilmu ulama kini masih belum sebatas ilmu yang dimiliki ulama seperti K.H. Hasyim Asy'ari." Itu pula sebabnya, dalam pertemuan tertutup di antara para muqaddam yang sudah disebut, menurut sumber TEMPO, antara lain dibicarakan perlunya mengirim surat kepada PB NU untuk segera menyelesaikan masalah itu. Selain itu, dirasa perlu memberikan kitab-kitab Tijani kepada para ulama yang belum tahu betul aliran itu. Tapi ketika hal itu dikonfirmasikan dengan K.H. Muhlas, pemimpin pondok yang ditempati pertemuan itu, ia tidak langsung menjawab. "Memang, ada pemikiran seperti itu. Tapi selalu saya tolak," katanya. Mengapa? "Saya takut suul adab (buruk tingkah). Kalau NU yang memanggil kami, ya, kami akan patuh dan datang." Lebih-lebih rais am NU, K.H. Achmad Siddiq, tak melibatkan diri dalam soal itu. Bahkan, menurut sumber TEMPO, beberapa waktu lalu ada tokoh Tijani yang datang kepada Achmad untuk minta petunjuk. Achmad Siddiq, kata sumber itu, kemudian memberikan pengarahan agar Tijani tetap berjalan sesuai dengan ajarannya. Itulah sebabnya, keputusan rapat para muqaddam mengenai soal itu hanya berbunyi: Bersedia dipanggil PB NU untuk memusyawarahkan heboh Tijani. Dan itu kebetulan sejalan saja dengan bunyi rekomendasi kongres ke-6 ahli tarekat NU yang sudah disebut - yang minta PBNU meninjau kembali keputusan Muktamar NU ke-6 di Cirebon, 1931, yang menerima aliran Tijaniah itu. Choirul anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo