Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pendidikan inklusif bagi siswa difabel menghadapi tantangan dalam masa pandemi Covid-19. Salah satunya, cara guru menyelnggarakan proses belajar mengajar yang tidak dilakukan secara tatap muka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Staf Ahli Bidang Hukum, Politik, dan HAM dari Kantor Staf Khusus Presiden, Sunarman Sukamto mengatakan anak dengan disabilitas tidak mudah menghadapi perubahan situasi belajar mengajar, pergantian guru, apalagi perubahan kondisi belajar yang harus dilakukan dari rumah. "Sebab itu, perlu sebuah pendekatan baru dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif," kata Sunarman Sukamto dalam diskusi mengenai pendidikan inklusif melalui forum online pada Rabu, 20 Mei 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah satunya pendekatan baru dalam pendidikan inklusif selama belajar dari rumah adalah dengan peran aktif orang tua, kerabat, atau pendamping dalam kegiatan belajar mengajar. "Perlu ada pelatihan bagi orang tua atau pendamping dalam menggunakan media daring guna mendukung kegiatan belajar mengajar dari rumah," ujar Direktur Yayasan Wahana Inklusi Indonesia, Tolhas Damanik di forum yang sama.
Menurut Tolhas, pelatihan ini sangat penting dilakukan lantaran tidak semua guru di sekolah inklusif dapat mengaplikasikan secara tepat sarana belajar mengajar yang adaptif bagi peserta didik disabilitas. Dia mencontohkan, penggunaan sarana media daring bagi anak dengan disabilitas sensorik rungu tidak dapat dilakukan secara maksimal, bila tidak ada penerjemah bahasa isyarat.
Kondisi ini juga dialami oleh peserta didik dari ragam disabilitas intelektual yang tidak memungkinkan belajar secara online dari rumah tanpa guru pendamping khusus. "Juga perlu diperhatikan sarana belajar online yang digunakan, seperti ponsel atau laptop apakah sudah adaptif bagi peserta didik maupun gurunya," kata Tolhas. "Karena ada beberapa guru yang tidak dapat mengaplikasikan perangkat tersebut dengan alasan sudah tua, tidak ada akses Internet, dan sebagainya."
Kondisi menjadi lebih sulit bagi siswa disabilitas di sekolah inklusif dengan adanya pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Physical distancing membuat sekolah atau lembaga pendidikan inklusif kesulitan memberikan layanan pendidikan khusus dari rumah ke rumah. "Lembaga kami awalnya ingin memberikan pelayanan dari rumah ke rumah. Tapi bagaimanapun kita harus menghormati aturan pemerintah untuk melakukan PSBB," kata dia.
Direktur Yayasan Sukma yang bergerak di bidang advokasi pendidikan, Ahmad Baidowi mengatakan, aturan pendidikan inklusif sebaiknya tidak hanya menyasar guru dan peserta didik dengan disabilitas. Musababnya, dalam keadaan yang cukup sulit untuk bermobilitas saat ini, peran orang tua atau pendamping anak berkebutuhan khusus sangat penting.
Menurut dia, harus ada kebijakan bagi orang tua dan pendamping anak disabilitas dalam memperoleh haknya di bidang pendidikan. "Kebijakan ini tentu juga harus mendukung keberadaan mereka," kata Baidowi. Contohnya, ada program pelatihan pendamping bagi anak berkebutuhan khusus yang masuk dalam program pra kerja. Dengan begitu, para pendamping ini dapat bekerja maksimal dan anak disabilitas dapat mengakses pendidikannya yang layak.