Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai sistem hukum di Indonesia tak bersahabat terhadap korban kekerasan seksual. Sistem hukum yang ada dinilai masih mengabaikan kondisi psikologis korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pihak berwenang atau ahli hukum sering tidak mengerti situasi psikologi korban,” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu kepada Tempo akhir Oktober lalu. Menurut dia, korban acap ditanya hal-hal yang justru membuatnya merasa terintimidasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang disampaikan Azriana agaknya tergambar dari apa yang dialami YF, 33 tahun, korban kekerasan seksual di halte Transjakarta. Selama menjalani proses hukum kasusnya, ia kerap merasa tak dihargai sebagai korban. “Saya korban perkosaan. Tapi saya mendapat cecaran pertanyaan seperti maling,” ujarnya.
Hal tersebut salah satunya terjadi saat ia membuat laporan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya pada 20 Januari 2014 silam. Ia menjadi korban perilaku bejat empat petugas Transjakarta.
Kepada Tempo, ia bercerita peristiwa kelam yang dialaminya empat tahun lalu itu. Seorang diri, YF datang ke kantor Kepolisian Resor Jakarta Pusat sehari setelah kejadian. “Saat itu saya dirujuk ke PPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) di lantai 2,” kata YF saat ditemui Tempo, Ahad, 18 November lalu. Ia memutuskan bercerita kepada Tempo soal kejadian pahit itu karena selama ini suaranya tak pernah didengar media dan publik.
YF pun mengingat lagi. Kala itu, ia berhadapan dengan lima orang anggota polisi. Dua diantaranya perempuan, dan sisanya laki-laki. YF diminta menceritakan kejadian yang dialaminya. Ia sempat bernegosiasi agar ia bercerita kepada polwan saja agar lebih nyaman. Namun permintaannya ditolak. “Saya terpaksa cerita dan ada bapak-bapak polisi,” ujarnya.
Cerita YF bermula dari Senin pagi, 20 Januari 2014 saat ia berangkat kerja menggunakan bus Transjakarta. Di perjalanan ia pingsan karena asmanya kambuh. YF memang memiliki riwayat penyakit asma akut yang kerap kambuh jika terserang hawa dingin.
Ia yang lemas ditolong oleh seorang ibu dan petugas onboard Transjakarta. Saat sadar, YF berada di Halte Harmoni. Di sana lah ia bertemu empat pelaku, Edwin Kurnia Lingga, M Irfan, Dharman R Sitorus dan M Kurniawan. Perbuatan bejat para pelaku dilakukan di ruang genset.
Petugas berkebaya melakukan sosialisasi tentang pencegahan pelecehan seksual di transportasi publik saat menyambut Hari Kartini di dalam KRL, Jakarta, 20 April 2018. Kegiatan ini bertujuan memberi pemahaman kepada pengguna KRL mengenai bentuk-bentuk pelecehan seksual yang bisa saja terjadi. TEMPO/Muhammad Hidayat
Laporan YG ditindaklanjuti. Keesokan hari usai memberi laporan, YF diminta polisi datang ke lokasi kejadian untuk merekontruksi peristiwa secara detail. Saat itu, YF mengaku merasa tak nyaman namun tak kuasa menolak. “Mereka tahu enggak sih perasaan saya untuk masuk lagi ke ruangan itu?” ujarnya.
Dalam kondisi yang belum pulih, YF selanjutnya diminta mendampingi polisi untuk menangkap pelaku. Ia pun terpaksa berhadapan kembali dengan para pelaku pencabulan. Hari itu, dua pelaku, Dharman dan Irfan ditangkap. Sedangkan Edwin dan Kurniawan menyerahkan diri.
Penangkapan pelaku bukan berarti persoalan yang dihadapi YF berakhir. Warga Kemayoran, Jakarta Pusat itu harus menjalani proses persidangan selama lebih dari lima bulan. Lagi-lagi ia merasa tak dihargai sebagai korban.
Salah satunya saat pengacara pelaku meminta YF menggunakan kembali pakaian yang digunakan saat kejadian untuk membuktikan seberapa pendek pakaian itu di tubuhnya. “Kartika Jahja (pendamping YF) membela, hakim juga enggak setuju,” kata dia.
Empat pelaku akhirnya dikenai Pasal 281 KUHP tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dan dihukum 1 tahun 6 bulan penjara. Bagi YF, putusan itu tak adil. Hukuman tersebut tak sebanding dengan trauma dan stigma yang terlanjur melekat padanya. Sampai hari ini, ia masih berjuang melawan trauma dan stigma itu. “Aku manusia berharga. Aku bukan aib,” kata dia.
Azriana pun mencatat masih banyak korban kekerasan seksual yang tak seperti YF dan memilih bungkam. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan korban enggan buka mulut, diantaranya berkaitan dengan stigma, tekanan sosial sampai proses hukum yang justru malah menambah beban.
Ia mencontohkan masalah visum. “Tak semua visum bisa keluar dalam perkara kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,” ujarnya. Seperti kasus YF, visum fisik tidak dapat dikeluarkan kepolisian karena tidak ada luka memar di tubuh korban.
Warga yang tergabung dalam aliansi masyarakat dan mahasiswa menggelar aksi simpatik di kawasan Bebas Kendaraan Bermotor di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Mei 2016. Aksi dengan membawa payung, poster, peralatan rumah tangga yang bisa dibunyikan tersebut sebagai wujud genderang tanda bahaya darurat kekerasan seksual terhadap kaum hawa terutama wanita dan anak-anak semakin nyata. TEMPO/Bram Selo Agung
Pengacara publik LBH Apik, Citra Referandum mengungkap contoh lainnya. Dari beberapa kasus yang ia tangani, penegak hukum kerap membuat korban memperagakan kembali peristiwa pencabulan atau meminta korban mencari alat bukti. Padahal dua hal tersebut dapat membebani korban yang telah mengalami kekerasan seksual.
Karena itu, kata Citra, pihaknya meminta polisi untuk mereformasi perspektif kepolisian mengenai korban kekerasan seksual. "Polisi harus memberi pemahaman untuk berpihak pada korban dan membuka serta mengecek kasus-kasus yang pernah masuk untuk dikerjakan secara cepat," ujarnya.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal menanggapi hal tersebut. Ia mengatakan bahwa dalam proses pemeriksaan, setiap korban dan saksi dapat didampingi oleh pengacara. "Yang memeriksa juga PPA, polwan-polwan yang sudah dilatih secara profesional, hal-hal yg sensitif, kewanitaan dan lain-lain," ujarnya."Kalau ada yg mengintimidasi itu oknum, bukan polisi."