Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Seorang jurnalis di Nusa Tenggara Barat (NTB) mendapat intimidasi setelah menulis berita tentang dugaan suap di Kepolisian Daerah NTB. Jurnalis bernama Mughni Ilma itu mengaku diancam akan dipidanakan menggunakan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. "Saya juga diancam akan diawasi oleh tim cyber crime," kata jurnalis NTBSATU.com itu, kemarin. "Itu yang paling bikin mental saya down."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mughni menulis artikel berjudul "Terindikasi 'Fee' Mengalir ke Oknum Penyidik Polda NTB Terkait Kasus Kosmetik Diduga Ilegal?" pada 3 Desember 2022. Artikel ini memuat hasil wawancara Mughni dengan NP, pemilik produk kosmetik RNC. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTB telah menetapkan NP sebagai tersangka dalam kasus kosmetik ilegal. Kasus ini telah ditangani kepolisian selama dua tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara itu, NP menyatakan kasusnya telah dinyatakan selesai. Pada saat yang sama, Mughni mendengar isu adanya aliran uang kepada penyidik yang membuat kasus ini ditutup. Setelah menelusuri informasi itu, Mughni menemukan bukti transfer uang sebesar Rp 15 juta dari NP pada 1 Juni 2022. Ia menduga uang itu untuk penyidik Ditreskrimsus Polda NTB. Dugaannya makin kuat setelah ia menemukan foto seorang penyidik tengah menikmati jamuan makan bersama karyawan perusahaan kosmetik yang sedang beperkara.
Situs berita ntbsatu.com. Tempo/Bintari Rahmanita
Untuk memastikan semua temuan itu, Mughni kemudian meminta tanggapan dari sejumlah pemimpin di Polda NTB. Tapi ia diminta menghubungi bagian humas. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda NTB menegaskan bahwa penyidikan kasus kosmetik ilegal masih berjalan. Bahkan berkas perkara sudah diserahkan ke kejaksaan untuk dipelajari. Ihwal dugaan adanya penyidik yang menerima uang dari tersangka, Kabid Humas menyarankan untuk menunggu persidangan.
Setelah berita itu terbit, Mughni ditelepon seseorang yang mengaku dari Polda NTB pada 7 Desember lalu. Penelepon itu meminta Mughni datang ke Polda. "Di Polda, saya diajak ke atas (ruangan penyidik). Dia bilang mau tanya soal pemberitaan," kata Mughni.
Di ruang penyidik, Mughni bertemu dengan Kasubdit I Ditreskrimsus Polda NTB Komisaris Gede Harimbawa serta dua anak buahnya. Mereka menanyakan identitas kewartawanan Mughni. Gede Harimbawa mengatakan bisa menjerat Mughni menggunakan pasal-pasal KUHP. "Seolah-olah berita saya itu adalah berita bohong," kata Mughni. Pria berusia 27 tahun itu menegaskan masih menyimpan dokumen yang menjadi dasar artikelnya itu. Begitu juga dengan rekaman wawancara narasumber. "Laporan yang saya tulis tidak memiliki pretensi untuk menghakimi pihak mana pun."
Pemimpin Redaksi NTBSATU.com, Haris Mathul, mengatakan intimidasi terhadap Mughni merupakan tindakan yang menyalahi hukum. Pihak-pihak yang berkeberatan atas isi pemberitaan seharusnya menghubungi Haris sebagai pemimpin NTBSATU.com sekaligus atasan Mughni. Apalagi laporan yang ditulis Mughni telah melewati proses verifikasi yang ketat oleh editor. Bahkan laporan Mughni itu juga telah memenuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang menjadi pedoman bagi semua jurnalis di Indonesia.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mataram, Kasim, mengecam sikap perwira Polda NTB yang mengintimidasi jurnalis NTBSATU.com. Apalagi laporan yang ditulis Mughni telah memenuhi kaidah jurnalistik. "Berita yang ditulis sudah melalui proses verifikasi dan konfirmasi," kata dia. "Secara kaidah ataupun kode etik, tidak ada yang dilanggar."
Kasim menegaskan bahwa kalimat polisi yang akan menjerat Mughni dengan KUHP adalah sebuah bentuk ancaman. Pernyataan itu sudah bisa dikategorikan melanggar Undang-Undang Pers. Terlebih, sikap arogansi Kasubdit I Ditreskrimsus Polda NTB tersebut juga menunjukkan bahwa undang-undang pada KUHAP baru itu dapat dijadikan senjata untuk membungkam jurnalis. "KUHP ini baru disahkan sudah dijadikan alat untuk intimidasi," ucapnya. "Tentu ini menjadi preseden buruk bagi Polri."
Bantah Lakukan Intimidasi
Komisaris Gede Harimbawa membantah tudingan bahwa dirinya telah mengintimidasi Mughni. Menurut Gede, insiden yang terjadi dengan Mughni hanyalah kesalahpahaman. Polemik itu dinyatakan selesai setelah mereka bertemu dengan Pemimpin Redaksi NTBSATU.com serta AJI Kota Mataram. "Kemarin miskomunikasi saja," katanya. "Kita hanya tanyakan, kalau beritanya bohong, misalnya, apa itu masuk dalam KUHP? Jadi, bukan intimidasi. Bukan seperti itu maksudnya."
Jurnalis melakukan aksi unjuk rasa menolak RKUHP di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, 5 Desember 2022. TEMPO/Prima mulia
Menurut Gede, tak mungkin polisi mengintimidasi jurnalis yang dianggap sebagai mitra. Bahkan kepolisian dan jurnalis juga sudah saling mengenal. Karena itu, kecil kemungkinan polisi mengintimidasi jurnalis yang dinilai telah membantu mempublikasikan kegiatan kepolisian.
Ihwal dugaan suap dari tersangka kasus kosmetik ilegal, Gede mempersilakan siapa pun melapor ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. "Kalau ada anggota kami seperti di pemberitaan benar menerima fee, langsung laporkan biar nanti Propam yang menindak," ujarnya. "Tapi, kalau misalnya pemberitaan itu miskomunikasi, ya, kami coba luruskan."
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung, mengatakan intimidasi yang dilakukan Kasubdit I Ditreskrimsus Polda NTB terhadap Mughni jelas merupakan pelanggaran terhadap kemerdekaan pers. Tindakan intimidasi ini juga telah memenuhi unsur tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Karena itu, kata Erick, intimidasi terhadap jurnalis NTBSATU.com itu harus tetap ditindaklanjuti. KKJ saat ini masih menyiapkan dokumen untuk melapor ke Divisi Propam Polri. Sebab, intimidasi itu sangat mempengaruhi kondisi psikologis Mughni. Apalagi ada beberapa orang tak dikenal sering terlihat mengawasi rumah Mughni. "Kami akan terus memonitor kasus ini hingga tuntas," ucapnya.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo