Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETENGAH tidak percaya, setengah berharap, Samlawi mengamati batu sebesar kelereng berbentuk ketupat itu. Permukaannya kekuningan dan di bagian dalam berwarna putih. Jantungnya berdegup kencang. Matanya membelalak melihat batu di tangannya itu. Intan! "Allahumma Shalli'ala Sayyidina Muhammad,"teriaknya. Itulah pertanda Samlawi, pendulang intan itu, sedang mamicik (menemukan intan). Segera sekitar 200 pendulang yang berada di lokasi pendulangan Bumi Rata itu serempak menyambut, mengucapkan selawat pula. Hari itu rezeki telah datang ke salah satu di antara mereka, dan mereka bersyukur. Intan yang ditemukan di Desa Bawahan, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Selasa pagi dua pekan lalu itu tak kepalang tanggung. Si galuh ini -- sebutan penduduk setempat untuk batu mulia -- berukuran 50 karat, dengan berat 10 gram. Artinya, inilah temuan terbesar dalam sejarah, setelah 22 tahun yang lalu Haji Matsam mamicik intan Tri Sakti 156,72 karat di Desa Sungai Tiung, di kabupaten yang sama. Tidak jelas, siapa yang kini memiliki si Tri Sakti ini. Rekor kedua, dipegang si galuh yang ditemukan Pendulang Haderi dari Desa Pasar Jati, masih di kecamatan yang sama, September lalu, kini terlampaui. Temuan Haderi dan kawan-kawan itu cuma 33 karat, dan terjual pada pedagang intan dari Martapura, Haji Muchlis, seharga Rp 80 juta. Tak aneh kalau peristiwa ini kembali menjadi buah bibir masyarakat Martapura, ibu kota Kabupaten Banjar, daerah penghasil intan di Provinsi Kalimantan Selatan itu. Bupati Banjar, Roesiansyah, memberi nama Barakat untuk si galuh. Artinya, mendapat berkah dari Tuhan. Di kalangan pedagang intan terdengar bisik-bisik, bila intan itu digosok dengan baik nilainya bisa mencapai setengah milyar rupiah. Tapi ternyata Senin pekan lalu intan itu hanya terjual Rp 202.500.000. Pembelinya herasal dari Belgia, Celis Ronny dengan tiga temannya. "Kami terpengaruh akan besarnya intan itu," kata Bupati Roesiansyah seusai menyaksikan transaksi si Barakat di kantor BRI Martapura. Nilai intan memang ditentukan bukan oleh besarnya, tapi terutama oleh kualitasnya. Intan terbaik berwarna putih kebiruan, menyusul merah, putih polos, baru yang terakhir kuning, yaitu warna si Barakat. Intan Indonesia memang dikenal kurang tinggi kualitasnya, kalah jauh dibanding dengan intan Afrika Selatan yang banyak menghasilkan intan putih kebiruan. Tawaran orang Belgia itu yang tertinggi. Haji Muchlis, pedagang intan dari Martapura itu, misalnya, hanya berani menawar Si Barakat Rp 190 juta. Dengan penemuan si Barakat, sepanjang tahun ini sudah tiga intan besar ditemukan di situ. Sebelum temuan Haderi tadi, ditemukan intan 16,5 karat oleh Tajudin dan kawan-kawan, penduduk Desa Bangkal Timur (masih di kawasan itu) pada awal bulan lalu. Pemda sudah mengumpulkan uang retribusi Rp 18 juta lebih dari tiga intan yang ditemukan terakhir itu, termasuk retribusi dari si Barakat sebesar Rp 10.250.000. Retribusi itu dibayar oleh si pembeli Belgia. Jumlah Rp 18 juta itu jauh di atas target APBD Pemda Banjar untuk tahun ini, yang cuma mengharapkan Rp 3,5 juta dari pengutipan retribusi pendulangan intan. Intan yang besarnya dua karat ke bawah dibebaskan dari retribusi. Selain karena transaksinya sulit diketahui, juga dimaksudkan untuk merangsang para pendulang yang kebanyakan adalah rakyat kecil "Kehidupan pendulang itu bagai penjudi, kadang dapat tapi lebih sering tak dapat apa-apa," kata Roesiansyah. Setelah penemuan intan Tri Sakti, Agustus 1965, cukup lama kota intan Martpura tenggelam. Banyak para pendulang terpaksa hengkang karena tak mendapatkan hasil yang memadai. "Kini intan-intan itu seperti mengucapkan selamat datang pada saya," kata Roesiansyah, yang menjabat bupati mulai 2 November yang lalu, sambil tertawa. Mereka yang menemukan Barakat kebetulan satu keluarga. Yaitu Pak Masra, 55 tahun, dan anak-anaknya, Samlawi, Samsuri, Baihaqi, Fahmi, serta menantunya, Djaini. Dibanding pendulang intan umumnya, keluarga ini tampaknya cukup mampu. Rumah mereka, di tepi jalan lintas Kalimantan Selatan, 19 km dari kota intan Martapura, terbilang lumayan untuk ukuran setempat cukup besar dan dindingnya terbuat dari kayu ulin. Di dalam terlihat pesawat TV warna 24 inci dan dua kulkas besar pembuat es yang mampu menghasilkan Rp 20.000 per hari. Mereka memiliki pula dua hektar kebun jeruk dan jambu. Mungkin, karena itu mereka belum punya rencana macam-macam dengan uang penjualan si galuh. "Yang pasti, nanti Ibu dan Ayah naik haji," kata Samlawi. Hasil penjualan Barakat dibagi tujuh lot. Dalam istilah setempat, lot kira-kira berarti bagian. Separuh lot diberikan kepada Saifi, pemilik tanah yang menjadi lokasi pendulangan intan itu. Setengah lot lagi dibagikan pada Djaini, pemilik mobil yang khusus mengangkut para pendulang intan di sana. Djaini sendiri adalah menantu Pak Masra. Baik Djaini maupun Saifi memperoleh masing-masing sekitar Rp 14 juta. Sedangkan sisanya, enam lot atau kurang lebih Rp 170 juta menjadi bagian Pak Masra dan anak-anaknya. Samlawi tak merasa bahwa rezeki raksasa yang menubruk mereka berkaitan dengan mimpinya. Semalam sebelum mamicik, dia malah mendapat mimpi buruk: istrinya melahirkan anak laki-laki tapi meninggal. Samlawi, 40 tahun, pun waswas, karena istrinya, Masitah, memang lagi mengandung anak ketiganya, tujuh bulan. Ternyata, sekira pukul 09.30 pagi itu, ketika mereka memilah-milah bebatuan di karung keenam dari 30 karung yang baru mereka korek pagi itu dari lubang pendulangan sedalam 5 meter, si galuh terpegang di tangan Samlawi. Laporan Alimin Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo