Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DESEMBER tahun lalu, Lembaga Monisnania Swedia menganugerahkan
hadiah sastra kepada Kim Chi-Ha. Ia dipilih dalam, semangat
'menjunjung kebebasan menyatakan pendapat'.
Tapi penyair Korea itu tidak muncul pada malam penyerahan
hadiah. Ia masih meringkuk dalam penjara tanah airnya. Bahkan
sensur militer rezim Seoul membungkam rapat berita itu. Rakyat
Korea Selatan tak boleh tahu.
Baru beberapa hari kemudian, Kim terdapat di antara tahanan
politik yang dibebaskan dari berbagai penjara Korea. Dan
Februari tahun ini, ketika Dubes Belanda di Korea Selatan Roland
van den Berg menyerahkan hadiah lain, yakni dari Festival Puisi
Internasional Rotterdam untuk Kim, pers Korea diizinkan
menyiarkan peristiwa itu. Tapi tak boleh panjang-panjang.
"Kim Chi-Ha mungkin tokoh yang paling banyak mendapat perhatian
internasional di antara sastrawan Korea lainnya," tulis
koresponden The Asian Wall Street Journal Norman Thorpe, yang
juga rajin menerjemahkan karya sastra Korea. Tapi pemerintah
negerinya rupanya tak bersenang hati. Karya-karyanya dianggap
mengandung kritik keras dan " tak bertenggang rasa" ke
alamat penguasa, bahkan ketika mendiang Presiden Park
Chun Hee masih bertahta.
Sekitar awal 1970-an, media yang menyiarkan puisi Kim
bolak-balik menclapat tekanan. Ia sendiri keluar masuk bui.
Bahkan dalam salah satu kasus dijatuhi hukuman mati.
Putusan itu memang kemudian diubah. Namun ketika ia dibebaskan
Desember tahun lalu, Kim telah menjalani 101 bulan dalam
penjara. Di samping itu ia masih 'berutan' 14 tahun penjara
lagi. Akibat pemasungan di tanah air sendiri, nama Kim lebih
dikenal di luar ketimbang di kampung halaman. Pemberangusan
karya-karyanya di Korea Selatan sudah berjalan hampir satu
dasawarsa.
Bahkan meskipun akhir-akhir ini surat kabar tanah air sudah
memuat berita tentang dia, untuk banyak penduduk Korea nama itu
terdengar asing. Sebagian besar mahasiswa tak mengenalnya.
Soalnya, mereka memang baru duduk di SD ketika puisi Kim Chi-Ha
menjadi kebanggaan nasional.
Pemberangusan ini sesungguhnya ironis. Pemerintah Seoul
sebenarnya berhasrat besar mendapat perhatian internasional di
bidang kesusastraan. Setelah novelis Jepang Yasunari Kawabata
memenangkan hadiah Nobel kesusastraan, 1968, Korea ingin pula
merebut penghargaan yang sama.
Pemerintah mulai melancarkan program gencar penerjemahan
karya-karya Korea ke bahasa-bahasa asing, guna memancing
perhatian internasional. Tapi tampaknya hanya Kim Chi-Ha yang
mungkin beroleh peluang Nobel itu. Padahal puisinya tak termasuk
yang disuruh terjemahkan oleh pemerintah -- meski kenyataannya
toh diterjemahkan orang di mana-mana.
INI, Kim bersama istri dan seorang anaknya yang baru berumur
tujuh tahun, tinggal di Wonju, 180 km di selatan Seoul. Ibu
mertuanya, Park Kyung-Ree, adalah salah seorang novelis wanita
Korea terkemuka. Ny. Park telah menjual rumahnya di Seoul dan
pindah ke Wonju agar dekat dengan anak mantu.
Apa saja yang dilakukan penyair malang itu, sejak lepas dari
penjara? Tetap menulis? "Anda akan mendapatkan kemantapan baru
dalam puisi saya yang akan datang," ujarnya kepada dua orang
reporter yang menemuinya baru-baru ini di sebuah tempat tamasya
di tepi kota. "Tapi jangan sekarang," sambungnya.
Mengapa? "Sekarang saya tidak menulis, tidak membaca. Sekarang
saya sedang menunggu. Tidak memperhatikan, melainkan menunggu.
Saya sedang menangkap getar sesuatu yang bakal datang. Di masa
depan anda pun dapat menyaksikannya," sambung Kim seakan
berpuisi.
Tapi, rupanya ada yang berubah. "Sembilan tahun lalu," katanya,
"motif utama di dalam hati, dan di dalam karya saya, adalah api.
Kini api itu berganti dengan air. Bagai riam yang mengalir,
tenang, dalam, dan jernih." Nah.
Ia juga mengaku tak begitu tertarik lagi pada politik. Selama ia
masih menyaksikan kekerasan dan penderitaan di sekitarnya, kata
Kim, "saya merasa militansi politik sebagai suatu hal yang
sia-sia." Ia juga tak yakin hal itu dapat membawa suatu
perubahan.
Lalu bagaimana dengan ideologi? "Saya tidak menyenangi sastra
ideologis." Memang, pemerintah Korea Selatan pernah memaklumkan
"pengakuan" Kim Chi-Ha sebagai seorang komunis. Artinya, ia
adalah musuh.
Tapi Kim sendiri sudah membantah "pengakuan" itu melalui
"pernyataan hati nurani". Ini satu-satunya 'karya tulis' yang
diciptakannya selama dalam penjara, dan diselundupkan ke luar
pada 1975. Dalam dokumen yang sudah diterjemahkan dan beredar ke
berbagai negeri itu, Kim menerangkan ia terpaksa membuat
'pengakuan' di bawah siksaan yang tak tertahankan.
Selama di penjara, Kim Chi-Ha mempelajari ajaran Buda, Zen, dan
berlatih meditasi. Ia juga menyimak Injil, Al Quran, dan berdoa.
"Tapi meditasi dan berdoa tidak terlalu penting," menurut
kesimpulannya. Yang paling utama ialah penemuan diri terus
menerus, dan pembangkitan harapan yang tak kunjung padam.
"Selama hal itu dapat dilakukan, pengucilan yang bagaimanapun
tak akan mampu menghancurkan seorang manusia."
Kini, kemerdekaan macam apa yang diperolehnya setelah keluar
dari penjara? Kim sendiri tampaknya puyeng. Penguasa Korea
Selatan belum memberitahu, apa yang boleh -- dan tidak boleh
--dilakukannya. Satu-satunya kegembiraan ialah bahwa teman-teman
lama datang mengunjunginya.
Salah seorang teman itu mengatakan, bahwa dalam usia 40 tahun
sekarang, Kim memang tampak lebih matang, lebih pendiam, dan
lebih introspektif. Ia benar tak begitu ambil pusing lagi pada
politik praktis, tidak begitu militan, tapi tetap penuh
pengabdian .
Toh pemerintah Korea Selatan tetap memandang Khn Chi-Ha sebagai
oknum yang patut dimata-matai. Tatkala beberapa teman ingin
mengunjunginya, di Wonju, untuk turut menyukuri penghargaan yang
diterimanya dari Negeri Belanda, polisi mencegat rombongan kecil
itu di terminal bis. Dan memerintahkan mereka balik jalan.
Nama Kim juga tercantum dalam les hitam yang memuat 567 nama
yang tidak boleh melakukan kegiatan politik. Lucunya, dalam
daftar itu juga terdapat nama beberapa bekas pembantu mendiang
Presiden Park Chung Hee, yang dulu jadi bulan-bulanan kritik Kim
lantaran tindak korupsi mereka.
KARYA Kim sendiri, berbeda dengan puisi modern Korea lainnya,
sebenarnya sukar diterjemahkan. Sebagian besar menyangkut
kasanah kedaerahan yang khas, dengan penggunaan peristilahan
tradisional yang bahkan untuk orang Korea sendiri tidak
seluruhnya terpahami. Kadang-kadang istilah yang dipakainya tak
bisa ditemukan dalam kamus Korea.
Dalam gaya itulah ia menyesali kesewenang-wenangan, atau
menertawakan tingkah para penguasa yang korup dan tak becus.
Setelah mempelajari sekian kitab suci dan kepercayaan, Kim tetap
seorang Katolik yang teguh. "Tapi katolikisme di Dunia Ketiga
sangat lain dengan di Eropa," katanya. "Gereja yang
sesungguhnya," sambung Kim, "datang dari Dunia Ketiga --
termasuk semenanjung yang melarat ini." Ia juga menyebut Dunia
Ketiga sebagai "ladang Tuhan yang sebenarnya. Dan di Asia
Tenggara, menurut Kim, "terdapat tradisi revolusi dan
petualangan spiritual".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo