Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kim chi-ha, api yang berganti air api yang berganti air

Penyair korea selatan, kim chi-ha yang sedang meringkuk di penjara mendapat hadiah sastra dari lembaga monisnania swedia. juga mendapat hadiah festival puisi internasional rotterdam.(sel).

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESEMBER tahun lalu, Lembaga Monisnania Swedia menganugerahkan hadiah sastra kepada Kim Chi-Ha. Ia dipilih dalam, semangat 'menjunjung kebebasan menyatakan pendapat'. Tapi penyair Korea itu tidak muncul pada malam penyerahan hadiah. Ia masih meringkuk dalam penjara tanah airnya. Bahkan sensur militer rezim Seoul membungkam rapat berita itu. Rakyat Korea Selatan tak boleh tahu. Baru beberapa hari kemudian, Kim terdapat di antara tahanan politik yang dibebaskan dari berbagai penjara Korea. Dan Februari tahun ini, ketika Dubes Belanda di Korea Selatan Roland van den Berg menyerahkan hadiah lain, yakni dari Festival Puisi Internasional Rotterdam untuk Kim, pers Korea diizinkan menyiarkan peristiwa itu. Tapi tak boleh panjang-panjang. "Kim Chi-Ha mungkin tokoh yang paling banyak mendapat perhatian internasional di antara sastrawan Korea lainnya," tulis koresponden The Asian Wall Street Journal Norman Thorpe, yang juga rajin menerjemahkan karya sastra Korea. Tapi pemerintah negerinya rupanya tak bersenang hati. Karya-karyanya dianggap mengandung kritik keras dan " tak bertenggang rasa" ke alamat penguasa, bahkan ketika mendiang Presiden Park Chun Hee masih bertahta. Sekitar awal 1970-an, media yang menyiarkan puisi Kim bolak-balik menclapat tekanan. Ia sendiri keluar masuk bui. Bahkan dalam salah satu kasus dijatuhi hukuman mati. Putusan itu memang kemudian diubah. Namun ketika ia dibebaskan Desember tahun lalu, Kim telah menjalani 101 bulan dalam penjara. Di samping itu ia masih 'berutan' 14 tahun penjara lagi. Akibat pemasungan di tanah air sendiri, nama Kim lebih dikenal di luar ketimbang di kampung halaman. Pemberangusan karya-karyanya di Korea Selatan sudah berjalan hampir satu dasawarsa. Bahkan meskipun akhir-akhir ini surat kabar tanah air sudah memuat berita tentang dia, untuk banyak penduduk Korea nama itu terdengar asing. Sebagian besar mahasiswa tak mengenalnya. Soalnya, mereka memang baru duduk di SD ketika puisi Kim Chi-Ha menjadi kebanggaan nasional. Pemberangusan ini sesungguhnya ironis. Pemerintah Seoul sebenarnya berhasrat besar mendapat perhatian internasional di bidang kesusastraan. Setelah novelis Jepang Yasunari Kawabata memenangkan hadiah Nobel kesusastraan, 1968, Korea ingin pula merebut penghargaan yang sama. Pemerintah mulai melancarkan program gencar penerjemahan karya-karya Korea ke bahasa-bahasa asing, guna memancing perhatian internasional. Tapi tampaknya hanya Kim Chi-Ha yang mungkin beroleh peluang Nobel itu. Padahal puisinya tak termasuk yang disuruh terjemahkan oleh pemerintah -- meski kenyataannya toh diterjemahkan orang di mana-mana. INI, Kim bersama istri dan seorang anaknya yang baru berumur tujuh tahun, tinggal di Wonju, 180 km di selatan Seoul. Ibu mertuanya, Park Kyung-Ree, adalah salah seorang novelis wanita Korea terkemuka. Ny. Park telah menjual rumahnya di Seoul dan pindah ke Wonju agar dekat dengan anak mantu. Apa saja yang dilakukan penyair malang itu, sejak lepas dari penjara? Tetap menulis? "Anda akan mendapatkan kemantapan baru dalam puisi saya yang akan datang," ujarnya kepada dua orang reporter yang menemuinya baru-baru ini di sebuah tempat tamasya di tepi kota. "Tapi jangan sekarang," sambungnya. Mengapa? "Sekarang saya tidak menulis, tidak membaca. Sekarang saya sedang menunggu. Tidak memperhatikan, melainkan menunggu. Saya sedang menangkap getar sesuatu yang bakal datang. Di masa depan anda pun dapat menyaksikannya," sambung Kim seakan berpuisi. Tapi, rupanya ada yang berubah. "Sembilan tahun lalu," katanya, "motif utama di dalam hati, dan di dalam karya saya, adalah api. Kini api itu berganti dengan air. Bagai riam yang mengalir, tenang, dalam, dan jernih." Nah. Ia juga mengaku tak begitu tertarik lagi pada politik. Selama ia masih menyaksikan kekerasan dan penderitaan di sekitarnya, kata Kim, "saya merasa militansi politik sebagai suatu hal yang sia-sia." Ia juga tak yakin hal itu dapat membawa suatu perubahan. Lalu bagaimana dengan ideologi? "Saya tidak menyenangi sastra ideologis." Memang, pemerintah Korea Selatan pernah memaklumkan "pengakuan" Kim Chi-Ha sebagai seorang komunis. Artinya, ia adalah musuh. Tapi Kim sendiri sudah membantah "pengakuan" itu melalui "pernyataan hati nurani". Ini satu-satunya 'karya tulis' yang diciptakannya selama dalam penjara, dan diselundupkan ke luar pada 1975. Dalam dokumen yang sudah diterjemahkan dan beredar ke berbagai negeri itu, Kim menerangkan ia terpaksa membuat 'pengakuan' di bawah siksaan yang tak tertahankan. Selama di penjara, Kim Chi-Ha mempelajari ajaran Buda, Zen, dan berlatih meditasi. Ia juga menyimak Injil, Al Quran, dan berdoa. "Tapi meditasi dan berdoa tidak terlalu penting," menurut kesimpulannya. Yang paling utama ialah penemuan diri terus menerus, dan pembangkitan harapan yang tak kunjung padam. "Selama hal itu dapat dilakukan, pengucilan yang bagaimanapun tak akan mampu menghancurkan seorang manusia." Kini, kemerdekaan macam apa yang diperolehnya setelah keluar dari penjara? Kim sendiri tampaknya puyeng. Penguasa Korea Selatan belum memberitahu, apa yang boleh -- dan tidak boleh --dilakukannya. Satu-satunya kegembiraan ialah bahwa teman-teman lama datang mengunjunginya. Salah seorang teman itu mengatakan, bahwa dalam usia 40 tahun sekarang, Kim memang tampak lebih matang, lebih pendiam, dan lebih introspektif. Ia benar tak begitu ambil pusing lagi pada politik praktis, tidak begitu militan, tapi tetap penuh pengabdian . Toh pemerintah Korea Selatan tetap memandang Khn Chi-Ha sebagai oknum yang patut dimata-matai. Tatkala beberapa teman ingin mengunjunginya, di Wonju, untuk turut menyukuri penghargaan yang diterimanya dari Negeri Belanda, polisi mencegat rombongan kecil itu di terminal bis. Dan memerintahkan mereka balik jalan. Nama Kim juga tercantum dalam les hitam yang memuat 567 nama yang tidak boleh melakukan kegiatan politik. Lucunya, dalam daftar itu juga terdapat nama beberapa bekas pembantu mendiang Presiden Park Chung Hee, yang dulu jadi bulan-bulanan kritik Kim lantaran tindak korupsi mereka. KARYA Kim sendiri, berbeda dengan puisi modern Korea lainnya, sebenarnya sukar diterjemahkan. Sebagian besar menyangkut kasanah kedaerahan yang khas, dengan penggunaan peristilahan tradisional yang bahkan untuk orang Korea sendiri tidak seluruhnya terpahami. Kadang-kadang istilah yang dipakainya tak bisa ditemukan dalam kamus Korea. Dalam gaya itulah ia menyesali kesewenang-wenangan, atau menertawakan tingkah para penguasa yang korup dan tak becus. Setelah mempelajari sekian kitab suci dan kepercayaan, Kim tetap seorang Katolik yang teguh. "Tapi katolikisme di Dunia Ketiga sangat lain dengan di Eropa," katanya. "Gereja yang sesungguhnya," sambung Kim, "datang dari Dunia Ketiga -- termasuk semenanjung yang melarat ini." Ia juga menyebut Dunia Ketiga sebagai "ladang Tuhan yang sebenarnya. Dan di Asia Tenggara, menurut Kim, "terdapat tradisi revolusi dan petualangan spiritual".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus