Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Band Tunanetra Disnet Band, Guru Musik Hampir Menyerah

Band tunanetra Disnet Band menjadi cikal bakal terbentuknya marching band tunanetra.

15 November 2019 | 12.22 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ada sebuah kolompok musik yang seluruh anggotanya adalah tunanetra. Namanya Disnet Band. Kelompok musik ini berdiri di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra Tan Miyat, Bekasi, Jawa Barat, yang bernaung di bawah Kementerian Sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Balai Rehabilitasi Tan Miyat periode 2014-2018, Erniyanto menceritakan awal mula lahirnya Disnet Band pada 2015. Saat itu, Erniyanto berharap balai rehabilitasi yang dipimpinnya berinovasi. "Kalau tunanetra selama ini vokasionalnya adalah pijat. Tapi kita bisa menggali kemampuan mereka yang lain, jangan semuanya diarahkan ke pijat," kata Erniyanto kepada Tempo di kantor Dewan Pers pada akhir Oktober 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erniyanto yang gemar bermain musik ini kemudian menggagas berdirinya band tunanetra. Dia kemudian mencari bibit tunanetra yang bisa bermain musik dan memiliki kemampuan vokal yang baik. Kemudian berdirilah Disnet Band. Sebagai permulaan, band ini tampil setiap hari minggu saat area balai rehabilitasi Tan Miyat digunakan sebagai tempat berolahraga dan pasar dadakan.

"Ini momentum untuk mempromosikan Disnet Band," kata Erniyanto yang kini menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik, Kementerian Sosial. Dibuatkan panggung dan perangkat pengeras suara sehingga teman tunanetra juga bisa menghibur masyarakat datang datang ke sana, baik untuk berolahraga, jalan-jalan bersama keluarga, atau belanja.

Tak puas hanya menjadi band, Erniyanto kemudian ingin ada marching band tunanetra. Marching band ini tentu tidak bermain musik sambil berjalan sebagaimana biasa. "Marching band tunanetra ini memang duduk saja di tempat. Tapi mereka dilatih sama seperti marching band yang lain," kata dia.

Erniyanto kemudian mengundang guru marching band dari sebuah sekolah menengah atas di Bekasi. Awalnya, guru itu tertarik untuk mengajar. Namun setelah mengetahui anak didiknya adalah tunanetra, guru tadi hampir mundur. "Kami yang melatih anak SMP dan SMA saja lama, apalagi yang difabel," ucap Erniyanto menirukan alasan guru tadi. "Lalu saya bilang, 'jangan salah, mereka punya kemampuan yang tinggi. Buktinya Disnet Band bagus'."

Guru marching band tersebut menyanggupi. Dalam tempo tiga pekan, mereka bisa bermain marching band dengan bagus. "Saya usulkan membeli peralatan marching band dan berlatih lebih keras lagi," kata Erniyanto. Pada 2016, marching band tunanetra dari Balai Rehabilitasi Tan Miyat ini masuk Museum Rekor Indonesia atau MURI, bertepatan dengan acara Hari Kesetiakawanan Sosial Nadional yang berlangsung di Mal Mangga Dua, Jakarta.

Marching band tunanetra yang terdiri dari 17 orang itu kini masih eksis. Mereka biasanya dipanggil untuk mengisi acara kementerian, misalnya upacara 17 Agustus atau agenda lainnya. Suara alat musik yang dimainkan teman tunanetra ini mengiringi saat pembina upacara masuk ke lapangan, menyanyikan lagu Indonesia Raya, Mengheningkan Cipta, hingga upacara selesai.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus