Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Syarif, 32 tahun, warga Dusun Lenah Galung, Desa Sokong, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, hanya bisa pasrah menyaksikan rumahnya hancur akibat gempa Lombok berkekuatan 7 pada skala Richter, Ahad lalu. “Saya berjalan 3 kilometer dari tempat berdagang di Pelabuhan Bangsal bersama istri dan anak. Begitu tiba, sudah hancur,” kata pedagang kebutuhan wisatawan itu kepada Tempo, Rabu, 8 Agustus 2018.
Baca: Gempa Lombok, BNPB Duga Masih Banyak Korban di Reruntuhan Masjid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syarif mengungkapkan, sejak gempa besar pertama yang berkekuatan 6,4 skala Richter pada 29 Juli lalu, dia bersama para tetangga masih tinggal di pengungsian. Penduduk terpaksa bertahan di pengungsian lantaran takut berada di dalam rumah. Warga Dusun Lenah Galung menghuni dua tenda berkapasitas masing-masing 10 orang. Padahal ada sedikitnya 44 keluarga yang mengungsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syarif memilih mengungsi di Desa Sokong yang letaknya lebih tinggi agar terhindar dari tsunami. Soalnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyatakan gempa yang mengguncang Pulau Lombok tersebut berpotensi tsunami. Kenaikan air laut memang sempat terjadi di perairan Lombok setinggi 10-13 sentimeter.
Baca juga: BNPB: H+3 Gempa Lombok Masuk Masa Kritis Evakuasi Korban
Menurut Syarif, para pengungsi berada dalam keterbatasan. Mereka kesulitan berkomunikasi melalui telepon seluler. Listrik juga masih padam. Begitu pula bantuan logistik, tidak tersalurkan hingga ke Desa Sokong. “Makanan siap saji dan selimut habis dihadang warga desa lainnya. Kalau malam, kami kedinginan dan anak-anak kami banyak yang sakit,” tuturnya.
Warga Dusun Torean, Desa Loloan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Hero Sahruyakin, mengungkapkan masih ada ratusan orang dari desa tersebut yang mengungsi di perbukitan. Tak hanya mengalami masalah listrik, para pengungsi kesulitan mendapatkan air bersih. Kondisi serupa dialami warga Desa Anyar, Kecamatan Bayan. “Saat malam, kami mengandalkan genset, tenaga surya, dan lampu isi ulang,” ujarnya.
Baca: BNPB Menilai Perbedaan Data Korban Gempa NTB Lumrah
Hero berujar, hingga Rabu siang, 8 Agustus 2018, tak ada bantuan makanan yang diterima pengungsi korban gempa Lombok. Padahal bantuan itu sangat dibutuhkan karena stok bahan makanan yang dibawa pengungsi kian menipis. Tak hanya itu, ia mengimbuhkan, warga juga butuh bantuan selimut untuk menghalau dinginnya udara perbukitan.
AKHYAR M. NUR | DANANG FIRMANTO