Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Boyolali - Duduk di kursi roda butut, Hermanto hanya diam dan sesekali menyunggungkan senyum saat beberapa calon pendonor darah menyerobot antreannya untuk menjalani pemeriksaan. Padahal lelaki 45 tahun itu bersama istrinya, Tatik Wahyuni sudah tiba di pendopo kantor Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, satu jam lebih awal sebelum kegiatan donor darah dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga:
Penyandang Disabilitas Indonesia Pertama di Komite HAM PBB
Atlet Paracycling Fadli Imamuddin Bangkit Lagi, Semesta Mendukung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Seumur hidup, baru sekali ini kami mau ikut donor darah," kata Hermanto yang mengalami paraplegia atau penurunan motorik dan sensorik dari gerak tubuh akibat cedera sumsum tulang belakang, Selasa 28 Agustus 2018. Tak mudah bagi Hermanto dan istrinya untuk sampai di pendopo kantor Kecamatan Sawit. Terdorong semangat ingin berbagi dengan orang lain, sejak pagi buta Hermanto dan Tatik berangkat dari rumahnya di Desa Nepen, Kecamatan Teras, Boyolali.
Dengan mengendarai sepeda motor yang telah dimodifikasi, mereka menempuh perjalanan sejauh 6 kilometer hingga sampai di kantor kecamatan. Hermanto senang saat melihat ada jalur khusus untuk masuk ke teras pendopo. Hanya saja, kursi rodanya tak bisa menyentuh ruang utama pendopo -tempat kegiatan donor darah berlangsung, karena terhalang dua anak tangga. Hermanto kemudian meminta bantuan untuk mendongakkan dan mendorong kursi rodanya untuk menaiki dua anak tangga setinggi 40 sentimeter itu.
Setelah bersusah payah mendaki dua anak tangga dan beberapa kali diserobot antreannya, tiba giliran Hermanto menjalani pemeriksaan awal sebelum mendonorkan darahnya. Hermanto hakul yakin bisa membantu sesama melalui darah yang disumbangkan meski dia mengalami keterbatasan.
Hermanto, 45 tahun, penyandang paraplegia sedang menjalani pemeriksaan kesehatan dalam kegiatan donor darah yang diadakan Keluarga Difabel Bintang Mandiri di pendopo kantor Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada Selasa, 28 Agustus 2018. TEMPO | Dinda Leo Listy (Boyolali)
"Berapa berat badan Bapak?" tanya seorang petugas Palang Merah Indonesia atau PMI Boyolali. Hermanto gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia tak tahu berapa bobot tubuhnya karena tidak punya alat penimbang berat badan dan sudah lama tak berurusan dengan sesuatu yang mengharuskan dia menimbang badan. Petugas PMI Boyolali pun kebingungan. Mereka tak ingin merepotkan Hermanto jika harus turun dari kursi rodanya demi mengukur berat badan menggunakan timbangan badan yang diinjak.
Akhirnya Hermanto diminta menaksir berat badannya. "Sekitar 50 kilogram," kata Hermanto dengan wajah ragu. Petugas PMI lantas menyatakan Hermanto tak bisa mendonorkan darahnya. PMI tak berani mengambil risiko karena kondisi kesehatan Hermanto berisiko drop. "Untuk yang baru pertama kali donor lebih aman jika berat badannya lebih dari 50 kilogram," kata Lesmono, anggota tim unit donor darah PMI Boyolali. Musababnya darah yang akan diambil sebanyak 8 cc per kilogram berat badan.
Mengetahui suaminya tak bisa donor darah, Tatik Wahyuni otomatis gugur karena berat badan dia kurang dari 50 kilogram. "Besok kami akan makan banyak sebelum donor darah," kata Tatik yang juga penyandang disabilitas dengan kelainan neuro-muskular dan struktur tulang bawaan lahir.