Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta DPR membatalkan dan mengevaluasi revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia alias UU TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ini terdiri dari berbagai lembaga, yakni Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, dan AJI Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami memandang DPR RI membatalkan dan meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgent untuk dilakukan saat ini," ujar perwakilan koalisi, Gufron Mabruri dari Imparsial, dalam keterangan resmi pada Senin, 20 Mei 2024.
Ditambah lagi, kata dia, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak 1998. Tapi justru malah sebaliknya.
"Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI," ucap Gufron.
Dia menjelaskan, berdasarkan draf terakhir pada April 2023, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai ada beberapa usulan perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM. Pertama, perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara.
"Meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru dan membahayakan demokrasi, karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara," ujar Gufron.
Menurut koalisi, penambahan fungsi militer sebagai alat keamanan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Selain itu, berpotensi mengembalikan format dan fungsi militer, seperti di masa rezim otoriter Orde Baru.
"Kedua, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI," ujar dia.
Selanjutnya soal penjelasan kewenangan Presiden...
Dia menjelaskan, ketentuan tentang kewenangan Presiden tersebut seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut di dalam UU TNI. Sebab, Pasal 10 Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
"Hal ini tentu akan meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu dimana TNI dapat bergerak dalam menghadapai masalah keamanan dalam negeri, dengan dalih operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden," kata Gufron.
Ketiga, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Perwakilan koalisi lainnya, Wahyudi Djafar dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mengatakan usulan perubahan Pasal 7 ayat (2) dan (3) yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukkan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.
Dia menuturkan, bahkan beberapa penambahan tersebut tidak berkenaan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional.
"Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah."
"Keempat, perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif," tutur Wahyudi.
Dia menjelaskan, ini dapat membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikkan di era rezim otoritarian Orde Baru. Menurut Wahyudi, perubahan ini menjadi kemunduran jalannya reformasi yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara.
Kelima, memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Wahyudi menuturkan, adanya usulan perubahan Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang menyatakan 'prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum' bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.
"Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI," ucap dia.
Keenam, perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan. Wahyudi membeberkan, rencana revisi UU TNI meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN dan tidak terbatas anggaran pertahanan.
"Hak ini akan membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan terjadinya penyimpangan," ujar Wahyudi.
Selain itu, perubahan mekanisme juga terlihat dari dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan dalam penyusunan anggaran. Dengan perubahan klausul Pasal 67, TNI dapat mengajukan sendiri dan langsung kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai dalam APBN.