Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Koboi Itu Kini Berdasi

Elshinta yang bonafid merupakan usaha profesional. suasana amatir masih dijumpai di beberapa studio. sementara yang lain memperoleh keuntungan dari iklan.

22 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA pegawai pria memakai dasi. Suara musik lembut mengalun mengisi ruangan yang ditata rapi. Dengan permadani yang menutupi seluruh lantai dan udara yang disejukkan oleh AC, kantor dan studio radio Elshinta memang mengesankan suasana yang bonafid. "Memang semua karyawan pria kami diharuskan berdasi. Ini salah satu bentuk disiplin. Sejak pertama tekad kami ingin profesional," ujar Andy Rustam, 27 tahun General Manager Elsbinta Broad casting System pekan lalu. Radio Elshinta saat ini memang sudah merupakan usaha profesional. Didukung 27 karyawan, Elshinta yang mangkal di tingkat 18 Gedung Arthaloka di Jalan Sudirman Jakarta ini beroperasi 20 jam sehari. Sekitar 20% dari jam siarannya disediakan untuk iklan. Tarifnya Rp 30 per detik. Pendapatan dari iklan memang menjadi tulang punggung perusahaan ini. Pendengarnya dari kalangan menengah atas. Keuntungan yang dipetik tiap bulannya menurut sumber TEMPO bisa mencapai beberapa juta rupiah. Cikal bakal dari radio siaran swasta adalah apa yang disebut "radio amatir" yang mulai muncul di tahun 1966 sebagai alat perjuangan Angkatan 66. Ada beberapa di antaranya yang kemudian membubarkan diri tatkala merasa perjuangan menumbangkan Orde Lama berhasil dicapai. Seperti misalnya Radio Ampera, yang oleh salah satu tokohnya -- almarhum Soe Hok Gie -- pernah diibaratkan sebagai seorang cowboy yang datang membebaskan sebuah kota dari ancaman para bandit. Dan kemudian berlalu pergi lagi ketika ketertiban sudah pulih. Tapi yang tinggal masih cukup banyak. Jumlah radio siaran -- yang kemudian menjadi hobi menarik di kalangan anak muda -- makin menjamur, bersamaan dengan makin larisnya pesawat radio transistor. Di Jakarta saja jumlahnya pernah mencapai sekitar 400 stasiun dengan siaran yang acak-acakan hingga sering mengganggu komumkasi radio dan siaran radio resmi. Kemudian Gubernur DKI Jaya meluruskan kekisruhan itu dengan mewajibkan usaha radio siaran menjadi badan hukum, dan jumlahnya menciut menjadi sekitar 40 buah. Bang Kalong Melalui PP no. 55/1970, pemerintah mengatur tentang jenis usaha radio siaran yang komersial dan yang non-komersial. Pada 1974, diselenggarakan kongres pertama radio swasta seluruh Indonesia yang melahirkan Persatuan Radio Swasta Niaga Indonesia (PRSNI). Suasana "amatir" terkadang masih dijumpai di beberapa studio radio komersial. Di Radio Mara Bandung misalnya, sementara siaran siang hari berlangsung, di ruang belakang beberapa karyawan bisa dijumpai bersantai sambil main gaple. Radio ini kesayangan para remaja pelajar, mahasiswa dan masyarakat kelas menengah Bandung. Berdiri sejak 1968 dengan modal Rp 500.000 dari 27 pemegang saham, banyak pendengar Radio Mara yang masih menganggapnya amatir. "Banyak surat yang masuk yang masih menggunakan kata 'amatir' pada alamat radio kami," kata Rusjdi M.A.R., Kuasa Penanggung Jawab radio ini. Letjen H.R. Dharsono, semasa menjabat Pangdam VI/Siliwangi hampir tiap minggu muncul untuk siaran dengan julukan Bang Kalong. Omset radio ini kecil, sekitar Rp 750.000 sampai Rp 1 juta per bulannya. Pendapatan itu diperoleh dari iklan. Tiap hari antara 15 sampai 20 iklan dari berbagai jenis produk disiarkan. Tarifnya Rp 20 per detik. "Murah tapi biro iklan menolak tiap kali mau dinaikkan," kata Rusjdi. Didirikan oleh anak-anak muda sekitar Jalan Prambanan dan Borobudur Jakarta pada Maret 1968, Radio Prambors kini memperoleh 80% pendapatannya dari iklan. Dari 18 jam siaran, 2 jam disediakan untuk iklan. Sisanya dari usaha lain seperti rekaman kaset, royalti dari Prambors Band, grup Warung Kopi dan Diskotik. "Selain itu kami juga punya berbagai kegiatan untuk membina penggemar seperti kelompok bola basket, voli dan sepakbola. Ini harus kami biayai," kata Amir H. Nasution, Manajer Penjualan perusahaan ini. Radio Kayumanis -- salah satu radio yang paling populer di Jakarta --menyediakan lebih banyak waktu untuk siaran iklan. Tak kurang dari 3« jam dari 18 jam waktu siarannya disediakan untuk iklan dengan tarif Rp 25 per detik. Bila dihitung secara kasar, diperkirakan sekitar Rp 9 juta per bulan (belum dipotong reduksi buat pemasang) bisa diperoleh dari iklan. Namun tampaknya yang diterima tidak sampai setinggi itu. Sekitar 40% pendapatan dipergunakan untuk membayar gaji 35 karyawan, 20% untuk biaya produksi dan jua untuk Pajak. "Pada angka penghasilan Rp 3,5 juta usaha kami ini baru mencapai titik impas," kata Kustianto, Direktur Utama P.T. Radio Kayumanis yang juga menjabat Ketua I PRSNI. Seberapa jauh usaha menjaga siaran agar tidak rusak oleh iklan? "Kami akan menaikkan tarif iklan agar volume sedikit tapi penghasilan tetap," jawab Kustianto. PRSNI, katanya, sudah menganjurkan pada 385 radio swasta niaga anggotanya di seluruh Indonesia agar membatasi siaran iklannya sampai 25% dari jam siarannya. Cukup Cerah Tidak semua radio swasta mendapat reeki dari iklan. "Untuk sebuah kampanye periklanan yang sifatnya nasional, kami hanya menggunakan 120 radio di seluruh Indonesia," ujar Baty Subakti, Direktur Media P.T. Indo-Ad. Yang menentukan radio mana yang dipakai adalah gelombang, lokasi dan acaranya. Jakarta tetap merupakan sumber iklan buat semua radio swasta Indonesia. "Sekitar 90% dari iklan yang kami siarkan datang dari Jakarta," ujar Haji Adnan Lubis dari Radio Alnora Medan. Ia mengutip tarif iklan Rp 15 per detik dan mempunyai perwakilan di Jakarta yang mengurus iklan. Prospek bisnis radio swasta menurut Lubis cukup cerah. Selain punya 2 studio di Medan, Alnora pada 1976 membuka cabang di Tebingtinggi, menanam 80% modal di Radio Kencana di Pematang Siantar dan di Padang Sidempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus