Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pemerintah tak serius menangani persoalan rasialisme, diskriminasi, dan teror yang kerap dihadapi para warga Papua.
Komnas HAM menilai pemerintah justru melanggengkan diskriminasi penegakan hukum dalam penyelesaian tindak pidana rasialisme yang terjadi tahun lalu.
Dokumen yang diperoleh dari sumber Tempo mencatat sepanjang 2019-2020 terdapat 120 aktivis dan warga sipil Papua yang dipenjara atas tuduhan makar.
JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pemerintah tak serius menangani persoalan rasialisme, diskriminasi, dan teror yang kerap dihadapi para warga Papua. Komnas HAM menilai pemerintah justru melanggengkan diskriminasi penegakan hukum dalam penyelesaian tindak pidana rasialisme yang terjadi tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan warga dan aktivis Papua masih mengalami diskriminasi dan teror ketika mereka aktif menyampaikan pendapat. "Soal penegakan hukum, saya kira belum menghadirkan keadilan. Contohnya, tujuh tahanan Papua di Balikpapan dituntut 15 tahun penjara, padahal mereka aksi damai," ucap Beka kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beka menganggap pemerintah Indonesia berpotensi turut melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakan hukum atas kasus rasialisme. Diskriminasi itu dapat dilihat ketika kejaksaan menjerat para mahasiswa Papua yang memprotes tindak rasialisme dengan pasal makar, dengan tuntutan belasan tahun penjara. Sedangkan pelaku rasialisme di Surabaya dihukum ringan, bahkan ada yang tidak diadili.
Pemerintah, kata Beka, juga dianggap membiarkan praktik teror dan ancaman kebebasan berpendapat terhadap aktivis yang menyuarakan anti-rasialisme dan diskriminasi di Papua. Justru, menurut dia, ada kesan bahwa setiap kritik yang disuarakan para aktivis dilabeli dengan stigma makar. Tidak mengherankan ratusan orang dalam setahun terakhir ditangkap dan diadili dengan tuduhan makar. "Kita sudah punya asumsi (makar) ketika aktivis Papua bicara soal pelanggaran HAM," ucap dia.
Dokumen yang diperoleh dari sumber Tempo mencatat, sepanjang 2019-2020 terdapat 120 aktivis dan warga sipil Papua yang dipenjara atas tuduhan makar. Dari data itu, 109 tahanan politik belum diketahui nasibnya. Satu di antaranya adalah seorang warga bernama Yagaresom Asso, yang dituduh melakukan makar dan mengalami luka tembak di kaki bagian kiri. Sedangkan sisanya, sebanyak 11 tahanan, dibebaskan.
Komnas HAM juga melaporkan, sepanjang 2015-2018 terdapat 42 orang tewas dan 93 orang terluka akibat pelanggaran HAM di Papua. Selain itu, Beka mengungkapkan ada 22 ribu warga mengungsi, dengan 194 di antaranya tewas ketika terjadi peristiwa kerusuhan di Wamena. Komnas HAM juga mendapati 43 orang ditangkap atas tuduhan makar.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan polisi kerap berbuat sewenang-wenang dengan memenjarakan para aktivis yang mengkritik tindak rasialisme. Hingga Juni lalu, Amnesty International Indonesia mencatat ada 44 tahanan yang mendekam di penjara. "Semuanya diancam atas tuduhan makar, padahal mereka hanya terlibat dalam aksi protes damai dan tidak melakukan tindakan kriminal apa pun," ucap dia.
Menurut Usman, selama puluhan tahun, masyarakat di Papua dan Papua Barat telah menjadi korban pelanggaran HAM berat yang sebagian besar dilakukan aktor negara, terutama aparat keamanan. Bentuk-bentuk pelanggarannya mulai dari pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang, pembatasan atas kebebasan berkumpul, berekspresi dan mengemukakan pendapat secara damai, termasuk diskriminasi rasial secara verbal, hingga kasus pemblokiran Internet di Papua yang telah divonis bersalah.
Amnesty juga kerap mendapat laporan ihwal teror terhadap aktivis dan warga Papua. Teror itu di antaranya terjadi dalam diskusi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia yang dianggap menghadirkan pembicara tidak kompeten hingga diskusi Amnesty Indonesia dengan Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diteror dengan rentetan panggilan secara bersamaan dengan identitas penelepon dari luar Indonesia. Yang terbaru adalah penyerangan terhadap Yuliana Yabansabra, pengacara tujuh tahanan politik asal Papua.
Deputi Direktur Advokasi The Institut for Policy Research and Advocacy (ELSAM), Andi Muttaqien, menambahkan, Yuliana diserang orang tak dikenal ketika hendak mengambil uang di anjungan tunai mandiri SPBU Ale-Ale, Jalan Raya Abepura, dua hari lalu. "Dia sudah semakin dipantau sejak menjadi kuasa hukum tujuh tahanan politik itu dan beberapa kali menjadi narasumber diskusi. Sepertinya dari situ dia makin dipantau," ucap Andi.
Presiden Joko Widodo setidaknya telah 13 kali berkunjung ke Papua dan beberapa kali bertemu dengan tokoh Papua. Dari sejumlah pertemuan itu, Jokowi menyatakan, setelah berfokus pada infrastruktur, ia akan membenahi isu HAM di Papua.
Juru bicara Presiden bidang hukum, Dini Purwono, belum bersedia mengomentari tuduhan Komnas HAM dan organisasi masyarakat sipil atas tindakan pemerintah di Papua itu. Panggilan dan pesan yang dikirim Tempo melalui telepon selulernya tak kunjung dibalas. Sebelumnya, dia hanya menjawab ihwal putusan PTUN Jakarta berkaitan dengan pemblokiran Internet di Papua. "Belum diputuskan apa langkah hukum selanjutnya dari pihak pemerintah," kata dia.
AVIT HIDAYAT
Teror dan Intimidasi
Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya masih ada 44 tahanan warga Papua yang mendekam di balik jeruji besi. Semuanya diancam atas tuduhan makar. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi, ungkapan rasial, serta tindakan yang berlebihan oleh polisi dalam melaksanakan operasi pengamanan masih banyak terjadi di tanah Papua dan terhadap warga Papua yang berada di wilayah lain di Indonesia. Berikut ini sejumlah kekerasan yang terjadi di Papua pada April dan Mei lalu.
07 April 2020
Penangkapan terhadap Ema Narkiin, pegiat kemanusiaan, oleh kepolisian. Penangkapan juga dilakukan terhadap lima warga lainnya. Ema ditangkap dalam perjalanan dari Tembagapura ke Kota Timika, di Jalan Mile 32. Ia dituduh melakukan tindakan makar karena menyuplai logistik dan amunisi kepada kelompok bersenjata.
13 April 2020
Penembakan oleh aparat TNI terhadap dua warga sipil asal Timika di Mile 34, Distrik Kwamki Narama, Timika. Peristiwa berawal saat kedua korban sedang memancing di Kalibiru dengan mengendarai sepeda motor Mio. Aparat TNI kemudian mendatangi mereka berdua. Tanpa bertanya dan memeriksa terlebih dahulu, aparat langsung melepaskan tembakan ke arah korban hingga meninggal. Dua orang ini dianggap sebagai anggota kelompok bersenjata yang sedang beroperasi.
23 April 2020
Aparat gabungan dari TNI dan Polri melakukan penyisiran, penembakan, dan penangkapan terhadap aktivis Komite Nasional Papua Barat. Mereka yang ditangkap adalah Marten Muuk, Simon Sasior, dan Ferdinand Sasior, Pontius Wakom, dan Eko Lando Sakof.
7 Mei 2020
Aparat TNI-Polri mendapat laporan tentang perusakan kantor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kabupaten Kepulauan Yapen. Pelaku diduga bernama Plato Merani. Namun karena Plato tidak ada di tempat tinggalnya, aparat menangkap Yoas Yawandere. Tuduhannya, anak Yoas bernama Mikael Yawandere mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
26 Mei 2020
TNI dan Polri mendrop aparat di Kabupaten Nduga menggunakan tiga helikopter. Dalam perjalanan menuju pos, aparat menangkap tiga warga sipil dengan tudingan memiliki kaitan dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Ndugama. Belakangan, dua orang itu dibebaskan, sementara seorang lagi masih ditahan.
Dari Pelbagai Sumber
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo