Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta – Koordinator Bidang Pemantauan Komisi Nasional Perempuan, Dewi Ayu Kartika Sari mengatakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selalu menjadi kasus terbanyak yang diadukan setiap tahun. Menurut Dewi, jumlah kasus KDRT yang diadukan selama tahun 2017 sekitar 300 ribu kasus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“KDRT selalu jadi kasus yang terbanyak. Alasan utamanya karena di Indonesia masih ada budaya patriarki,” kata Dewi di Gedung Harian Nasional pada Rabu, 14 Februari 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Dewi, selain budaya patriarki, pendidikan gender juga menjadi faktor tingginya kekerasan terhadap perempuan. Ketimpangan relasi gender dalam keluarga, kata dia, juga menjadikan KDRT terus menerus terjadi dan semakin besar jumlahnya sejak 10 tahun terakhir.
“Bagaimana perempuan selalu dianggap hanya berkewajiban di rumah, menjaga anak, mengurus keluarga. Ini juga mempengaruhi banyaknya kasus KDRT,” ujar Dewi.
Menurut Dewi, mayoritas yang menjadi korban dalam KDRT adalah perempuan, khususnya istri. Namun, dampak dari kasus KDRT bisa meluas, bukan hanya pada istri tapi juga pada anak-anak dalam keluarga tersebut. "Anak dalam keluarga yang penuh kekerasan akan memiliki trauma yang panjang," ujarnya.
Sementara Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mencatat, dari total 648 pengaduan, ada 308 kasus KDRT. LBH APIK mencatat, kasus KDRT lebih tinggi 47,53 persen dari kasus lainnya.
Direktur LBH APIK, Veni Siregar mengatakan, meskipun korban menyadari telah mendapatkan kekerasan, namun sebagian besar tidak mau melapor ke kepolisian. Hal itu, menurut Veni, karena masih ada pandangan bahwa istri telah membongkar aib keluarganya apabila melapor. “Akhirnya korban memilih diam dibandingkan menempuh jalur hukum,” kata Veni.