Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hermawan Sulistyo berhenti sejenak di tengah-tengah perbincangan, ketika istrinya menunjukkan tayangan perdebatan antara mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dengan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid di salah satu siaran televisi swasta yang bertajuk “Siapa Mau Nobar Film G30S PKI”. Raut wajahnya terlihat serius dan keningnya sedikit berkerut ketika menonton video dari layar telepon genggam istrinya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam video itu, Gatot menuding bahwa penghentian pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI terjadi atas permintaan mereka-mereka yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia atau PKI. Tudingan itu dibantah oleh Usman Hamid. Menurut Usman, perintah untuk menghentikan pemutaran film tersebut datang dari Menteri Penerangan era Habibie, Letnan Jenderal (Purn) Yunus Yosfiah, sebagai bentuk upaya pemerintah yang ingin meninjau ulang sejarah peristiwa G30S PKI. “Lalu, apa Pak Yunus itu disebut PKI?” ujar Usman dalam perdebatan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarawan LIPI yang selama 20 tahun meneliti tentang PKI itu selesai menyimak perdebatan keduanya. “Itu pertarungan politik, bukan upaya perbaikan sejarah supaya bangsa ini belajar,” ujar pria yang akrab disapa Kikiek itu menanggapi pernyataan Gatot saat berbincang dengan Tempo di kediamannya, Depok, Jawa Barat pada Sabtu, 29 September 2018.
Belakangan, penyataan Gatot soal pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S PKI memang menuai perhatian. Lewat cuitannya di twitter, Gatot menantang Kepala Staf Angkatan Darat Mulyono dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggelar nonton bareng film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer itu.
Tantangan itu secara spesifik ditujukan kepada KSAD. Gatot menyebut KSAD sebagai penakut seumpama tak berani memerintahkan nonton bareng tersebut, seperti ketika masa kepemimpinannya. Seolah tak ingin terpancing, Panglima Hadi menyatakan tak akan memerintahkan kewajiban menonton film tersebut kepada jajarannya, namun Hadi mempersilakan siapapun yang ingin menonton film tersebut untuk mengenal sejarah bangsa.
Sebelum cuitan Gatot, isu PKI juga kembali dimunculkan Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon. Lewat cuitannya di Twitter, Fadli memodifikasi lirik lagu "Potong Bebek Angsa" dari lirik semulanya. Misalnya yang semula "Sorong ke kiri/Sorong ke kanan/la la la la la la la la la la la" menjadi "Fitnah HTI/Fitnah FPI/Ternyata mereka lah yang PKI". Cuitan tersebut berbuntut pada pelaporan ke Bareskrim Polri oleh politikus PSI Rian Ernest pada Selasa, 25 September 2019.
Kikiek menyebut, isu PKI memang biasa dimunculkan di tahun-tahun politik, sebagai instrumen pertarungan politik. “Dan sebagai instrumen pertarungan politik, isu ini masih efektif untuk mendukung maupun menghancurkan lawan. Tetapi sebagai ideologi, dia (komunis) sudah mati,” ujar penulis buku Palu Arit di Ladang Tebu itu.
Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik LIPI itu menyebut, komunis adalah ideologi yang sudah bangkrut dan sudah mati di seluruh dunia. Di Republik Rakyat Cina sekalipun, ujar dia, ideologi komunis hanya tinggal di atas kertas. Namun di Indonesia yang masyarakat-nya 50 persen lulusan SD, kata Kikiek, diakuinya memang masih banyak yang termakan isu soal kebangkitan komunis. “Wong pendapat bahwa bumi itu datar saja masih ada yang percaya. Kita ini mundur 500 tahun ke belakang,” ujarnya.
Survei teranyar dari Saiful Mujani Research and Consulting yang dirilis pada September 2017 lalu, masyarakat yang percaya akan isu kebangkitan PKI sekitar 12,6 persen. Sisanya, 86,8 mengatakan tidak percaya dan 0,6 tidak tahu atau tidak menjawab.
Isu PKI Masih Akan Laku, Tapi Terbatas Generasi
Jika menilik pada pemilu 2014 dan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia, Kikiek menilai, isu PKI masih akan laku di pemilu 2019 mendatang. Namun, sifatnya terbatas. Anak-anak muda yang sudah berpikiran lebih maju, menurut dia, tidak akan terpengaruh. “Isu PKI atau isu yang berhembus soal dugaan pelanggaran HAM Prabowo Subianto, tidak akan laku untuk mereka. Mereka tidak mengalami masa-masa itu, bagi mereka, so what?” ujar mantan Ketua TGPF Kerusuhan Mei 1998 itu.
Tuduhan adanya pertalian antara calon presiden inkumben Joko Widodo atau Jokowi dan PKI memang muncul sejak mantan Wali Kota Solo itu maju sebagai kandidat presiden di Pilpres 2014. Isu itu dihembuskan lewat media cetak Sapu Jagad yang menuliskan bahwa Jokowi memiliki moral dan watak seperti PKI. Media partisan lainnya semacam Obor Rakyat juga mengungkapkan hal serupa. Bahkan, Obor Rakyat menambahkan bahwa Jokowi adalah "capres boneka" dan PDIP adalah "Partai Salib". Obor Rakyat dicetak 1 juta eksemplar dan didistribusikan ke 28 ribu pesantren dan 700-an masjid.
Kepada Tempo, salah seorang yang tergabung dalam tim pemenangan Jokowi di 2014 mengaku terkejut akan adanya penyebaran hoax tersebut. Tim pemenangan mengaku bahwa isu tersebut membuat Jokowi goyah dan suaranya tergerus di beberapa wilayah pada pemilu 2014. Pada pemilu 2019 pun, tim Jokowi memprediksi, isu yang sama akan dimainkan kembali. Untuk itu, berbagai strategi telah disiapkan untuk menangkal isu-isu tersebut, termasuk melakukan serangan balik lewat udara atau media sosial.
PKI memang sudah dibubarkan pada 1966 lantaran dituding sebagai dalang pembunuhan jenderal-jenderal TNI Angkatan Darat pada 30 September 1965. Peristiwa yang kemudian disebut G30S1965 itu berdampak hebat. Posisi Soekarno goyah, lalu tampuk kekuasaan beralih kepada Soeharto. Sementara PKI dituduh hendak melakukan makar dan banyak anggotanya dibunuh dan diasingkan. Militer pun memegang kendali pemerintahan.
Sejak Orde Baru berkuasa, keturunan anggota PKI didiskriminasi dan mendapat cap anak pemberontak. Meski G30S PKI terjadi lebih dari 50 tahun lalu, jejaknya terus diawetkan. Cap PKI juga masih kerap digunakan untuk melabeli kelompok tertentu hingga sekarang. Cap itu turut bertaut dengan isu agama. Mereka yang dicap komunis juga mendapat label sebagai ateis dan anti-Pancasila.
Adapun Politikus PDIP Alex Indra Lukman menyebut isu PKI yang kerap mendera partainya dianggap sebagai fitnah yang keterlaluan. Sebab, PKI telah ditetapkan sebagai partai terlarang sejak 1996 lewat TAP MPRS Nomor XXV tentang Pembubaran PKI. Sementara PDI lahir pada Januari 1973 dan PDI Perjuangan lahir pada Februari 1999. “Terus apa urusannya PKI terus dikait-kaitkan dengan PDIP? Kami sudah kebal-lah menghadapi isu itu,” ujar Alex kepada Tempo di kantornya pada 19 September lalu.
Belakangan, Tim Kampanye Nasional Koalisi Indonesia Kerja (TKN KIK) pun mencak-mencak dan meminta agar polemik film G30SPKI tak dikait-kaitkan dengan Joko Widodo atau Jokowi. Direktur Program TKN KIK, Aria Bima juga menjelaskan, keputusan pemerintah menghentikan pemutaran film G30SPKI dibuat oleh Yunus Yosfiah, mantan Menteri Penerangan, yang kini tercatat sebagai tim sukses pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Menurut Aria, hal tersebut perlu diperjelas karena belakangan ada kampanye hitam yang disebarkan bahwa pemerintahan Jokowi berada di balik keputusan pemerintah menghentikan pemutaran film G30SPKI. "Pemerintahan Jokowi hanya mengikuti sikap pemerintahan sebelumnya yang melarang pemutaran film G30SPKI," ujar dia di Jakarta, Jumat, 28 September 2018.
Perlukah Pemerintah Meluruskan Sejarah G30S PKI?
Ada banyak versi yang mengungkap soal gerakan G30S 1965. Misalnya, ada versi bahwa gerakan itu sebagai kudeta Soeharto, lalu dalangnya memang PKI. Selain itu di balik gerakan itu ada andil Soekarno, dan keterlibatan intelejen asing.
Menurut penelitian Hermawan Sulistyo dalam disertasinya di Arizona State University, tidak ada faktor tunggal dalam peristiwa tersebut. Jauh sebelum kejadian pada 1965 itu, selama 10 tahun telah terjadi ketegangan politik setiap hari di tengah masyarakat. “Tinggal menunggu waktu meledak saja. Yang sulit menjelaskan, kenapa orang bunuh-bunuhan di bawah? Kesimpulan saya jelas, ada konflik sosial yang memicu pertarungan elite,” ujar dia.
Bagi Hermawan, terkait peristiwa G30S PKI ini, tidak ada sejarah yang harus diluruskan karena sejarah resmi pasti dihasilkan oleh versi yang menang. Dan sejarah, sebagai wilayah akademis, tidak perlu diluruskan karena tidak ada kebenaran dalam sejarah. “Yang ada adalah interpretasi terhadap fakta. Jadi makin banyak fakta yang muncul, makin banyak yang bisa interpretasi, Biarkan semua versi muncul. Bukan seperti buku saya yang di-sweeping, dibakar dan ditarik dari peredaran,” ujar dia.
Salah satu versi yang dicontohkan Hermawan adalah pada film Arifin C. Noer, yang menampilkan adanya penyiksaan terhadap para jenderal di Lubang Buaya. Namun fakta yang muncul kemudian adalah para jenderal tersebut ditembak langsung. Hasil otopsi dokter menunjukkan, para jenderal tidak ada yang disiksa. Luka sekujur tubuh karena dicemplungkan ke lubang buaya. “Saya tidak menyalahkan Arifin, karena data yang ada saat itu seperti demikian. Tapi seiring waktu kan banyak fakta yang muncul dan itu yang harus disampaikan kepada publik,” ujarnya.
Fakta lainnya yang ditemukan Kikiek berbeda dengan data pemerintah misalnya, jumlah korban yang sebanyak 78 ribu orang. Sementara data hasil penelitiannya hanya sekitar 10 sampai 15 ribuan orang. Menurut Kikiek, angka tersebut hanyalah 'karangan’ pihak yang berkuasa untuk kemudian mendapatkan legitimasi masyarakat.
Terkait upaya rekonsiliasi, atas peristiwa 1965-1966, Kikiek sependapat dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto bahwa penyelesaian kasus 1965-1966 secara yuridis tidak mungkin dilakukan.
Sebab, mekanisme tersebut akan memicu klaim salah-benar dari sejumlah pihak. “Nanti banyak klaim, terus verifikasi-nya bagaimana? Itu kejadian tahun 1965 lho, koran dari Jakarta ke Kediri itu baru bisa sampai selama dua hari. Kertas saja susah, bagaimana ada datanya?” ujar Kikiek.