Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konflik bersenjata di Papua kembali memakan korban.
Prajurit Kepala Jamaluddin tewas dalam kontak senjata di Distrik Ilaga.
Pemerintah perlu mengevaluasi penanganan konflik di Papua.
JAKARTA - Konflik bersenjata di Papua kembali memakan korban. Prajurit Kepala Jamaluddin tewas dalam sebuah insiden di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, Jumat lalu. “Benar telah terjadi penembakan oleh kelompok separatis teroris pimpinan Numbuk Telenggeng,” kata Kepala Penerangan Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih, Kolonel Herman Taryaman, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herman tak menjelaskan kronologi peristiwa yang terjadi di Distrik Ilaga itu. Dia hanya mengatakan jenazah Prajurit Kepala Jamaluddin telah diterbangkan ke Timika, Kabupaten Mimika, untuk selanjutnya diantar ke rumah duka di Pemalang, Jawa Tengah. “Mohon doanya, semoga keamanan di Ilaga bisa segera pulih,” kata Herman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom, mengklaim kelompoknya bertanggung jawab atas penyerangan di Distrik Ilaga itu. Serangan tersebut menjadi aksi balasan atas operasi militer yang digelar TNI-Polri di wilayah Papua. Adapun pasukan penyerang dipimpin oleh Numbuk Telenggeng. “Kami mendesak pemerintah Indonesia menghentikan operasi militer di seluruh wilayah Papua,” kata Sebby.
Peti jenazah dua aparat keamanan, yakni Sersan Dua Riswar dan Bripda Mesak Indey, korban serangan kelompok kriminal bersenjata di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua Tengah, 26 Maret 2023. ANTARA/Humas Polres Puncak Jaya
Pasukan TNI-Polri memang meningkatkan operasi di Papua untuk menyelamatkan pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens. Pria berkebangsaan Selandia Baru itu ditawan oleh TPNPB-OPM pimpinan Egianus Kogoya sejak 7 Februari lalu. Sebby mengatakan Egianus tidak akan melepaskan Philip sampai pemerintah Indonesia setuju untuk menyelesaikan persoalan di meja perundingan. “Kami akan membebaskan pilot melalui cara diplomasi damai,” katanya. “Jadi, jangan melakukan operasi militer di Papua.”
Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono, mengatakan insiden yang terjadi di Distrik Ilaga sama sekali tidak berkaitan dengan operasi penyelamatan Philip. Apalagi Numbuk Telenggeng bukan bagian dari kelompok Egianus Kogoya. Kelompok Numbuk sering dilaporkan membuat ulah di Distrik Ilaga dan Gome. “Tidak ada hubungannya, ini beda kelompok,” kata Julius.
Baca: Mempersoalkan Status Siaga Tempur di Papua
Julius menegaskan, TNI-Polri tidak menggelar operasi militer di wilayah Papua. Status siaga I untuk TNI-Polri juga bukan instruksi untuk menggelar operasi militer. “Pasukan hanya bersiaga, mengantisipasi adanya serangan susulan,” ujarnya. “Tidak ada operasi militer, hanya siaga tempur.”
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono (tengah), Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Dudung Abdurachman (kanan), dan Panglima Kostrad Letjen TNI Maruli Simanjuntak (kiri) memberi keterangan ihwal kontak tembak antara TNI dan KKB Papua, di Base Ops TNI Lanudal Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, 18 April 2023. ANTARA/Umarul Faruq
Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Matius Fakhiri, menjelaskan, insiden di Ilaga itu terjadi di kawasan PT MTT sekitar pukul 12.00 WIT, Jumat lalu. Numbuk Telenggeng selama ini dikenal sebagai pemimpin kelompok bersenjata yang senantiasa mengganggu masyarakat di sekitar wilayah Gome, termasuk Ilaga. Setelah kejadian itu, anggota TNI-Polri disiagakan untuk mengantisipasi terjadinya gangguan susulan. “Kelompok kriminal bersenjata selalu membangun narasi untuk menyudutkan TNI-Polri,” ujar Fakhiri.
Tanggalkan Pendekatan Militeristik
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emmanuel Gobay, menyarankan pemerintah mengevaluasi kebijakan penanganan konflik yang dijalankan di Papua saat ini. Pendekatan militeristik dengan menerapkan status siaga tempur dinilai hanya akan memperpanjang konflik. “Operasi tempur adalah pilihan kebijakan yang akan terus memproduksi spiral kekerasan,” kata Gobay.
Dari sisi legalitas dan akuntabilitas, kata Gobay, pelibatan TNI dalam penanganan Papua juga memiliki banyak persoalan dan dipandang tidak sejalan dengan Undang-Undang TNI. Pada Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang TNI dinyatakan bahwa pelaksanaan operasi militer selain perang harus didasarkan pada keputusan politik negara yang telah dikonsultasikan kepada DPR. “Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer di Papua dapat dikatakan ilegal,” katanya.
Menurut Gobay, sudah saatnya Presiden dan DPR mengupayakan dialog dalam penyelesaian masalah Papua. Apalagi cara ini pernah berhasil menyelesaikan konflik di Aceh, Poso, dan Ambon. “Pemerintah sejatinya memiliki modal dan pengalaman historis,” katanya. “Penyelesaian konflik Papua bisa dengan pendekatan damai dan bermartabat melalui dialog.”
Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rozy Brillian, mengatakan eskalasi konflik di Papua sudah terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama. Kejahatan pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang tak pernah serius dituntaskan menjadi salah satu faktor yang melanggengkan konflik. “Misalnya tragedi Wasior, Wamena, atau Paniai, itu pelakunya bebas,” katanya. “Masalah keadilan ini implikasi pada kemarahan. Ini yang memperparah situasi.”
Ketidakseriusan negara dalam menyelesaikan konflik, kata Rozy, juga menjadi salah satu faktor yang mendukung akar kekerasan di Papua. Karena itu, sudah saatnya pemerintah mulai menjajaki kemungkinan menyelesaikan persoalan di Papua dengan dialog.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo