ADNAN Buyung Nasution, 58 tahun, pengacara beken yang "tergelincir" contempt of court ketika membela Mayjen. H.R. Dharsono (1985), berhasil meraih gelar doktor di Utrecht, Belanda. Disertasinya, tentang Konstituante, berjudul The Aspiration for Constitutional Government: A Social-Legal Study of Indonesia Konstituante 1956-1959. Sepulang ke tanah air, Buyung tak berniat menjadi advokat lagi. Cita-citaya masih menggebu: demi terwujudnya demokrasi dan hak asasi manusia. Pekan lalu, ia menerima wartawan TEMPO Ivan Haris, Agus Basri, dan A. Margana untuk wawancara khusus. Petikannya: Ada pendapat, UUD 45 kurang menampung hak asasi manusia. Apa pendapat Anda? Dilihat secara konseptual, UUD 45 banyak yang lebih bersifat otokratis. Secara konseptual, itu bertentangan dengan cita-cita bangsa sebagai suatu negara dan pemerintahan yang demokratis. Tapi saya juga mau realistis. UUD 45 itu telah menjadi kenyataan. Namun juga harus disertai dengan pengakuan bahwa UUD 45 itu penuh dengan kekurangan dan kelemahan, serta berlaku sementara. Tak boleh ada pemikiran menjadikannya abadi, apalagi sakral. Maksudnya? Yang terpikir oleh saya, kita perlu mengadakan perubahan, penyempurnaan konstitusional agar tetap mengarah pada cita-cita bangsa. Saya pikir, suatu bangsa yang telah mengalami satu tahap dalam hidupnya, mutlak perlu mengadakan refleksi dan redefinisi perjalanan hidupnya, meluruskan kembali sejarahnya supaya bisa lebih maju. Kita harus berterima kasih pada Pak Harto dengan pembangunan 25 tahun ini, tanpa mengurangi perlunya refleksi tadi. Apa saja yang perlu diredifinisikan? Termasuk masa jabatan presiden? Lebih dari itu. Ambil contoh, kekuasaan presiden untuk mengangkat menteri dan duta besar. Di AS hal itu tak bisa semaunya, harus mendapat persetujuan Senat. Jadi, yang penting, perlu ada kontrol agar kekuasaan bukannya tak terbatas. Dan kontrol itu harus riil, tak simbolis. Yang namanya pertanggungjawaban bisa setiap saat bila diperlukan. Menteri juga secara riil harus bertanggung jawab. Tak bisa mereka berlindung di bawah presiden. Tentang hak asasi? Perlu ditambahkan pada UUD 45? Rumusan dalam UUD 45 itu tak menjamin hak asasi manusia. Saya dengan sedih mengatakan bahwa sebenarnya UUD 45 tak mengakui hak asasi. Dikatakan, ada kemerdekaan berpikir dan menyatakan pendapat dengan lisan maupun tulisan. Tapi itu mesti ditetapkan dengan undang-undang, yang tentunya dibuat Pemerintah dan DPR. Jadi, sulit buat rakyat untuk mengatakan bahwa ada UU yang melanggar hak asasi. Dari konstitusi yang pernah ada di Indonesia, UUD mana yang paling menjamin hak asasi dan demokrasi? Pada tahun 1950 rakyat Indonesia dengan sadar dan penuh percaya diri telah merumuskan hak asasi manusia dan itu dicantumkan dalam konstitusi. Kita mesti bangga karena itu lebih maju ketimbang Declaration of Human Right PBB. Demikian pula pada calon UUD yang dirumuskan Konstituante. Beberapa rumusan yang diputuskan sudah punya nilai dan norma-norma konstitusional substantif yang berlaku sah. Karena itu harus dimasukkan ke dalam UUD 45 secara eksplisit. Dia menjadi tonggak kehidupan bernegara yang ranking-nya nomor dua setelah proklamasi. Mengapa Konstituante dibubarkan dan keluar Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 45? Masalahnya kompleks. Ada beberapa faktor. Ekonomi kita saat itu merosot terus, Pemerintah dianggap tak mampu membangun. Padahal, kemerosotan ekonomi itu sudah sejak tahun 1930. Lebih parah lagi, saat Perang Dunia II, pengembangannya tak lagi pada ekonomi ekspor, tapi ekonomi perang. Sehingga, ketika kita menyatakan kedaulatan, ekonomi sangat parah. Lalu faktor daerah yang juga bersumber pada ekonomi. Perimbangan keuangan dan pembangunan antara pusat dan daerah timpang. Faktor ketiga adalah militer. Sejak peristiwa 17 Oktober 1952, tak pernah sepi pertentangan di tubuh tentara. Tentara menentang keputusan Pemerintah, panglima daerah berjuang demi kepentingan daerahnya, dan ada yang bermuara pada pemberontakan. Ada usaha yang sangat mencolok dan sistematis militer untuk menjatuhkan pemerintahan sipil partai-partai. Ada faktor lain, yakni merebut Irian Barat. Ada yang mengatakan, setelah Konstituante dibubarkan, putusannya tak berlaku lagi .... Begini, menurut saya, keputusan Konstituante tetap sah. Waktu itu sudah ada 19 butir keputusan yang disetujui pleno tentang hak asasi dan 13 butir hak warga negara yang harus dibicarakan lagi, apakah masuk hak asasi atau tidak. Keputusan rakyat Indonesia ini harus ditegakkan sebagai pegangan. Kalau ini dilaksanakan, saya kira tak ada cekal lagi, karena ada hak seseorang untuk pergi dan kembali ke tanah airnya. Dari 13 butir hak warga negara, misalnya, ada hak untuk tak dihukum dengan kematian perdata, seperti dialami kelompok Petisi 50 itu. Tapi sebagian besar partai, kecuali Masyumi, setuju kembali ke UUD 45 dan pembubaran Konstituante .... Tidak benar. Secara serempak mereka menolak kembali ke UUD 45. Sampai tiga kali diajukan dan tiga kali ditolak. Tapi, ketika Konstituante reses, PNI dan PKI menyatakan tak mau bersidang kecuali membubarkan Konstituante. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, rakyat dimobilisasi di mana-mana, mendukung kembali ke UUD 45. Secara hukum, Dekrit Presiden 5 Juli itu sah atau tidak? Dalam hukum tata negara, dalam keadaan darurat, adalah sah melakuan tindakan yang menyimpang dari ketetapan hukum yang berlaku. Pada pertimbangan dekrit itu, disebutkan Konstuante tak bisa melanjutkan sidang. Itu dianggap bisa menimbulkan keadaan berbahaya bagi negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini