Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berjibaku Menagih Janji Kandidat

Keluarga korban penculikan 1997-1998 mendesak para kandidat merespons draf kontrak politik mereka. Apa saja isinya?

30 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi Kamisan ke-800 menuntut kepada Presiden Joko Widodo untuk membuktikan secara konkrit janji penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di seberang Istana Merdeka, Jakarta, 4 Januari 2024. ANTARA/M Risyal Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Baru tim kampanye pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang menerima draf kontrak politik penuntasan kasus HAM.

  • Kubu Ganjar saat debat pertama capres menyatakan bakal menuntaskan kasus penculikan dan kasus HAM berat.

  • Empat rekomendasi dari keluarga korban terhadap para calon presiden dan wakilnya.

JAKARTA – Keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kasus penghilangan paksa 1997-1998 mendesak ketiga pasangan calon presiden dan wakilnya segera memberikan kepastian perihal kontrak politik dari mereka. Baru tim kampanye pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang menerima draf kontrak politik penuntasan kasus tersebut. "Baru satu pasangan calon yang mengundang kami untuk berdiskusi setelah draf kontrak politik diterima. Tapi itu pun belum ada respons lanjutan kapan dan di mana diskusinya," ujar Hakim Hamdun, putra Dedi Hamdun, salah satu korban penghilangan paksa, saat dihubungi pada Senin, 29 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim Pemenangan Nasional Anies-Muhaimin atau Timnas Amin menerima draf kontrak politik dari keluarga korban di markas mereka, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pada 10 Januari lalu. Adapun tim kampanye pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka belum merespons surat tawaran keluarga korban untuk menerima berkas draf kontrak politik itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah foto korban penculikan aktivis 1997-1998 ditampilkan dalam konferensi pers keluarga korban di Hotel Grand Cemara, Jakarta, 2019. Dok. TEMPO/Muhammad Hidayat

Keluarga korban telah mengirim surat ke rumah pemenangan setiap pasangan calon pada 5 Januari lalu. Mereka meminta waktu untuk menyerahkan berkas draf kontrak politik dari keluarga korban. Isi draf tersebut adalah pernyataan kesediaan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dan penghilangan paksa para aktivis 1997-1998.

"Rencananya kami mau langsung taruh saja kontrak politiknya di rumah pemenangan mereka, lalu minta tanda terimanya," tutur Hakim, anak ketiga Dedi Hamdun. Dedi Hamdun adalah politikus sekaligus pengusaha yang menjadi korban penghilangan paksa 1997. Dia merupakan aktivis Partai Persatuan Pembangunan yang aktif dalam aksi-aksi Mega Bintang Rakyat menjelang Pemilu 1997. Ia tiba-tiba menghilang pada 29 Mei 1997.

Hakim menegaskan bahwa para keluarga korban masih menunggu respons dari dua kubu pasangan calon lainnya. Apalagi, kata Hakim, Ganjar pernah berjanji akan menyelesaikan kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM berat. Janji tersebut dilontarkan Ganjar saat debat pertama calon presiden pada 12 Desember 2023.

Debat pertama bertema pemerintahan, hukum, HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, peningkatan layanan publik, dan kerukunan warga. Tema debat ini pun menjadi perhatian keluarga korban penghilangan paksa. Keluarga korban juga menunggu kepastian waktu dari kubu Prabowo-Gibran.

"Giliran kami meminta waktu untuk menyerahkan kontrak politik, mengapa lama dan tak kunjung merespons? Hal itulah yang ingin kami tahu," ujar Hakim. Dia mengatakan keluarga akan tetap mengirim draf kontrak politik ke rumah pemenangan pasangan calon Ganjar-Mahfud. Cara ini merupakan upaya keluarga korban menagih janji Ganjar saat debat calon presiden.

Paian Siahaan, orang tua Ucok Munandar Siahaan, juga sepakat agar draf kontrak politik langsung saja dikirim ke alamat kubu Ganjar-Mahfud, meski tidak ada respons kepastian waktu mereka menerima kunjungan. Ucok Munandar adalah korban penghilangan paksa dan penculikan aktivis pada 1997-1998. Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas ini hilang setelah dijemput orang tidak dikenal dari rumah kosnya di Ciputat pada awal Mei 1997.

Paian mengatakan draf kontrak politik tersebut diinisiasi oleh keluarga korban penculikan 1997-1998 serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Para keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998 yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) sering berdiskusi membahas penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi 27 tahun lalu itu.

Dia menuturkan keluarga korban tidak ingin isu pelanggaran HAM dan penculikan aktivis pada 1997-1998 dijadikan komoditas kampanye politik tanpa komitmen dari calon presiden. Meski begitu, para keluarga korban mengakui momen pemilu menjadi waktu paling tepat bagi mereka untuk tetap menagih janji kepastian penuntasan kasus tersebut dari para calon presiden dan wakilnya. "Ini saat yang tepat dan pas bagi kami," ujar Paian saat ditemui di kediamannya di Depok, Jawa Barat, kemarin.

Keterangan pers keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997-1998 di kawasan Cikini, Jakarta, 21 Desember 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Dengan adanya kontrak politik tersebut, Paian melanjutkan, keluarga korban tidak ingin janji kampanye penyelesaian kasus HAM menjadi sekadar janji para kandidat seperti pada pemilu sebelumnya. Saat itu calon presiden Joko Widodo menjadikannya sebagai slogan kampanye Nawacita. Paian menyebutkan, selama dua periode menjabat, Presiden Jokowi belum memenuhi tuntutan keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998. Bahkan, menjelang akhir jabatannya, Jokowi belum juga merealisasi empat rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat pada 2009 ihwal penyelesaian kasus penghilangan paksa 1997-1998.

Paian menjelaskan, isi draf kontrak politik tersebut bertujuan agar presiden terpilih nantinya menjalankan empat rekomendasi DPR tersebut. Rekomendasi itu adalah pembentukan pengadilan HAM ad hoc, tetap mencari para korban dan aktivis yang hilang, memberikan kompensasi kepada keluarga korban, dan meratifikasi konvensi internasional anti-penghilangan paksa.

Dia menuturkan presiden terpilih nantinya bisa menerbitkan keputusan presiden (kepres) untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Jika hal itu dilakukan, kata Paian, artinya Jaksa Agung bisa segera menyelidiki, memanggil untuk pemeriksaan, dan memeriksa mereka yang dianggap bertanggung jawab dalam kasus tersebut. "Sebab, berkas kasus itu sendiri sudah di Kejaksaan Agung berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM," ujarnya.

Berdasarkan draf kontrak politik yang dilihat Tempo, keluarga korban penghilangan paksa menuntut tiga hal kepada calon presiden jika terpilih. Pertama, mereka menuntut presiden terpilih meminta maaf atas peristiwa penghilangan paksa 1997-1998. Kasus ini mengakibatkan 23 orang menjadi korban, dengan 14 di antaranya masih dinyatakan hilang. Kedua, meminta presiden terpilih melaksanakan rekomendasi DPR dalam surat Nomor PW.01/6204/DPR RI/IX/2009 perihal Penanganan Pembahasan atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998. Ketiga, meminta presiden terpilih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998 dalam 100 hari kerja.

Belum Ada Jawaban Tegas dari Kandidat

Dihubungi secara terpisah, setiap kubu pasangan calon presiden dan wakilnya tidak tegas menjawab tawaran kontrak politik dari keluarga korban itu. Juru bicara Timnas Amin, Amiruddin al-Rahab, mengatakan belum bisa menjawab soal draf kontrak politik yang sudah diterima pada 10 Januari lalu. Dia juga tidak bisa memastikan Anies meneken atau tidak kontrak politik tersebut.

Meski begitu, Amiruddin memastikan kubu Anies-Muhaimin akan menjalankan pengadilan HAM sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. "Tidak ada keraguan untuk menjalankan Undang-Undang Pengadilan HAM," ujar mantan Komisioner Komnas HAM itu, kemarin.

Sekretaris Eksekutif Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Heru Dewanto, meminta waktu untuk menjawab saat dimintai konfirmasi oleh Tempo perihal tawaran kontrak politik para keluarga korban. "Mohon waktu," ucap Heru melalui pesan pendek WhatsApp, kemarin.

Pada 22 Desember 2023, Ganjar Pranowo sejatinya telah menanggapi tantangan kontrak politik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM 1997-1998. Ganjar saat itu menyatakan belum bisa memastikan akan menandatangani kontrak tersebut karena belum tahu isinya. "Pernyataan saya terakhir sudah paling jelas kan," ujar Ganjar seusai debat calon wakil presiden di gedung Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, 21 Desember lalu.

Adapun juru bicara Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Hamdan Hamedan, belum merespons permintaan konfirmasi Tempo ihwal tawaran kontrak politik yang dikirim ke rumah pemenangan.

Hal Terpenting Tindakan Nyata

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan tidak kaget jika agenda HAM kurang diperhatikan para kandidat di masa kampanye. Hal tersebut terlihat dari empat putaran debat calon presiden dan wakil presiden yang sudah berlangsung.

Menurut Usman, para kandidat hanya membicarakan isu HAM di putaran pertama karena ditetapkan KPU sebagai salah satu topik debat. Padahal, kata dia, isu pelanggaran HAM masih bisa disinggung para pasangan calon dalam debat-debat selanjutnya. "Sebab, isu HAM juga menyangkut masalah ekonomi kerakyatan, lingkungan hidup, keamanan, dan masyarakat adat," kata Usman, kemarin. Dia menyayangkan para kandidat dan tim suksesnya cenderung meributkan gimik politik selama debat tanpa menjelaskan visi-misi dan program mereka kepada masyarakat.

Perihal kontrak politik keluarga korban pelanggaran HAM 1997-1998, Usman mengatakan masyarakat bisa melihat secara sekilas bagaimana komitmen para kandidat atas isu HAM. Menurut dia, keseriusan para pasangan calon bisa terlihat dari cara mereka menemui dan berkomitmen, termasuk meneken kontrak politik, dengan para korban pelanggaran HAM atau keluarganya, termasuk keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998. "Tapi itu pun juga tidak cukup karena yang terpenting adalah tindakan nyata dan komitmen konkret para pasangan calon," kata dia.

Usman tidak mau para keluarga korban pelanggaran HAM terus dikecewakan oleh janji-janji para kandidat selama kampanye. Sebab, janji-janji tersebut sering kali tidak diwujudkan sebagai tindakan nyata para kandidat terpilih. "Visi-misi semua kandidat adalah berjanji menegakkan HAM. Tapi bagaimana kebijakan konkretnya setelah terpilih?" ujarnya.

Usman menegaskan, keluarga korban pelanggaran HAM dan koalisi masyarakat sipil tidak akan berhenti melakukan Aksi Kamisan, bahkan setelah pemilu selesai. Aksi Kamisan adalah aksi yang dilakukan setiap Kamis di depan Istana Negara oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Aksi ini pertama kali digelar pada 18 Januari 2007.

Usman menyatakan Aksi Kamisan akan terus dilakukan selama pemerintah masih belum memenuhi janji untuk menghormati dan menegakkan HAM, termasuk menuntaskan pelanggaran HAM berat. "Perjuangan para keluarga korban pelanggaran HAM menuntut keadilan lewat aksi damai secara terus-menerus akan kami pelihara dan terus menyebar, tidak peduli siapa pun yang akan terpilih menjadi pemimpin,” ujarnya.

EKA YUDHA SAPUTRA | IHSAN RELIUBUN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus