Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kontroversi Energi Terbarukan di Wae Sano

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Wae Sano, Manggarai Barat, dikhawatirkan akan merusak lingkungan. Dokumen lingkungan perusahaan menyebutkan 47 dampak buruk yang bakal ditimbulkan.

13 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat meminta Bank Dunia menghentikan pendanaan proyek PLTP Wae Sano, NTT.

  • Sejumlah potensi kerusakan lingkungan mengancam dengan adanya proyek PLTP Wae Sano.

  • Cadangan listrik di PLTP Wae Sano mencapai 30 megawatt.

JAKARTA – Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, menyoroti proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Proyek panas bumi itu dikhawatirkan akan merusak lingkungan jika tetap dipaksakan dibangun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melky menjelaskan, proyek PLTP Wae Sano berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, seperti pencemaran udara dan air, gempa bumi minor, tanah ambles, serta merusak geiser atau mata air panas yang menyembur secara periodik. PLTP Wae Sano merupakan proyek yang didanai Bank Dunia melalui program Flores Geothermal Island—proyek raksasa yang diklaim menciptakan energi terbarukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami cek potensi ini ke beberapa ahli independen dan ternyata sangat berbahaya bagi masyarakat Wae Sano,” kata Melky ketika dihubungi, Kamis, 12 Mei 2022.

Menurut Melky, potensi dampak lingkungan itu akan muncul ketika dimulainya pengeboran panas bumi untuk mengalirkan fluida thermal yang menggerakkan turbin dan memutar generator. Fluida yang terlepas diinjeksikan kembali ke dalam reservoir melalui sumur reinjeksi sehingga terjadi sistem panas bumi berkelanjutan.

Hasil ekstraksi panas bumi berupa uap itu akan menghasilkan gas asam sulfida (H2S), yang bakal mencemari udara di sekitar wilayah pembangkit listrik. Asam sulfida adalah senyawa tak berwarna yang bersifat eksplosif, beracun, korosif, dan berbau busuk. Senyawa ini sangat berbahaya bagi manusia. “Di tempat lain, H2S memicu berbagai penyakit, di antaranya iritasi mata, kerusakan sistem pernapasan, hingga insiden yang mengakibatkan kematian,” ujar Melky.

Rumah adat (Mbaru Gendang) Nunang dipasangi poster penolakan pembangunan pembangkit geotermal di Wae Sano, Sano Nggoang, Manggarai Barat, NTT, 5 November 2021. Mongabay/Floresa.co

Pemerintah, melalui PT Sarana Multi Infrastruktur dan PT Geo Dipa Energi, melakukan eksplorasi di Wae Sano sejak 2018. Pengeboran tersebut menyasar sejumlah titik yang berdekatan dengan Kampung Adat Nunang, Lempe, dan Dasak. Proyek ini diperkirakan menyimpan cadangan mencapai 30 megawatt.

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebenarnya memperkirakan potensi panas bumi yang dihasilkan di Pulau Flores, NTT, bisa mencapai 910 megawatt atau hampir dua kali lipat dari yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cilacap. Potensi itu tersebar di beberapa kabupaten di Pulau Flores, seperti PLTP Ulumbu 5 dan 6, PLTP Sokoria, PLTP Mataloko, PLTP Oka Lli Ange, PLTP Atadei, serta PLTP Wae Sano.

Tidak semua proyek ini berjalan mulus. Misalnya, muncul 60 kubangan lumpur panas di Desa Golewa, Kabupaten Ngada, NTT, akibat PLTP Mataloko. Proyek serupa di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, menimbulkan korban jiwa. PLTP Sorik Marapi di sana sudah berulang kali mengalami kebocoran gas, yaitu munculnya semburan disertai dengan asam sulfida saat proses pengeboran.

Kebocoran gas pada 2021 mengakibatkan lima orang meninggal. Tahun ini, terjadi dua kali kebocoran gas, yaitu pada Maret dan April lalu. Puluhan warga sempat menderita keracunan akibat dua kali kebocoran gas tersebut.

Adapun proyek PLTP Wae Sano menuai penolakan masyarakat setempat karena dinilai akan merusak lingkungan dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat lokal di sekitar pembangkit listrik. Mereka meminta Bank Dunia berhenti mendanai proyek energi terbarukan di Wae Sano tersebut. Kritik ini mendapat tanggapan hingga Bank Dunia bertandang ke Nusa Tenggara Timur, Senin lalu.

Sesuai dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PLTP Wae Sano yang diperoleh Tempo, perusahaan memetakan 47 potensi dampak buruk selama pengeboran. Di antaranya terjadinya kebisingan mesin selama 24 jam per hari serta memicu beberapa jenis emisi udara, seperti embusan debu kimia lumpur dan semen, knalpot mesin berupa karbon monoksida dan jelaga yang berhamburan, serta pelepasan asam sulfida, metana, atau zat organik yang terdekomposisi ke udara. Pelepasan asam sulfida itu berpotensi menurunkan kualitas udara di kawasan Wae Sano.

Perusahaan juga memetakan adanya potensi peningkatan konsentrasi polutan jenis CO, NOx, dan SOx yang berasal dari rig pengeboran eksplorasi dan emisi kendaraan karena pembakaran bahan bakar fosil. Lalu ada potensi tanah longsor di lokasi dengan kemiringan lebih dari 30 persen.

Selain itu, masih dalam dokumen amdal, perusahaan mengidentifikasi adanya kontaminasi lahan masyarakat oleh produk kimia akibat kegiatan eksploitasi nantinya. Lalu potensi kebocoran pipa selama tahap eksplorasi yang memicu pelepasan H2S. Terakhir, akan ada indikasi penurunan kualitas air danau di Wae Sano.

Peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, Venan Haryanto, mengatakan selama ini pemerintah dan perusahaan sama sekali tak menjelaskan kepada masyarakat ihwal potensi kerusakan lingkungan tersebut. “Padahal titik-titik pengeboran hanya berjarak 80 meter dari permukiman dan berada di tengah ruang hidup masyarakat Wae Sano,” katanya.

Menurut Venan, pembangunan pembangkit geotermal itu dapat memicu gempa dan rusaknya danau vulkanis Sano Nggoang. Apalagi luasan eksploitasi bakal dilakukan di empat titik, masing-masing seluas 4 hektare per titik. Ia menyebutkan masyarakat sudah memprotes pemerintah atas rencana proyek itu dan meminta Bank Dunia menghentikan pendanaannya.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, tidak menjawab permintaan konfirmasi Tempo ihwal berbagai potensi kerusakan lingkungan tersebut. Ia hanya menjawab bahwa nanti akan menjawab pertanyaan Tempo.

Koordinator Operasional PT Geo Dipa Energi, Johnedy Situmorang, selaku perusahaan pemegang izin eksploitasi geotermal di PLTP Wae Sano, juga tidak bersedia menjawab permintaan konfirmasi Tempo. “Saya akan diskusikan dengan tim lebih dulu,” kata Johnedy.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma, mengatakan pemerintah dan korporasi perlu menjamin serta mencegah kerusakan lingkungan akibat munculnya PLTP Wae Sano. Caranya, melakukan eksploitasi secara profesional dan kompetensi pengelolaan oleh perusahaan yang tepat.

“Soal adanya pencemaran air, alasan tanah, dan lainnya, pasti ada kesalahan atau kekeliruan dalam penanganan secara tidak sempurna,” kata Surya.

Menurut dia, semestinya proyek PLTP Wae Sano merupakan penggunaan energi yang secara teori dan empiris tidak menjadi masalah. Apalagi pembangkit ini rendah emisi dan ramah lingkungan. Alasan itulah yang membuat PT Geo Dipa Energi mendapat sokongan dana dari Bank Dunia. Surya berpendapat, proyek panas bumi tersebut seharusnya disambut positif sebagai upaya transformasi energi fosil ke energi terbarukan.

AVIT HIDAYAT
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus