Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan calon kepala daerah bergantung pada duit sponsor hingga 70-80 persen dari total pendanaan politik.
KPK mendapatkan temuan ini setelah menyurvei 466 calon kepala daerah yang kalah dalam pemilihan kepala daerah serentak pada 2015, 2017, dan 2018.
Total 541 daerah menyelenggarakan pilkada serentak pada tahun itu.
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan calon kepala daerah bergantung pada duit sponsor hingga 70-80 persen dari total pendanaan politik. KPK mendapatkan temuan ini setelah menyurvei 466 calon kepala daerah yang kalah dalam pemilihan kepala daerah serentak pada 2015, 2017, dan 2018. Total 541 daerah menyelenggarakan pilkada serentak pada tahun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, mengatakan para sponsor yang turut membiayai calon kepala daerah meminta imbalan atas dana yang mereka gelontorkan. Imbalan itu berupa kemudahan perizinan, kemudahan ikut tender atau pengadaan, keamanan berusaha, dan meminta jabatan. “Inilah mereka yang jadi donatur. Semua bisnis,” kata dia saat dihubungi Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pahala menuturkan, memang ada celah antara biaya pilkada dan kemampuan harta pasangan calon. Ia menjelaskan, jika ingin mengikuti pilkada, Anda harus merogoh kocek Rp 5-10 miliar. Jika Anda ingin menang, dibutuhkan uang Rp 65 miliar. Sementara itu, kemampuan harta para calon dalam tiga pilkada itu, secara rata-rata, Rp 18 miliar.
Menurut Pahala, angka Rp 18 miliar itu sudah termasuk menghitung kekayaan calon seperti Sandiaga Uno yang merupakan pengusaha kaya. Jika Sandiaga dan sejumlah pengusaha kakap yang menjadi calon dalam pilkada lainnya dikeluarkan, rata-rata kekayaan calon kepala daerah dalam tiga pilkada itu hanya Rp 4 miliar. “Sementara kamu sekadar ikut pilkada saja butuh Rp 5-10 miliar,” ujar dia.
Pahala mengatakan data-data ini menunjukkan bahwa mungkin sebelum mendaftar ke KPU pun, para calon sudah memakai dana sponsor. Namun hal yang belum terungkap dalam survei ini adalah sponsor tersebut memberikan dana sebelum rekomendasi partai politik didapatkan atau sesudah pendaftaran di KPU. Ia menambahkan, belum bisa dipastikan seluruh dana sponsor baru didapatkan begitu tim sukses terbentuk.
Bagi Pahala, pilkada, jika dilihat dari sisi dana, tidak ada argumentasi yang bisa mempertahankan sistem yang ada lantaran pilkada saat ini berbiaya mahal. Ia menilai bahwa hal ini merusak mental masyarakat. “Masyarakat kan senang. Makin banyak calon, semakin bagus. Terima uang,” ucap dia.
Dalam survei yang dilakukan KPK, terungkap bahwa ada kenaikan persentase dana sponsor dalam pembiayaan dana pilkada para calon kepala daerah. Dalam Pilkada 2015, dana sponsor mengambil porsi 70,3 persen dari dana pemenangan pilkada calon kepala daerah. Angka ini naik menjadi 82,6 persen pada 2017 dan sedikit menurun menjadi 82,3 persen dalam Pilkada 2018.
Survei ini juga mengungkap bahwa 75-83 persen calon kepala daerah akan memenuhi permintaan para sponsor jika mereka memenangi kontestasi. Para sponsor pilkada ini paling besar berharap pada tiga hal, yaitu kemudahan perizinan bisnis, kemudahan ikut serta tender proyek pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnis.
KPK juga menemukan peningkatan kepatuhan pelaporan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) serta Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dari tahun ke tahun, tapi kebenaran atas laporan ini rendah. Komisi Antirasuah menilai tidak adanya sanksi yang memberikan efek jera terkait dengan pelaporan sumbangan dan penggunaan dana pilkada memberikan kesempatan kepada calon kepala daerah untuk memberikan laporan tidak benar.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan sudah menjadi rahasia umum bahwa investor dan pemodal politik berperan besar dalam pembiayaan kampanye kandidat. Pembiayaan ini, kata Titi, disebar ke hampir semua kontestan dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi para pemodal.
Titi menambahkan, praktik ini berkontribusi pada stagnannya pembangunan daerah karena pemimpin yang terpilih berasal dari praktik jahat, yang kemudian berperilaku koruptif demi memuluskan konsesi politik yang sudah dijanjikan kepada pemodal itu. “Sayangnya, pembuat undang-undang seolah-olah abai pada fenomena ini, sehingga regulasi pilkada yang ada tak mampu secara optimal mengeliminasi praktik jahat itu,” kata dia.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha, mengatakan fenomena ini tidak terlepas dari pemilu yang berbiaya mahal, sehingga calon yang dihasilkan menghalalkan segala cara dalam kontestasi. Ia menilai, kepala daerah terpilih akan menjadi sapi perah dan tersandera oleh mereka yang memiliki jasa kepadanya saat pencalonan. “Ini menjadi praktik buruk dan merugikan publik,” kata dia.
DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo