Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Istana tak akan campur tangan dalam polemik yang terjadi antara Ombudsman dan KPK.
Undang-undang memberikan kewenangan kepada Ombudsman untuk memeriksa dugaan maladministrasi lembaga negara.
Ombudsman menyiapkan tiga opsi untuk menyikapi penolakan KPK.
JAKARTA – Pemerintah tidak akan turut campur dalam polemik antara Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhubungan dengan pemecatan Brigadir Jenderal Endar Priantoro. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ahmad Rumadi, mengatakan pemerintah hanya mengingatkan agar semua lembaga negara saling menghormati tugas dan kewenangan masing-masing. “Termasuk memenuhi undangan untuk memberi penjelasan adalah bagian dari penghormatan itu,” kata Rumadi, Rabu, 31 Mei 2023.
Pada 17 April lalu, Endar Priantoro melapor kepada Ombudsman tentang dugaan maladministrasi dalam pemecatan dirinya sebagai Direktur Penyelidikan KPK. Menindaklanjuti laporan itu, Ombudsman melayangkan surat panggilan kepada Ketua KPK Firli Bahuri dan Sekretaris KPK, Cahya Harefa. Sepekan kemudian, Firli menjawab. Dia menyatakan menghormati langkah-langkah Ombudsman dalam menangani laporan Endar. Namun Firli belum bisa memenuhi panggilan karena masih mempelajarinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun Cahya Harefa, melalui surat tertanggal 20 Mei 2023, secara tegas menolak pemeriksaan Ombudsman. Ia mempertanyakan kewenangan Ombudsman dalam menangani laporan Endar. Apalagi dia menilai pemecatan Endar tidak termasuk urusan pelayanan publik, melainkan bagian dari manajemen sumber daya manusia di KPK. “Substansi yang hendak diklarifikasi tidak termasuk dalam ranah pelayanan publik yang merupakan kewenangan Ombudsman," kata Cahya dalam suratnya.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng (kiri), bersama Kepala Keasistenan Utama VI Ombudsman RI, Elisha Luhulima, saat memberikan keterangan kepada wartawan soal Brigjen Endar Priantoro, di gedung Ombudsman RI, Jakarta,30 Mei 2023. ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Ombudsman kemudian melayangkan surat panggilan kedua kepada Cahya dan dibalas dengan alasan serupa. Bahkan dalam surat itu ditegaskan bahwa pihak KPK menolak pemeriksaan untuk menghindarkan Ombudsman dari penyalahgunaan wewenang. “Ini lebih luar biasa lagi. Ada lembaga menguliahi kami yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan ketentuan yang ada," ujar anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, saat ditemui di kantornya pada 30 Mei lalu.
Endi Jaweng mengatakan Ombudsman akan tetap menjelaskan perkembangan terbaru hasil pemeriksaan kepada masyarakat sebagai bagian dari pemenuhan hak informasi publik. Sebagai lembaga yang mengawasi kebijakan publik, Ombudsman berkutat pada penyampaian informasi sehubungan dengan perkembangan pemeriksaan, termasuk melaporkan temuan dan rekomendasi. "Kami dijamin Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia untuk melakukan itu," katanya.
Setelah ada penolakan dari KPK, kata Endi Jaweng, Ombudsman menyiapkan sejumlah opsi untuk menuntaskan laporan Endar. Pertama, pemeriksaan melalui jawaban tertulis jika KPK tidak hadir secara langsung. Kedua, Ombudsman menyatakan KPK tidak menggunakan haknya untuk memberikan jawaban dan pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Opsi ketiga, Endi Jaweng melanjutkan, Ombudsman akan memanggil secara paksa sesuai dengan Pasal 31 Undang-Undang Ombudsman. Pemanggilan paksa dilakukan dengan bantuan kepolisian bila sudah tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan. "Opsi ini diambil bila ketidakhadiran itu disengaja," ujarnya. “Kami akan memilih satu dari tiga opsi itu setelah menggelar rapat internal.”
Tugas dan Wewenang Ombudsman
Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, Susi Dwiharijanti, berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, Ombudsman jelas memiliki kewenangan untuk memeriksa KPK. Pada Pasal 1 undang-undang tersebut ditegaskan, Ombudsman merupakan lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Jadi, dalih KPK untuk menolak panggilan Ombudsman tidak bisa diterima. “KPK selalu mengatakan seperti itu (ini bukan urusan pelayanan publik) setiap berurusan dengan Ombudsman,” ujar Susi.
Alasan serupa, kata Susi, pernah disampaikan KPK tatkala memecat 75 pegawainya yang dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) pada 2021. Padahal Ombudsman menemukan indikasi maladministrasi dalam pemecatan itu. Sebab, pengalihan status pegawai KPK menjadi apartur sipil negara melalui mekanisme TWK telah menyalahi prosedur.
Bekas Direktur Penyelidikan KPK, Brigjen Endar Priantoro (tengah), bersama istrinya, Natasha Synne (kiri), di gedung Merah Putih KPK, Jakarta,4 Mei 2023. ANTARA/Fauzan
Susi menegaskan, penyangkalan yang dilakukan KPK jelas melanggar undang-undang. Ombudsman memang memiliki kewenangan untuk memproses laporan Endar. “Jadi, KPK harus datang atau paling tidak tidak memberikan keterangan kepada Ombudsman,” kata dia. Kalaupun KPK tak memenuhi panggilan, Ombudsman tetap dapat melanjutkan laporan Endar. “Ombudsman harus menerbitkan rekomendasi berupa tindakan korektif kepada KPK yang wajib dijalankan dalam rentang waktu 30 hari.”
Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, sependapat dengan Susi. Pengabaian terhadap surat panggilan Ombudsman merupakan pelanggaran hukum. “Karena Ombudsman memiliki wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan hal tersebut,” kata Hamdan.
Komisi antirasuah merupakan lembaga negara yang masuk dalam rumpun eksekutif. Sedangkan Ombudsman memiliki wewenang mengawasi kebijakan administratif yang dikeluarkan oleh pejabat negara dalam rumpun eksekutif tersebut. Karena itu, KPK tidak dapat menolak pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman. “Intinya harus kooperatif,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari.
Tempo telah menghubungi Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, dan Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Harefa, atas sikap KPK untuk meminta tanggapan. Namun mereka tidak menjawab panggilan telepon Tempo. Pertanyaan yang dikirim melalui pesan instan juga tidak dibalas hingga semalam.
ANDI ADAM FATURAHMAN | HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo