Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

KPK Telusuri Aliran Duit Suap Hakim

Mekanisme penetapan vonis kepada Tamin Sukardi janggal.

22 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi masih terus mengembangkan kasus dugaan suap hakim Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara. Penyidik lembaga antirasuah tersebut tengah mengurai pola dan proses pemberian suap dari terpidana kasus korupsi penjualan aset negara, Tamin Sukardi. "Bagaimana proses aliran dana yang diduga mengalir kepada hakim dan panitera di Medan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK di wilayah PN Medan, 28 Agustus lalu. Dari penindakan ini, KPK menangkap dan menetapkan tiga tersangka, yaitu Tamin Sukardi; hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, Merry Purba; dan panitera pengganti, Helpandi. Dalam perkembangannya, KPK menetapkan satu tersangka lagi, yaitu rekan Tamin, Hadi Setiawan, yang diduga turut memberikan suap kepada hakim PN Medan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tamin menjadi pesakitan di kursi Pengadilan Tipikor Medan dengan dakwaan menjual tanah negara seluas 74 hektare senilai Rp 132,4 miliar. Bos PT Erni Putra Terari ini kemudian divonis bersalah dengan hukuman penjara selama 6 tahun dan uang pengganti Rp 132,4 miliar. Vonis tersebut dinilai lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta Tamin dipenjara selama 10 tahun, membayar uang pengganti Rp 132,4 miliar, dan mengembalikan tanah negara.

Hakim yang menjadi majelis kasus Tamin adalah Merry dan dua hakim PN Medan, yaitu Wahyu Prasetyo Wibowo dan Merauke Sinaga. Penyidik sempat membawa dan memeriksa ketiga hakim. Wahyu dan Merauke dilepaskan karena penyidik hanya menemukan bukti adanya suap Tamin kepada Merry senilai Sin$ 280 ribu. Meski begitu, pengembangan kasus ini masih terus dilakukan. "Kami masih mendalami bagaimana pengambilan keputusan (vonis) pada saat itu," kata Febri.

Merry membantah pernah menerima uang dari Tamin. Ia mengklaim telah dijebak dan dikorbankan dalam kasus ini. "Saya tidak pernah melakukan apa pun (menerima suap) yang dikaitkan dengan perkara yang saya tangani," kata Merry.

Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan lembaganya tak bisa masuk dalam materi pertimbangan vonis hakim. Menurut dia, Badan Pengawasan MA hanya menyoroti kemungkinan terjadinya pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam kasus tersebut. Hingga saat ini, MA hanya menunda promosi bagi Wahyu yang seharusnya menjadi Ketua PN Serang, Banten. "Bertugas di MA karena sudah ada pejabat baru di PN Medan," kata Suhadi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Lola Ester, menilai ada mekanisme yang kurang ideal dalam proses seleksi hakim ad hoc oleh Mahkamah Agung. Akibatnya, rentan terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh para hakim ad hoc. Saat ini ada lima kasus korupsi yang melibatkan hakim ad hoc Tipikor. Karena itu, ICW meminta supaya MA mengevaluasi seluruh rangkaian rekrutmen hakim ad hoc. "Kalau memang tak ada yang layak, jangan dipaksakan memilih yang ada," kata Lola. AJI NUGROHO | FRANSISCO ROSARIANS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus