Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dalih KPU Menangkis Gugatan Dua Kubu

KPU berkukuh pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam pilpres 2024 mendampingi Prabowo sesuai dengan aturan. 

29 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komisi Pemilihan Umum menyebutkan ada ketidaksesuaian antara posita dan petitum dalam gugatan yang diajukan kubu 01 dan 03.

  • KPU menegaskan gugatan kubu 01 dan 03 tidak tepat, yang kerap menyebut Jokowi diduga terlibat.

  • Todung Mulya Lubis membantah anggapan gugatan ke MK salah kamar.

KOMISI Pemilihan Umum menyebutkan ada ketidaksesuaian antara posita dan petitum gugatan sengketa pemilihan presiden 2024 ke Mahkamah Konstitusi. Ketidaksesuaian itu, menurut Ketua Tim Hukum KPU Hifdzil Alim, membuat materi gugatan kedua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi keliru dan tidak jelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hifdzil Alim menyatakan posita kedua kubu pasangan calon mendalilkan adanya kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilihan presiden. Tapi petitum permohonan adalah meminta hakim konstitusi mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo Subianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Posita adalah dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan ataupun gugatan. Sedangkan petitum adalah tuntutan apa saja yang diminta penggugat dalam gugatan yang diajukan kepada hakim.

“Pemohon mendalilkan termohon, yaitu KPU, berpihak terhadap salah satu pasangan calon," kata Hifdzil saat sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 28 Maret 2024. 

Dalam gugatannya, tim hukum pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. menyebutkan KPU menetapkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanpa mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 memberi peluang bagi Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, melenggang sebagai kontestan pemilihan presiden 2024. Sedangkan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 mensyaratkan usia calon wakil presiden minimal 40 tahun. Pada saat penetapan KPU, Gibran masih berusia 36 tahun.

KPU menerbitkan Keputusan Nomor 1632 Tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. Setelah penetapan ini, KPU barulah mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 menjadi Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2023. Menurut tim hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, tindakan KPU itu melanggar sehingga pencalonan Gibran dianggap cacat formal dan harus didiskualifikasi dari Pemilu 2024

Kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hifdzil Alim membacakan jawaban atas gugatan terhadap kliennya dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti

Hifdzil mengatakan KPU tidak pernah menerbitkan aturan untuk memihak salah satu pasangan calon. Produk hukum KPU, kata dia, berlaku dan mengikat secara umum kepada semua calon presiden dan calon wakil presiden. Dia juga membantah tudingan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilihan menetapkan pencalonan Gibran dengan melanggar peraturannya sendiri. “Peraturan KPU tentang pencalonan berlaku untuk semua pasangan calon,” ujarnya. 

Menurut Hifdzil, tindakan KPU menerima pencalonan Gibran sesuai dengan undang-undang. KPU menyatakan menerima pencalonan Gibran berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut memperbolehkan seseorang mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden dengan usia paling rendah 40 tahun atau sedang menjabat kepala daerah. 

Belakangan, Majelis Kehormatan MK menjatuhkan sanksi etik kepada Ketua MK Anwar Usman karena konflik kepentingan dengan melibatkan diri dalam putusan tersebut. Anwar tak lain adik ipar Jokowi, atau paman Gibran.

Hifdzil mengatakan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu mulai berlaku pada Pemilu 2024 sehingga KPU menindaklanjuti putusan tersebut dengan menerima pencalonan Gibran. Tindakan KPU ini sesuai dengan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 juncto penjelasan Pasal 10 ayat 1 huruf a dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga MK. “Putusan MK langsung berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh,” ujarnya. 

Sifat final dalam putusan MK, kata Hifdzil, berarti putusan ini mengikat. Sehingga putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 berlaku terhadap Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023. “Putusan seperti itu secara otomatis dieksekusi tanpa perlu ditindaklanjuti oleh lembaga lain." 

Presiden Bukan Peserta Pemilu

KPU juga menilai tuduhan tim hukum paslon 01 dan 03 yang menyebutkan Jokowi melakukan pelanggaran dan kecurangan pemilu tidak tepat. Dalil tersebut, kata Hifdzil, keliru karena presiden bukan peserta pemilu atau pihak beperkara dalam sengkata PHPU. Menurut dia, hal ini yang membuat posita dan petitum dengan meminta diskualifikasi terhadap Prabowo-Gibran tidak sesuai. "Argumentasi pemohon dalam posita dan petitum tidak tepat dalam PHPU dan salah sasaran,” ujarnya.

Dalam kesempatan berbeda, Badan Pengawas Pemilu memastikan Jokowi tidak melanggar asas netralitas dalam pembagian bantuan sosial (bansos) saat kunjungan kerja ke Kabupaten Serang, Banten. Pemberian bansos itu dilaporkan tim hukum kubu 01 dan 03 karena Jokowi melakukan kunjungan kerja sambil membagikan bantuan sosial di dekat lokasi pasangan calon nomor urut 02.

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menuturkan ada dua laporan terhadap kunjungen kerja presiden tersebut. Bawaslu Provinsi Banten telah menindaklanjuti laporan pada 18 Januari 2024 itu. Berdasarkan kajian, Bagja menuturkan, tidak ada pelanggaran atas laporan tersebut. “Laporan Nomor 001 dan 002 pada 18 Januari 2024 tidak ditindaklanjuti karena tidak memenuhi unsur pelanggaran pemilu,” katanya saat memaparkan keterangan di sidang PHPU, kemarin. 

Bawaslu juga mengungkap alasan tidak memproses laporan tentang pelanggaran yang dilakukan Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Paiman Raharjo. Paiman dilaporkan ke Bawaslu pada 8 November lalu setelah beredar video dia ditengarai mengumpulkan orang-orang untuk pasangan Prabowo-Gibran. Namun laporan ini tidak ditindaklanjuti. “Status laporan Nomor 001/2023 itu tidak diregistrasi karena tidak memenuhi syarat materiil,” ujar Bagja. 

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengikuti sidang lanjutan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, 28 Maret 2024. ANTARA/Aditya Pradana Putra

Anggota tim hukum dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Fahri Bachmid, menyebutkan dalil permohonan kedua kubu penggugat hanya mencantumkan berbagai pelanggaran proses pemilihan tanpa uraian lengkap dan jelas. Padahal, menurut dia, hal itu penting untuk pembuktian. “Apa perbuatannya, kapan, di mana, siapa, dan bagaimana kaitannya dengan perolehan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, hal itu tidak tergambarkan,” ujarnya. 

Fahri menjelaskan, Pasal 8 ayat 6 huruf b angka 4 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 mengharuskan pemohon menjelaskan kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU. 

Adapun Otto Hasibuan, anggota tim hukum Prabowo-Gibran, menyebut gugatan kubu Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin salah kamar. Otto menuturkan gugatan para pemohon yang mempersoalkan proses pemilihan ataupun pelanggaran-pelanggaran bukanlah di Mahkamah Konstitusi. Ranah MK, kata dia, sesuai dengan Pasal 476 dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, adalah mengenai PHPU. 

"Permohonan itu seharusnya diajukan ke Bawaslu. Dari Bawaslu bisa masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara alias PTUN ataupun ke Mahkamah Agung," ujarnya. "Yang jelas, ini salah kamar." 

Menanggapi hal itu, ketua tim hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, membantah anggapan bahwa gugatan sengketa pilpres ke Mahkamah Konstitusi salah kamar. Dia menyebut Pasal 24 C ayat 1 UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi mengadili sengketa pilpres pada tingkat pertama dan terakhir, salah satunya, dalam memutuskan PHPU. Menurut Todung, MK tidak hanya mengadili masalah perolehan suara dan perbedaan suara dalam PHPU, tapi juga menangani praktik nepotisme secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilhan presiden.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Amelia Rahima Sari dan Adinda Jasmine Prasetyo berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus