Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum atau KPU menanggapi pelaporan yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP. Pada Jumat, 21 Juni 2024, koalisi itu melaporkan KPU atas dugaan pelanggaran etik karena membiarkan partai-partai yang tidak memenuhi jumlah 30 persen calon legislatif perempuan untuk tetap ikut serta di Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner KPU Idham Kholik mengatakan laporan atas hal yang sama pernah disampaikan ke DKPP sebelum ini. “Dahulu KPU pernah dilaporkan terkait dugaan pelanggaran etik yang sama yaitu perihal affirmative action dan DKPP telah membacakan putusannya,” kata Idham melalui pesan singkat pada Jumat malam, 21 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diketahui, DKPP sebelumnya pernah menerima laporan soal keterwakilan perempuan sebelum Pemilu dilaksanakan pada 14 Februari lalu. Ketika itu, DKPP menjatuhkan sanksi berupa teguran keras kepada seluruh komisioner KPU karena mengabaikan kewajiban afirmatif untuk calon legislatif perempuan.
Maka dari itu, Idham menganggap bahwa laporan dugaan pelanggaran etik yang sama ke DKPP dapat terkategori sebagai ne bis in idem. Asas hukum tersebut melarang terdakwa untuk diadili lebih dari satu kali atas satu perkara yang sama jika sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya.
Idham pun menyatakan KPU berharap DKPP bisa menolak aduan dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan. “Oleh karena itu, saya berharap pelaporan tersebut dapat dinyatakan NO (Niet Ontvankelijk Verklaard),” ucap Idham. Diketahui, putusan NO merupakan putusan yang menyatakan gugatan tidak bisa diterima karena alasan cacat formil.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melaporkan Ketua KPU Hasyim Asyari ke DKPP pada Jumat, 21 Juni 2024. Selain Hasyim, koalisi juga melaporkan seluruh anggota KPU juga atas dugaan pelanggaran etik.
“Koalisi menganggap seluruh anggota KPU RI periode 2022–2027 melanggar kewajiban hukum dan etika karena tidak mengakomodir paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada daftar bakal calon legislatif di Pemilu DPR dan DPRD Tahun 2024,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati yang menjadi salah satu pelapor melalui keterangan tertulis, Jumat, 21 Juni 2024.
Namun, Idham mengklaim KPU memegang prinsip berkepastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dalam Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017. Contohnya, kata dia, adalah sikap KPU yang langsung menindaklanjuti putusan sengketa Pemilu dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia mengirimkan bukti surat dinas dari KPU tentang pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di Gorontalo. PSU tersebut sebelumnya diamanatkan dalam sidang sengketa Pemilu 2024 melalui Putusan MK Nomor 125-01-08-19/PHPU.DPR.DPRD-XXII/2024.
“Surat Dinas yang diterbitkan oleh KPU RI tersebut sebagai bukti tindak lanjut Putusan MK,” kata Idham.