Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Berita Tempo Plus

Kriminalisasi Jadi Biang Keresahan Berpendapat

Aktivis dan masyarakat yang pernah ditangkap aparat mengalami trauma.

27 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Aksi tentang kebebasan berpendapat di Denpasar, Bali, 8 September 2020 ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Perbesar
Aksi tentang kebebasan berpendapat di Denpasar, Bali, 8 September 2020 ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Kriminalisasi Jadi Biang Keresahan Berpendapat

  • Kriminalisasi Jadi Biang Keresahan Berpendapat

  • Kriminalisasi Jadi Biang Keresahan Berpendapat

JAKARTA – Maraknya kriminalisasi dianggap menjadi biang keresahan masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya secara lantang. Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan mayoritas responden menyatakan warga semakin takut menyatakan pendapat pada hari-hari ini. Lebih dari separuh responden menilai aparat semakin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politik terhadap penguasa.

“Survei menunjukkan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju dan sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi saat memaparkan hasil survei, Ahad lalu.

Survei Indikator Politik ini digelar pada 24-30 September lalu dengan melibatkan 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi dan dipilih secara acak melalui telepon. Margin of error hasil survei sekitar 12,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Menurut hasil survei, sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga semakin takut menyatakan pendapat. Sebesar 21,9 persen responden menyatakan sangat setuju bahwa warga semakin takut menyatakan pendapat. Sebanyak 57,7 persen responden menilai aparat semakin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan pemerintah. "Publik menilai bahwa Indonesia makin tidak demokratis. Semakin takut warga menyatakan pendapat, semakin sulit warga berdemonstrasi, dan aparat dinilai semakin semena-mena. Maka kepuasan atas kinerja demokrasi semakin tertekan," ujar Burhanuddin.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatakan kriminalisasi yang kerap dilakukan aparat membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam menyuarakan pendapatnya. Ia mengatakan banyak aktivis ataupun masyarakat yang pernah ditangkap aparat mengalami trauma dan kini tak bisa bersuara sebebas dulu lagi. "Trauma itu pasti ada, apalagi untuk yang pernah ditangkap. Mereka juga kini lebih berhati-hati," katanya.

Asfinawati menyebutkan kriminalisasi oleh aparat untuk membungkam masyarakat yang berbeda pendapat dilakukan dengan berbagai modus. Di antaranya menjerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, menangkap orang-orang yang melakukan unjuk rasa, penghadangan untuk mencegah terjadinya unjuk rasa, dan menjemput orang-orang yang dituduh melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo.

Selama aksi demonstrasi yang terjadi pada 6-22 Oktober lalu, YLBHI mencatat upaya pembungkaman bahkan terjadi di ranah pendidikan melalui ancaman dari pihak rektorat. Sejumlah kampus mengancam akan memecat para mahasiswa yang berdemo. Polisi ikut mengancam dengan tidak akan mengeluarkan surat keterangan catatan kepolisian untuk pelajar yang terlibat aksi demo. Selebaran-selebaran digital bernuansa ancaman bagi orang tua pelajar yang mengikuti demonstrasi bertebaran.

Penyerangan akun media sosial berupa peretasan juga dialami sejumlah aktivis dan tim advokasi penanganan kasus kekerasan terhadap massa aksi. Para aktivis yang menyuarakan pendapat dan kritik terhadap pemerintah mendapat framing buruk. Sejumlah akun media sosial dan kelompok buzzer dimobilisasi untuk menyebarluaskan fitnah.

Menurut Asfinawati, tindakan represif pemerintahan Presiden Jokowi dalam menghadapi kritik sebetulnya sudah terlihat sejak awal ia memimpin. Pada 2015, misalnya, ada belasan peserta aksi dan tim advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang dikriminalisasi saat menggugat Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Semakin ke sini, menurut dia, tindakan represif dari pemerintah semakin keras. “Saya melihat ini karakter pemerintah yang menekankan pembangunan fisik ekonomi infrastruktur. Ini kan butuh kestabilan, dan stabilitas itu tidak suka dengan demokrasi,” katanya.

Menanggapi hal itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Awi Setiyono, membantah tudingan bahwa aparat bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang berbeda pendapat. Ia mengatakan selama ini Polri menjalankan tugas penindakan hukum sesuai dengan prosedur. Awi mempersilakan masyarakat yang tidak sepakat atas tindakan Polri untuk menggugat lewat jalur praperadilan. "Nanti ada tim dari Polri yang akan menghadapi. Biarkan hakim yang akan menilai, bukan sekadar opini," katanya.

EGI ADYATAMA | MAYA AYU PUSPITASARI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus