Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Anggota Koalisi Satu Hati, Edo Agustian, mengatakan kelemahan dalam penanganan kasus-kasus narkotika di Indonesia adalah maraknya kriminalisasi terhadap pengguna narkotik. Kondisi itu tidak hanya menyebabkan penjara kelebihan penghuni, tapi juga menyebabkan para pengguna tidak bisa direhabilitasi secara optimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Lembaga pemasyarakatan kita isinya 40 persen adalah narapidana kasus narkoba," ucap Edo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para terpidana kasus narkotika itu sebagian besar adalah pengguna atau ditangkap dengan barang bukti narkotik dalam jumlah kecil. Mereka bisa dipenjara hingga empat tahun. Tidak jarang para pengguna itu justru semakin kecanduan, bahkan menjadi pengedar karena pergaulan mereka di penjara. "Ada remaja yang tertangkap, mungkin karena coba-coba, namun ketika di penjara mereka justru bisa memakai narkoba dengan bebas," kata Edo.
Adapun Koordinator Advokasi Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Alfiana Qisthi, menekankan perlunya pemahaman yang tepat tentang perawatan dan rehabilitasi kasus narkotika. Ia mengatakan perawatan dan rehabilitasi bagi korban narkotik merupakan suatu proses yang panjang. Para korban juga memiliki latar belakang yang berbeda sehingga membutuhkan berbagai intervensi dan pemantauan berkala serta penanganan komprehensif.
"Tidak ada suatu jenis metode perawatan dan rehabilitasi dapat diterapkan kepada setiap individu. Kebutuhan setiap individu adalah unik dan berbeda satu sama lain," ujar Alfiana.
Persoalannya, pengguna narkotik sering kali dijerat dengan pasal pengedar ketimbang mendapat hak rehabilitasi. Dalam catatan paralegal PKNI di sepuluh kota sepanjang 2017, dari 145 pendampingan korban Napza, hanya 17 orang yang menerima rehabilitasi.
Proses assessment atau penilaian rehabilitasi, kata Alfiana, juga kerap dijadikan komoditas oleh aparat penegak hukum. Kebanyakan, hak rehabilitasi hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki uang. "Bandingkan masyarakat biasa dengan artis! Sepanjang 2017 ada tujuh artis yang terjerat narkotik, semuanya dapat rehabilitasi, berbanding terbalik dengan orang biasa," kata dia.
Dengan tidak didapatkannya hak rehabilitasi, pengguna akan dimasukkan dalam penjara. Alfiana mengatakan tidak adanya fasilitas rehabilitasi bagi pengguna di dalam penjara malah menimbulkan masalah baru. Pecandu akan kesulitan untuk sembuh di dalam penjara. Mereka cenderung menggunakan narkotik secara ilegal dalam penjara, yang berakibat menularnya penyakit atau bahkan menyebabkan kematian.
Menurut pengajar hukum pidana STH Indonesia Jentera, Miko Ginting, pemerintah wajib mengutamakan pendekatan kesehatan dibanding pendekatan kriminal dalam menyelesaikan persoalan maraknya narkotik di Indonesia. "Penegakan hukum pidana harus dikesampingkan, karena selama ini pendekatan hukum pidana terbukti tidak berhasil menyelesaikan persoalan ini," ujar dia.
Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang masih menerapkan hukuman mati dalam kasus narkotika. Pemerintah telah mengeksekusi mati sejumlah terpidana kasus narkotika dengan harapan menciptakan efek jera. Namun peredaran narkotik tetap tinggi.
ANDITA RAHMA | M. YUSUF MANURUNG | REZKI ALVIONITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo