Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rektor Universitas Riau Sri Indarti melaporkan mahasiswanya, Khariq Anhar, ke polisi dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pegiat hak asasi digital menilai kampus seharusnya memberikan kebebasan berpendapat, bukan membungkam kritik.
Rektor Universitas Riau akhirnya mencabut laporan.
Mediasi yang dimulai sekitar pukul 07.30 WIB ini tampaknya berlangsung alot. Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau Muhammad Ravi mengatakan suasana mediasi soal kritik biaya kuliah cukup panas karena mungkin masih ada pihak yang tersulut amarah. "Barangkali karena Rektor Universitas Riau Sri Indarti saat ini juga menjadi sorotan media," ujar Ravi saat dihubungi pada Kamis, 9 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEM Universitas Riau berupaya memediasi konflik mahasiswa Universitas Riau, Khariq Anhar, dengan rektornya, Sri Indarti. Hal ini bermula dari konten berisi kritik terhadap kebijakan uang kuliah tunggal (UKT) dan uang pangkal atau iuran pengembangan institusi (IPI) di Universitas Riau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khariq disebut mengunggah video kritik melalui akun Instagram Aliansi Mahasiswa Penggugat. Dalam konten itu, dia mengkritik kebijakan uang pangkal masuk perguruan tinggi negeri di sejumlah program studi. Salah satunya adalah program studi pendidikan dokter, yang uang pangkalnya mencapai Rp 115 juta. Pada akhir video, ia menyebut nama Rektor Sri Indarti sebagai "broker pendidikan".
Kronologi Khariq Anhar, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Riau (Unri), setelah video kritiknya soal iuran pengembangan institusi di kampusnya dilaporkan oleh Rektor Unri Sri Indarti pada 15 Maret 2024. Foto: Istimewa
Sri Indarti lantas melaporkan Khariq atas dugaan pencemaran nama terhadap dirinya. Sri melaporkan Khariq ke polisi menggunakan Pasal 45 ayat 4 juncto Pasal 27A Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Muhammad A. Rauf, kuasa hukum Sri Indarti, mengatakan kliennya mempersoalkan klausa "Sri Indarti broker pendidikan" dan penayangan wajah Sri. Menurut Rauf, hal itu dianggap menyerang harkat dan martabat kliennya. "Tentu sudah banyak kalangan yang melihat unggahan video tersebut sehingga rektor merasa tercemar namanya," ujarnya.
Khariq sebelumnya meminta mediasi dengan Sri Indarti. Namun, kata dia, komunikasi dengan Sri dibatasi. Ia hanya bisa menemui Wakil Rektor III Universitas Riau Hermandra. Khariq menyebutkan pertemuan dengan Hermandra belum menghasilkan kesepakatan apa pun.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Abdul Haris mengatakan pihaknya sudah meminta Rektor Universitas Riau segera mengklarifikasi laporan terhadap mahasiswanya itu melalui media massa. "Kami berkoordinasi agar segera ada solusi. Kami mendorong agar aspirasi masyarakat kampus ditanggapi secara bijaksana, proporsional, dan kekeluargaan," ujarnya.
Pelaporan Bagian dari Pembungkaman
Sejumlah aktivis kampus dan pegiat hak asasi digital menilai kampus seharusnya memberikan kebebasan berpendapat dan tidak mengkriminalisasi mahasiswanya yang melontarkan kritik. Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) Satria Unggul Wicaksana mengatakan tindakan Sri Indarti melaporkan mahasiswanya dengan Undang-Undang ITE merupakan bagian dari pembungkaman.
Menurut Satria, keputusan Sri Indarti menggunakan Undang-Undang ITE tidak tepat. Sebab, undang-undang itu hanya dapat digunakan sepanjang menyerang pribadi. Dalam kasus ini, Khariq tidak menyerang secara pribadi, melainkan mengkritik kebijakan UKT yang dikeluarkan rektor. "Kritik tidak bisa dijadikan dasar untuk pemidanaan," ucapnya.
Satria menegaskan bahwa menolak kebijakan UKT bukanlah tindak pidana. Terlebih, hak menyampaikan pendapat sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik dijamin undang-undang, sehingga mahasiswa tidak perlu takut menyuarakan kebenaran. KIKA mendesak Sri Indarti segera mencabut laporannya dan menempuh jalur restorative justice.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum menilai kritik Khariq soal UKT merupakan kebebasan berekspresi yang sah dan dilindungi undang-undang. Menurut Nenden, kritik Khariq terhadap rektorat memiliki unsur kepentingan publik. "Rasanya ini tidak tepat dan kurang bijak bagi seorang rektor yang seharusnya memiliki pemahaman lebih luas tentang kebebasan akademik di dalam kampus," ucapnya.
Suasana perkuliahan di Universitas Riau. Unri.ac.id
Nenden menambahkan, kepolisian seharusnya juga jeli dalam menangani kasus seperti ini. Kepolisian, kata dia, sebenarnya bisa menolak atau menghentikan laporan Sri Indarti karena pelanggaran Undang-Undang ITE tidak ditemukan dalam kasus ini. Nenden menilai Khariq tidak memiliki niat mencelakai Sri, melainkan mengkritik sistem kampus yang memberatkan mahasiswa.
Rektor Akhirnya Cabut Laporan
Muhammad Ravi menuturkan mediasi yang berlangsung kemarin tak dihadiri Khariq dengan alasan sakit. Namun BEM Universitas Riau meminta mediasi tetap dilakukan. Acara dihadiri jajaran rektorat, termasuk Sri Indarti, dan beberapa anggota pengurus BEM Universitas Riau. Meski demikian, Ravi menegaskan bahwa BEM tetap berpihak pada Khariq.
Dari mediasi tersebut, walhasil Sri Indarti menyepakati permintaan BEM untuk tidak melanjutkan laporan dan proses hukum terhadap Khariq. Sri akan mencabut laporan ke polisi dan menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Sri Indarti juga mengklarifikasi bahwa sejak awal tidak ada laporan yang ditujukan kepada Khariq, melainkan akun atas nama Aliansi Mahasiswa Penggugat. Hal inilah yang menurut dia menyebabkan terjadinya misinformasi.
Sri menyatakan tidak bermaksud mengkriminalisasi mahasiswanya, apalagi membungkam kebebasan menyampaikan pendapat. Ia menyatakan akan tetap memberikan ruang bagi mahasiswanya untuk menyuarakan kritik, saran, dan masukan terhadap kebijakan-kebijakan kampus, termasuk soal IPI serta UKT.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yohanes Maharso, Hendrik Yaputra, dan Intan Setiawanty berkontribusi dalam penulisan artikel ini.