PERPECAHAN PDI tahun 1977 lalu -- selama 3 bulan -- akhirnya
diselesaikan di Markas Bakin, jalan Senopati, Jakarta.
Perpecahan kedua tahun 1978 kemarin, minggu ini juga hampir
memasuki bulan ketiga. Apakah Pemerintah lagi-lagi akan
'menolong' mendamaikan mereka? Menurut Usep Ranawidjaja, anggota
DPP PDI-Sanusi, "penyelesaian 16 Januari 1978 di Senopati itu
adalah campur tangan pemerintah yang terakhir."
Harapan Usep itu didasarkan pada pernyataan Menhankarn M. Jusuf
dan Kaskopkamtib Yoga Sugama. Kedua pejabat tinggi itu pernah
menegaskan, pemerintah tidak akan mencampuri urusan dalam
partai. Sampai akhir pekan lalu, kedua pihak yang saling
bersengketa memang masih diberi kesempatan jalan
sendiri-sendiri. Ini berbeda dari "penyelesaian 16 Januari 1978"
yang karena menjelang SUMPR.
Dan ternyata tidak benar yang berwajib melarang DPP PDI-lsnaeni
berapat di kantor jalan Diponegoro 58, Jakarta. Surat dari Kodak
Metro Jaya tertanggal 6 Desember 1978 memang minta agar rapat
ditunda. Tapi rapat hari itu diselenggarakan oleh Sanusi. Dan
karena kantor tersebut sudah dikuasai PDI-lsnaeni, Sanusi dkk
melangsungkan rapat di rumah salah seorang anggota pengurusnya,
Duriat, di jalan Borobudur. Dan beberapa hari kemudian di rumah
Sanusi, di Slipi.
Ini aneh, sebab dalam notanya tanggal 25 Oktober 1978 kepada
Wakil Sekjen DPP PDI Adipranoto, Sanusi minta agar "rapat DPP
tidak diselenggarakan di tempat lain kecuali di Sekretariat DPP
PDI." Sanusi merasa perlu menulis nota, karena Adipranoto
memindah rapat Panitia-11 dari jalan Diponegoro ke ruang kerja
Wakil Ketua DPR, Mh. Isnaeni.
Sekarang, Isnaeni dkk berkantor di jalan Diponegoro, hampir
setiap pagi. Seperti tampak Kamis siang 28 Desember lalu. Ada
Isnaeni, Sunawar, Muhiddin Nasution, Achmad Sukarmadidjaja, Djon
Pakan. Beberapa pemuda duduk menjaga pintu masuk. Selembar
kertas tertempel di tembok: "Yang tidak berkepentingan dilarang
masuk."
Sampai kapan kucing-kucingan ini?
Bulan lalu kedua pihak mengajukan permintaan iJin
menyelenggarakan kongres. Tapi seperti dinyatakan Pangkopkamtib
Sudomo, ada kesan pemerintah tidak akan memberikan ijin sebelum
keduanya bersatu. Kesan lain yang timbul tampaknya pemerintah
ingin memberi jalan penyelesaian lewat kongres -- mimbar yang
diharapkan menampilkan wajah demokrasi.
Bagaimana caranya Barangkali lebih maju dari penyelesaian
kompromistis di Bakin tahun lalu. Sebuah sumber menyebutkan
mungkin pemerintah akan memberi ijin kepada sebuah Panitia
Pelaksana Kongres II PDI dengan syarat kedua kelompok yang
saling bertentangan diundang. Dalam kongres itulah akan dinilai
pertanggungjawaban Ketua Umum mengenai dua kali konflik itu.
Juga tindakannya membebas-tugaskan Mh. Isnaeni dan Sunawar
Sukowati.
Banci
Tapi panitia yang mana? Sementara PDI-Sanusi membentuk Panitia
Pelaksana Kongres yang baru dengan menokohkan Hardjantho
Sumodisastro sebagai ketuanya, PDI-lsnaeni tetap memanfaatkan
"Panitia-11" sebagai Panitia Pelaksana Kongres. "Panitia-11 kan
sudah terbentuk 6 bulan lewat ketika PDI belum pecah kedua
kalinya. Kami tetap memanfaatkannya, sedang Sanusi malah
membentuk panitia baru," kata Achmad Sukarmadidjaja, ketua
Panitia-11 itu pekan lalu.
Achmad Sukarmadidjaja, dalam konflik tahun 1977 tampil sebagai
'pemrakarsa' reshuffle DPP PDI dengan antara lain menyingkirkan
Sanusi dan Usep. Ketika itu Hardjantho berdiri di belakangnya.
Setelah penyelesaian di Bakin, atas saran Hardjantho dalam
suratnya 1 Pebruari 1978, Mh. Isnaeni mendukung tampilnya
Hardjantho sebagai ketua Fraksi PDI di DPR.
Dalam konflik tahun 1978 yang gantian menyingkirkan Isnaeni dan
Sunawar, sang ketua Fraksi PDI pun berbalik berdiri di belakang
Sanusi. "Ada beberapa tindakan pak Sanusi yang tidak saya
setujui. Tapi tindakannya yang sekarang termasuk benar dan saya
setuju," kata llardjantho. Sejak semula dibisikkan akan
ditampilkan sebagai Ketua Umum DPP PDI, ia termasuk yang tak
puas dengan penyelesaian Bakin.
Anggota pleno DPP PDI yang tersusun setelah 16 Januari 1978,
dinilainya sebagai "banci". Karena itu ia menginginkan
perombakan struktur organisasi. Gambaran konsepnya untuk kongres
nanti, pertama tidak ada penonjolan eks unsur bekas partai.
Kedua, para ketua akan membawahi sebuah departemen. Ketiga,
mengakomodir semua kekuatan, tua dan muda.
Untuk menghimpun generasi tua dan muda itu, Hardjantho merasa
perlu membentuk Dewan Kehormatan Partai dan Dewan Pertimbangan
Partai. Semua itu disebutnya sebagai usaha "pembaharuan,
peremajaan dan penyegaran." Tapi tentang kedua lembaga partai
tersebut, bagi Sabam Sirait, Sekjen DPP PDI-Sanusi, hanyalah
nama lain untuk lebih mengaktifkan lembaga serupa yang sudah
ada. Yaitu MPP (Majlis Permusyawaratan Partai) dan Deperpu
(Dewan Pertimbangan Pusat).
Hardjantho kini sibuk mempelajari AD/ART, keputusan dan
peraturan-peraturan partai. Juga meneliti nama-nama. Itu Sebagai
persiapan pembentukan MPP yang akan bertugas menggodog
bahan-bahan kongres. Di lain pihak, Achmad Sukarmadidjaja yang
ketua Panitia-11 pun mempersiapkan susunan MPP lain bagi kongres
PDI-lsnaeni. Dan sebelum kongres berlangsung, seluruh DPC dan
DPD PDI harus berkonperensi.
Semua sibuk. Tapi siapa kelak yang akhirnya menang atau
dimenangkan, menjadi tidak penting lagi. Sebab, sementara dalam
konflik 1977 ada kesan pemerintah memberi angin PDI-lsnaeni,
dalam konflik 1978 angin itu terasa segar berhembus untuk
PDI-Sanusi. Dan siapa pun yang beruntung ditampilkan -- untuk
apa semua itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini