Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Letnan Kolonel Untung tercatat oleh sejarah sebagai tokoh penting dalam peristiwa G30S. Sebelum peristiwa berdarah 1965, Untung diangkat sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan Presiden di Istana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa G30S sendiri dipantik dari kabar angin yang tersiar adanya sekelompok jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Lalu siapa sebenarnya Letkol Untung ini, sebelum jatuhnya peristiwa G30S?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kolonel Abdul Latief yang saat itu menjabat Komandan Garnisun Kodam Jaya, sebelum dihukum mati, dalam kesaksiannya mengatakan penculikan para jenderal merupakan inisiatifnya bersama rekan-rekannya sesama perwira militer, yakni Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa Letkol Untung, dan Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim Mayor Sujono.
Resimen Cakrabirawa di bawah komando Letkol Untung kemudian dipercaya untuk melakukan aksi penculikan terhadap Dewan Jenderal yang diduga akan mengkudeta Presiden Soekarno.
Untung lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926 dengan nama lahir Kusmindar alias Kusman. Ayahnya bernama Abdullah, namun karena sang ayah sibuk bekerja, sedari kecil Kusman diangkat sebagai anak oleh Syamsuri, pamannya.
Itulah mengapa Kusman di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Untung Syamsuri. Syamsuri menyekolahkan Kusman di salah satu sekolah dasar di Ketelan.
Untung kecil adalah anak yang gemar bermain bola, bahkan ia sempat menjadi anggota Kaparen Voetball Club atau KVC di desanya. Setelah lulus dari jenjang sekolah dasar, ia kemudian melanjutkan ke sekolah dagang, namun tidak sampai tamat karena kedatangan Jepang di tanah air.
Kusman yang saat itu berusia 18 tahun, lantas bergabung dengan pasukan yang terdiri dari bangsa Indonesia bentukan tentara pendudukan Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II, yang disebut Heiho.
Setelah Jepang kalah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Untung kemudian masuk ke Batalion Sudigdo, yang bermarkas di Wonogiri. Di kemudian hari, Batalion ini juga disebut-sebut terlibat dalam aksi pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1948, yang dipimpin oleh Musso.
Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi, teman dekat Untung yang ditemui Tempo pada 2009 menuturkan, setelah 1948, Untung ditugaskan di Solo, Jawa Tengah yang saat itu Komandan Komando Resor Militer-nya adalah Soeharto. Saat jabatan Soeharto usai dan naik jabatan menggantikan Panglima Divisi Diponegoro, Semarang, yang sebelumnya dijabat Gatot Subroto, Untung pun ikut pindah ke Divisi Diponegoro.
Letkol Untung merupakan perwira menengah yang cemerlang. Ia diterjunkan di berbagai medan operasi. Mulai operasi penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatera Barat pada 1958. Lalu diterjunkan dalam opereasi Trikora yang membawanya meraih penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Sukarno.
Selain Untung, satu perwira lain yang juga mendapat Bintang Sakti adalah BennyMoerdani yang kemudian menjadi jenderal penting dalam sejarah TNI di era Orde Baru, dan menjadi Panglima ABRI.
Pada pertengahan 1964, Untung kemudian menjadi anggota Tjakrabirawa yang ditempatkan oleh Soeharto bersama dua kompi Banteng Raiders, yakni sebuah batalyon infanteri raider TNI yang dikenal sebagai satuan elit setingkat pasukan komando (pasukan khusus) di jajaran Kodam IV Diponegoro.
Di sinilah karier Untung semakin dekat dengan pusaran politik nasional. Soeharto sebagai pemimpin Kostrad saat itu, merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.
Menurut mantan menteri Luar Negeri Soebandrio, Soeharto terlibat dalam peristiwa G30S dengan mengirim bantuan pasukan untuk memberikan dukungan kepada Untung menangkap Dewan Jenderal.
Perintah Soeharto tersebut terekam dalam telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.
Kesatuan itu diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Namun, anehnya pasukan tersebut membawa peralatan siap tempur dengan peluru tajam.
Bekas Kepala Staf Angkatan Udara di era Presiden Sukarno Laksamana Punawirawan Omar Dhani, mengatakan pasukan tersebut menyalahi aturan militer, “Aneh, masak untuk defile prajurit mesti membawa peluru tajam. Semestinya tidak begitu, ada mekanismenya kalau di militer,” katanya.
Setelah G30S meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan menghilang beberapa bulan lamanya. Namun kemudian Untung berhasil ditangkap secara tidak sengaja oleh dua orang anggota Armed Brebes, Jawa Tengah. Ketika tertangkap, ia tidak mengaku bernama Untung.
Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak menyangka bahwa telah menangkap pimpinan operasi G30S. Setelah menjalani pemeriksaan di markas CPM Tegal, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan bernama Untung, Letkol Untung pemimpin operasi G30S. Setelah melalui sidang Mahmilub yang kilat, Untung kemudian dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1966,
HENDRIK KHOIRUL MUHID