Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Gunungkidul - Raut muka Eko Sugeng, 33 tahun, terlihat serius. Dia sedang menuang air panas dari teko ke dalam V60, sebuah alat seduh kopi manual brewing berbentuk kerucut. Sebelumnya, bubuk kopi hasil penggilingan dalam mesin grinder dimasukkan dalam V60 yang dilapisi penyaring berbahan kertas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cairan kopi yang hitam kemudian menetes dari ujung kerucut. Dan itu dilakukan Eko dengan memaksimalkan kemampuan kedua tangannya yang hanya sebatas siku. "Saya belajar jadi barista sejak 2017," kata Eko kepada Tempo di acara Temu Inklusi 2018 di Desa Plembutan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Kamis 25 Oktober 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkenalannya dengan dunia barista bermula dari kesukaannya minum kopi di Cupable Coffee, sebuah kedai kopi di kawasan Pusat Rehabilitasi Yakkum Jalan Kaliurang Kilometer 13, Kabupaten Sleman. Eko menjadi staf di pusat rehabilitasi itu setelah sekian lama menjalani rehabilitasi pascakecelakaan yang menimpanya.
Pemuda asal Pekalongan ini tersengat listrik saat membenahi kabel yang berserak pada 2002. Saat itu, Eko tengah membantu saudaranya memasang jaringan antena televisi. Entah bagaimana mulanya, Eko tiba-tiba pingsan. Kedua tangannya harus diamputasi akibat terkena aliran listrik tegangan tinggi. "Saya suka beli kopi di situ. Sama pemiliknya, saya ditawari belajar menyeduh kopi," kata Eko.
Awalnya bingung dan pesimistis dengan kemampuan dua lengannya. Tapi dia terus belajar dan berlatih dengan semangat. Hingga kemudian Yakkum bekerja sama dengan Asia Foundation menggelar Program Peduli bertema Barista Inklusi. Ada delapan peserta inklusi dan tiga di antaranya difabel, termasuk Eko.
Dalam program itu, mereka tinggal di Suroloyo, Kabupaten Kulon Progo yang berada di lereng Pegunungan Menoreh untuk belajar tentang dunia kopi langsung dari petani. Mulai dari cara menanam, merawat, memanen, hingga mengolah kopi pascapanen.
Untuk belajar menyeduh dan cupping kopi, mereka memperdalam keterampilan dengan magang di sejumlah kedai kopi di Yogyakarta yang menjalin kerja sama dengan Cupable dan Yakkum. Kopi yang diseduh beragam asalnya, seperti dari Gayo, Toraja, Kerinci, Temanggung, juga Menoreh. Dari situlah semakin terlihat kecenderungan keahlian mereka dalam menyeduh kopi. Ada yang mempunyai kemampuan membuat latte, cappuccino, dan manual brewing.
"Saya sejak awal belajar menyeduh pakai V60 dan sampai sekarang saya suka pakai alat itu," kata Eko, peminum kopi robusta yang beralih ke arabika setelah mengenal cara menyeduh kopi. Salah satu teknik yang sulit dipelajarinya hingga kini adalah membuat kopi latte. Lantaran dalam latte tak sekedar menyeduh kopi. Tapi ada teknik membuat hiasan dengan busa (foam) dari susu pada permukaan kopi.
Barista membutuhkan ketepatan waktu untuk membentuk busa yang bagus. Dengan kondisi kedua lengannya, teknik itu sulit dilakukan. "Untuk floating susu butuh timing yang pass. Mesti ada alat yang dimodifikasi," ucap Eko. Dari proses belajar dan berlatih terus-menerus, Eko bisa mengetahui modifikasi alat yang dibutuhkan. Begitu pula alat modifikasi yang juga digunakannya untuk meletakkan bubuk kopi dalam mesin espresso.
Modifikasi peralatan itu dilakukan di bengkel prostetik dan orthotik tempatnya bekerja. "Bagaimana pun ketika kopi buatan saya bisa dinikmati banyak orang dan mendapat masukan agar hasilnya lebih layak, itu sangat berkesan," kata Eko.
Untuk ke depannya, Eko ingin punya kedai kopi sendiri. Lewat kedai kopi itu, dia ingin memberdayakan teman-teman difabel agar bisa mandiri. Dia juga berharap bisa mencapai kesetaraan agar barista difabel mendapatkan sertifikat nasional dan internasional sebagaimana barista non difabel. Seperti slogan yang dicupliknya dari Cupable, karena kopi kita setara. "Karena di kedai kopi tak ada 'gap', bisa ngobrol apa saja. Kita ini setara," kata Eko menegaskan.