Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTENGAHAN bulan lalu Gubernur Sumatera Utara EWP Tambunan
melarang pegawai negeri di daerahnya minum tuak yang biasa
dijual di lapo-lapo (lepau) tuak. Terutama ketika masih jam
kerja. Sebab selain mengganggu pekerjaan dinas (kalau mabuk),
juga tak baik bagi kesehatan. Larangan ini ditujukan terutama
bagi mereka yang tergolong suku Batak, karena kebiasaan minum
tuak ini seperti diketahui sudah turun temurun bagi suku ini.
Berkaitan dengan itu ratusan pemilik kedai minuman di Kotamadya
Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah 20 Maret lalu dikumpulkan
oleh pejabat kedua daerah. Berbagai wejangan diberikan. Pokok
masalah apa akiBat yang bisa timbul dari kebiasaan orang minum
minuman keras. Maka, sesudah bubar, pemilik kedai minuman itu
pun tahu bahwa mereka kini ditertibkan.
Baik di Sibolga maupun Tapanuli Tengah, sebagian besar pemilik
kedai minuman tuak tidak mempunyai izin usaha. Jelasnya, dari
201 yang ada di Sibolga hanya 50 yang mempunyai izin --
sementara di Tapanuli Tengah 9 dari 405.
Meminum minuman keras bagi banyak orang Tapanuli, merupakan
kebiasaan yang dihubungkan dengan adat istiadat. Itulah sebabnya
nyaris di setiap pojok di daerah Tapanuli ada kedai minuman
tuak. Dan orang Tapanuli punbiasa berlisoi-lisoi -- santai --
minum tuak di kedai itu. Sementara setiap kali orang memberi
hadiah kepada bayi yang baru lahir senantiasa berucap "Ini nak,
sekedarnya untuk pembeli tuak natonggi -- tuak manis.
Tuak natonggi tentu saja tidak ada. Malah, karena mempunyai
kadar alkohol yang tak kalah banyak dibanding rata-rata bir
misalnya, tuak tak jarang membuat orang mabuk. Khususnya di
Tapanuli Tengah tahun lalu ada 112 kasus kejahatan yang timbul
gara-gara orang mabuk. Tiga pemabuk bahkan mati ditikam pemabuk
lain antara Desember tahun lalu sampai Pebruari tahun ini.
Dari situ petugas kepolisian pun bertindak. Setelah dikumpulkan,
pemilik kedai yang tidak mempunyai izin diharap menghentikan
usahanya, sementara yang punya boleh jalan terus asal pintunya
ditutup jam 22.00.
Obat Masuk Angin
Seperti biasa, ada penertiban, ada reaksi. Bagi sebagian orang
Tapanuli, tuak disebut-sebut juga sebagai obat masuk angin.
Karenanya wajar kalau kedai tuak diizinkan buka sampai lewat jam
10 malam, seperti dikatakan Lumbangaol, seorang pensiunan Camat
yang kini menjadi pemilik salah satu kedai minuman yang hadir di
lantai dua Kantor Bupati bulan lalu. Alasannya, nelayan pulang
dari laut tengah malam. Sehabis bergelut dengan angin malam
mereka butuh minuman yang bisa menghangatkan tubuh. Itu adalah
tuak.
Christian Sianturi, seorang di antara 201 pemilik kedai di
Sibolga mengakui usahanya belum mempunyai izin. Tapi itu tidak
berarti ia mengabaikan peraturan, katanya. "Sebab permohonan
izin sudah saya ajukan sejak 1977." Mendengar cerita itu serta
merta ada kawan Christian yang berkomentar "Jadinya kita ini
seperti ikan masuk bubu." Maksudnya, ada kesan pertumbuhan kedai
minuman di kedua daerah di Sumatera Utara itu selama ini memang
dibiarkan oleh pemerintah daerah. Soal izin tidak dikutik-kutik
sampai pemerintah mempunyai kepentingan untuk itu.
Kesan semacam itu, apa boleh buat, cukup wajar. Namun, seperti
dikatakan Dan Res Kepolisian 211 Tapanuli Tengah, Mayor Wydio
Purnomo, "peraturan mengenai minuman keras sudah ada sejak
1898." Artinya, pemerintah yaitu polisi, memang punya dasar
untuk melakukan penertiban jual beli atau peredaran barang
tersebut. Lebih-lebih karena DPRD mendukungnya.
"Produksi minuman keras itu dimaksudkan orang-orang tertentu
untuk menjadikan rakyat negeri ini menjadi pemabuk sehingga lupa
diri," kata anggota DPRD Tapanuli Tengah, Dangol Tobing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo