Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK mengimbau penyelenggara negara menyampaikan LHKPN.
Sebanyak 95 persen LHKPN yang disampaikan penyelenggara negara masih belum akurat.
Pegiat antikorupsi meminta adanya sanksi etik dan pidana bagi pejabat yang tak melaporkan kekayaan ke negara.
JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluhkan minimnya kepedulian penyelenggara negara akan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Ketidakpatuhan tersebut terjadi baik di tingkat eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun pejabat badan usaha milik negara (BUMN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ipi Maryati, mengatakan pihaknya sudah mengimbau seluruh penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaan mereka. Menurut dia, penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya sebagai upaya pencegahan korupsi, terutama sebagai bagian dari upaya transparansi dan akuntabilitas. "Karena itu, KPK meminta penyelenggara negara menyampaikan laporan kekayaannya tidak hanya tepat waktu, tapi juga secara benar, jujur, dan lengkap," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ipi menyebutkan penyelenggara negara memiliki kewajiban melapor sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara. Mereka diharuskan melaporkan sebelum, ketika menjabat, hingga setelah menjabat sebagai pejabat publik. KPK bakal menunggu pelaporan tersebut secara berkala paling lambat 31 Maret. "Tahun pelaporan posisi harta per 31 Desember di tahun sebelumnya," tutur dia.
KPK sebelumnya membeberkan bahwa sebagian besar laporan kekayaan pejabat negara tidak akurat. Ketidakakuratan kekayaan mereka mencapai 95 persen dari 1.665 pelaporan. Para pejabat itu tidak melapor secara lengkap perihal kepemilikan tanah, bangunan, rekening bank, dan bentuk investasi lain. Mereka juga biasanya mengisi nilai kekayaan secara ngawur atau memiliki lampiran dokumen yang tidak lengkap.
Ipi menjelaskan, KPK selalu memverifikasi dan memvalidasi data kekayaan pejabat negara. Karena itu, mereka mengetahui adanya pelaporan kekayaan yang tidak lengkap. Proses verifikasi meliputi pengecekan data harta dan kelengkapan dokumen pendukung, di antaranya berupa surat kuasa yang wajib diteken di atas meterai oleh wajib lapor dan keluarga mereka. Komisi juga memeriksa dengan prosedur klarifikasi.
Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irjen Pol Firli Bahuri salam hormat kepada Pimpinan Komisi III DPR RI usai mengikuti uji kelayakan dan kepatutan capim KPK di Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 September 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Laporan harta ini, Ipi melanjutkan, nantinya bisa dijadikan dasar bagi KPK untuk menyelidiki kasus korupsi. Pernyataan ini sekaligus untuk menepis anggapan berbagai pihak yang menilai bahwa LHKPN tidak bisa terkait dengan tindak pidana.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menyatakan ketentuan pelaporan kekayaan pejabat negara bakal efektif jika pemerintah mampu mendisiplinkan semua pejabat untuk melapor dan memastikan informasi kekayaannya yang disampaikan secara akurat. "Sayangnya, dua poin itu kita masih lemah. Padahal yang terpenting adalah regulasi dan memastikan adanya sanksi etik serta pidana bagi pejabat yang tidak melapor," kata Alvin kepada Tempo, kemarin.
Hanya, sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan kewajiban pelaporan harta yang bisa memaksa pejabat publik. Mereka juga tak bisa menerapkan sanksi etik dan pidana. Padahal hal itu bisa diterapkan jika pejabat melaporkan kekayaan secara tidak akurat atau memanipulasi harta.
Alvin mendesak pemerintah agar setidaknya menerbitkan peraturan pemerintah untuk mengenakan sanksi etik di instansi pejabat tersebut bekerja. Hal itu bisa digunakan apabila pejabat itu tidak melapor, terlambat lapor, atau tidak akurat dalam melaporkan harta. "Selama ini pejabat yang melapor hanya sukarela, atau digunakan sebagai syarat dalam kebutuhan mencalonkan diri sebagai pejabat publik," ujar dia.
Alvin mendapati kecenderungan bahwa pejabat hanya melapor pada awal-awal masa kerjanya. Pada tahun-tahun berikutnya, tingkat kepatuhan semakin rendah. Menurut dia, tingkat kepatuhan melaporkan harta kekayaan harusnya bisa ditingkatkan dengan mendorong pendekatan melalui partai politik dan pemetaan kekayaan pejabat negara berdasarkan hitungan selisih harta antara tahun terakhir dan pada tahun sebelumnya. Hal ini sebagai upaya untuk menelusuri adanya potensi tindak pidana yang dilakukan orang itu.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menyatakan KPK kini tidak memiliki komitmen dalam upaya menegakkan kepatuhan pelaporan laporan kekayaan. Apalagi Ketua KPK Firli Bahuri juga pernah memberi contoh buruk dengan tidak melaporkan kekayaannya ke negara. "Pada masa Firli juga belum pernah ada penyelidikan yang dilakukan berbasis pelaporan harta kekayaan pejabat negara yang fantastis," ujar dia. Pada masa-masa sebelumnya, KPK beberapa kali mengungkap kejahatan korupsi melalui LHKPN, termasuk kasus rekening gendut Budi Gunawan.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Sufmi Dasco Ahmad, berdalih kelambatan laporan kekayaan disebabkan oleh persoalan teknis, yaitu keterbatasan ruang gerak akibat pandemi Covid-19.
Anggota parlemen yang tercatat oleh KPK telah menyampaikan LHKPN adalah 330 orang dari 569 anggota DPR. Dasco mengatakan biasanya penyampaian LHKPN dibantu oleh para staf atau tenaga ahli. Meski demikian, ia menyebutkan kepatuhan LHKPN anggota Dewan pada tahun sebelumnya pun cukup baik. Namun lantaran anggota DPR dan para staf kini bekerja dari rumah, beberapa dari mereka belum melaporkan data harta kekayaan kepada KPK.
AVIT HIDAYAT | BUDIARTI UTAMI PUTRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo