Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ke Senayan demi Hentikan Pemekaran

Majelis Rakyat Papua menolak rencana pengesahan undang-undang yang mengatur pembentukan tiga provinsi baru Papua. Mahfud Md menilai, penolakan pemekaran Papua sebagai hak yang lumrah.

27 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • MRP terus bergerilya mendekati DPR dan Presiden untuk menghentikan pembentukan provinsi baru.

  • Parlemen bakal mengesahkan undang-undang pembentukan provinsi baru menunggu putusan Mahkamah Konstitusi.

  • Mayoritas warga Papua diklaim setuju atas pemekaran provinsi baru di Papua.

JAKARTA – Majelis Rakyat Papua (MRP) terus menggelar lobi politik meminta pemerintah dan parlemen menunda rencana pengesahan undang-undang yang mengatur pembentukan tiga provinsi baru sebagai wilayah pemekaran Papua. Mereka mendesak Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR menunggu putusan Mahkamah Konstitusi ihwal gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua—aturan yang menjadi alas hukum pemekaran struktur pemerintahan di Bumi Cenderawasih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka juga mengkritik survei otonomi Papua yang menyebutkan 82 persen warga Papua mendukung pemekaran wilayah. Setelah menemui Presiden Jokowi di Istana Negara pada dua hari lalu, MRP menyambangi DPR, kemarin. Ketua MRP Timotius Murib dan kawan-kawan diterima Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad.

Murib menyatakan rakyat Papua menolak usulan pemekaran daerah otonomi baru (DOB). Alasannya, pemerintah masih memberlakukan moratorium pembentukan daerah otonom di seluruh wilayah. “Kedua, belum ada kajian ilmiah di semua aspek terkait dengan perlunya DOB provinsi baru di Papua,” kata Murib, kemarin.

Pendanaan juga menjadi alasan lain penolakan. Murib mengatakan sebagian besar daerah di Papua tak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD). Hampir semua kabupaten menggantungkan anggaran pendapatan pada alokasi dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Murib khawatir provinsi baru akan ambruk jika terus mengandalkan anggaran pemerintah pusat. Mereka juga menilai Papua kekurangan sumber daya manusia.

Mahfud Md. (kiri) dan Ketua MRP, Timotius Murib (kedua dari kanan), di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, 15 April 2022. Dok. Humas MRP

Murib juga mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. yang mengklaim bahwa 82 persen rakyat Papua dan Papua Barat menyetujui pemekaran tersebut. “Itu kajian dari mana, kapan, dan siapa yang melakukan?” ujar Murib.

Menurut Mahfud, terdapat 354 permohonan pemekaran daerah. Namun Presiden Jokowi bakal berfokus mengembangkan tiga provinsi baru di tanah Papua.

Mahfud menilai penolakan pemekaran wilayah Papua sebagai reaksi yang wajar. “Apalagi selama ini warga Papua juga sering menggelar demonstrasi,” katanya.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan MPR meminta DPR menunda pengesahan undang-undang daerah otonomi baru di Papua. Dia berjanji akan berkomunikasi dengan sejumlah pihak untuk membantu aspirasi Majelis Rakyat Papua. Parlemen berjanji pembahasan undang-undang bakal dilakukan parsial sembari menunggu putusan Mahkamah Konstitusi.

Menentang Wacana Pemekaran Otonomi Papua

MRP pada akhir tahun lalu mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi ihwal revisi Undang-Undang Otonomi Khusus. Ketentuan tersebut dinilai merugikan hak konstitusional orang asli Papua, terutama aturan Pasal 68 ayat 1 dan 2 tentang penghapusan pembentukan partai politik yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Ketua Jaringan Damai Papua, Pastor John Bunay, menyebutkan semua gereja di Papua sudah menyatakan penolakan atas rencana pemekaran provinsi. Dia juga menampik klaim Jakarta soal dukungan mayoritas warga lewat survei otonomi Papua. “Rakyat Papua dan gereja tidak pernah dilibatkan dalam jajak pendapat,” ujar dia. Menurut Bunay, rakyat menolak dengan alasan pemekaran Papua merupakan alat negara untuk merepresi kebebasan sipil, juga untuk mengeksploitasi sumber daya alam Papua. “Kabupaten yang ada selama ini tak berkembang, apalagi jika dibuat provinsi baru,” kata Bunay.

AVIT HIDAYAT | ANTARA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus