Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Mahfud Md: Pola Kecurangan Pemilu Sudah Berubah, Kini Kembali Melibatkan Negara

Mahfud Md menyebut curangan pemilu saat ini bentuknya mirip dengan pemilu yang belangsung era Orde Baru, karena pemenang telah ditentukan.

8 Mei 2024 | 12.59 WIB

Calon wakil presiden nomor urut 03, Mahfud MD membacakan pandangan saat mengikuti Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pemilu 2024 atas gugatan Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 di Gedung Mahkamah Kontitusi, Jakarta, Rabu 27 Maret 2024. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Calon wakil presiden nomor urut 03, Mahfud MD membacakan pandangan saat mengikuti Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pemilu 2024 atas gugatan Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 di Gedung Mahkamah Kontitusi, Jakarta, Rabu 27 Maret 2024. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan calon wakil presiden (cawapres) Pemilu 2024 Mahfud Md., mengatakan gelagat kecurangan Pemilu belakangan ini sudah bergeser kembali bersifat vertikal atau melibatkan pemerintah atau penguasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo


“Tren kecurangan pemilu belakangan ditengarai sudah bergeser kembali menjadi vertikal, melalui mobilisasi aparat dan penggunaan fasilitas negara, namun disamarkan sehingga terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif,” kata Mahfud saat menjadi pembicara seminar nasional Pelaksanaan Pemitu 2024: Evaluasi dan Gagasan ke Depan di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Rabu 8 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta itu menuturkan tren kecurangan pemilu secara vertikal saat ini bentuknya mirip dengan pemilu yang belangsung era Orde Baru. Di mana pada masa itu, pemenang pemilu ditengarai sudah diatur sesuai keinginan penguasa.


“Kalau dulu di zaman Orde Baru (kecurangan) vertikal itu semuanya sudah diatur, yang menang harus ini, yang kalah ini, suaranya dibuat segini, lalu itu tren itu berhasil dihapus di masa reformasi,” kata dia.


Namun pada awal Reformasi setidaknya sampai 2014 silam, ujar Mahfud, kecurangan Pemilu mulai bergeser berpola horizontal. “Kecurangan horizontal itu hanya melibatkan antar kontestan parpol (partai politik), kader dengan parpolnya, antar pasangan calon, jadi pemerintah tidak ikut mencurangi,” kata Mahfud.


“Kita berhasil melakukannya dengan cukup baik (sehingga kecurangan Pemilu) terus bergeser menjadi horizontal, namun sejak 2019 bergeser lagi (ke vertikal),” ujar Mahfud melanjutkan. "Mobilisasi aparat dan fasilitas negara dipakai tapi dipakai alasan-alasan, yang ada aturannya."


Upaya mengungkap dugaan kecurangan melalui lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi atau MK di pola pergeseran tren kecurangan vertikal ini, ujar Mahfud, bisa terprediksikan menemui kegagalan.
“Karena hasilnya menurut MK, dugaan dugaan kecurangan terstruktur sistematis dan masif itu tidak terbukti secara hukum,” ujar dia.

Mahfud pun memberi catatan. Sebagai mantan cawapres peserta Pemilu Presiden 2024, ia sudah tidak bisa lagi mempersoalkan keputusan MK soal hasil Pilpres 2024 yang sudah diputuskan. MK telah menyatakan tak ada bukti kecurangan Pemilu 2024.


“Saya tak bisa lagi mempersoalkan keputusan MK itu demi keadaban dalam hukum. meskipun misalnya saya merasa tidak puas atau kecewa atas putusan itu, saya harus menerima,” kata dia. “Sebab vonis MK itu sebagai produk pengadilan yang final dan mengikat.”

Sebagai warga negara, Mahfud menyatakan dirinya mengikuti kaidah fiqh, hukmul hakim yarfaul khilaaf, yang artinya keputusan hakim mengakhiri perselisihan. “Jadi bagi saya yang penting negara ini harus terus berjalan, tidak boleh mandeg apalagi menjadi kacau hanya karena pertengkaran yang tak kunjung selesai," ucapnya.

Perjalanan menjaga negara dan keharusan munculnya pemerintahan sesuai dengan konstitusi harus dinomersatukan,” Mahfud.
“Tidak ada lagi upaya hukum konstitusi yang bisa dilakukan untuk melawan vonis MK tersebut.” 



Imam Hamdi

Imam Hamdi

Bergabung dengan Tempo sejak 2017, setelah dua tahun sebelumnya menjadi kontributor Tempo di Depok, Jawa Barat. Lulusan UPN Veteran Jakarta ini lama ditugaskan di Balai Kota DKI Jakarta dan mendalami isu-isu human interest.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus