Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA -- Majelis Rakyat Papua berencana mengunjungi Kabupaten Intan Jaya untuk melakukan advokasi dan menelusuri kasus dugaan penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa pada 19 September lalu. Majelis Rakyat menduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus ini. Selain itu, pengusutan yang dilakukan oleh penegak hukum belum membuahkan hasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tenaga ahli Majelis Rakyat Papua, Wensislaus Fatubun, menyatakan kunjungan ke Intan Jaya seharusnya dilakukan pada pekan ini. Namun rencana tersebut tertunda. "Kami ingin menjelaskan (kepada keluarga korban dan publik) bagaimana menggunakan mekanisme HAM untuk menyelesaikan kasus ini," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Majelis Rakyat sebelumnya turut aktif melakukan advokasi kasus ini bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Intan Jaya dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Parlemen Papua juga terlibat dalam pertemuan antara Komando Resor Militer XVII Cenderawasih, Kepolisian Daerah Papua, pengurus gereja di Papua, dan tokoh masyarakat adat untuk membahas penembakan Yeremia.
Menurut Wensislaus, Majelis Rakyat akan membantu keluarga korban dan tokoh masyarakat setempat membuat laporan kronologi penembakan yang selanjutnya disampaikan kepada Komnas HAM. Laporan ini juga dapat dipakai untuk membantu kepolisian menemukan pelaku penembakan yang diduga berasal dari pihak militer.
Lembaga yang beranggotakan penduduk asli Papua itu juga berkepentingan menyelidiki kasus ini untuk menjadi bahan rapat kerja dengan Kepolisian Daerah Papua. Dalam kasus ini, Wensislaus menyatakan, kepolisian terlalu dini menyimpulkan bahwa pelaku penembakan pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia itu adalah anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, menyatakan lembaganya juga berencana mengirim staf Komnas HAM Kantor Perwakilan Papua yang menangani kasus ini ke Intan jaya. Menurut dia, Komnas HAM juga telah dimintai usul dari seorang staf khusus Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. terkait dengan penanganan kasus Yeremia.
"Dia setiap hari dekat dengan Pak Mahfud, memberi masukan strategi bagaimana cara menanganinya," ucap Beka, kemarin.
Beka berujar, Komnas HAM mengusulkan agar pemerintah membentuk tim penyelidik gabungan independen yang beranggotakan personel kepolisian, TNI, akademikus, praktisi hukum, masyarakat sipil, dan perwakilan gereja. Usul ini sudah disampaikan secara langsung oleh Beka kepada staf khusus tanpa melalui surat.
Informasi ini sekaligus sebagai ralat atas berita di Koran Tempo edisi 25 September 2020 yang berjudul “Komnas HAM Surati Pemerintah Soal Penembakan Pendeta”. Di dalam berita itu tertulis bahwa Komnas HAM mengirim surat desakan kepada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk membentuk tim gabungan.
"Kalau surat-menyurat pasti akan lama. (Sedangkan) kami juga pasti memperbarui dulu perkembangan di lapangan," kata dia.
Hanya, Beka mengaku belum mendapat laporan perkembangan dari pemerintah ihwal langkah-langkah yang akan ditempuh untuk menyelesaikan kasus penembakan ini. Termasuk terkait dengan usulannya tentang pembentukan tim gabungan. Menteri Mahfud belum menjawab upaya konfirmasi Tempo perihal usul tersebut.
Sekretaris II Dewan Adat Papua, John Gobay, mencatat sedikitnya terdapat 18 orang dari berbagai pihak yang menjadi korban konflik di beberapa kabupaten, termasuk Intan Jaya, sejak Oktober tahun lalu. "Melihat kasus penembakan pendeta ini tidak bisa berdiri sendiri, ada sebab-sebab sebelumnya," ucap Gobay.
Korban-korban kekerasan itu terdiri atas anggota militer, masyarakat sipil, dan anggota kelompok bersenjata. Menurut dia, Yeremia dan Pendeta Alfred Degei yang meninggal di Nabire pada 22 September lalu merupakan beberapa korban dari belasan kasus. Dewan Adat Papua mendesak agar Komnas HAM mengusut kasus-kasus tersebut bersama penegak hukum.
Ketua Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Gereja Kingmi Papua, Yones Douw, menyatakan pihak keluarga Alfred Degei bakal mengklarifikasi pernyataan kepolisian bahwa keluarga korban enggan Alfred diautopsi. "Autopsi itu justru tuntutan kami, tapi di Rumah Sakit Umum Daerah Nabire tidak lengkap, jadi tidak bisa autopsi," ucapnya.
Yones menyampaikan bahwa rumah sakit hanya melakukan visum terhadap jenazah Alfred. Itu pun hasilnya tidak dibuka kepada keluarga. Yones yakin korban meninggal karena dibunuh setelah ditemukan tiga luka menganga di kepala. Namun kepolisian secara tertulis menyampaikan bahwa Alfred meninggal karena sakit epilepsi.
AVIT HIDAYAT
15
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo