Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMELUT dalam tubuh NU ternyata tak juga kunjung reda. Itu diawali dengan rapat pada 13 Januari lalu di rumah anggota DPR/MPR Hasan Rahaya, Jalan Matraman, Jakarta. Tuan rumah sendiri tak ikut hadir. Pengundangnya adalah KH Anwar Musaddad, Wakil Rais Aam NU, yang mengaku telah menerima amanat Rais Aam Ali Ma'shum untuk menyelesaikan pertikaian dalam pimpinan NU. Musaddad menyebut rapat ini sebagai upaya mencari jalan keluar dari konflik itu. "Saya khawatir bila tidak segera diselesaikan akan mengganggu ketenangan menjelang Sidang Umum MPR," ujarnya pada TEMPO. Ia menganggap sebagai formatir dirinya berhak menertibkan keadaan dalam PB NU. "Dalam keputusan rapat formatir di Semarang waktu membentuk PB NU ada satu klausul yang berbunyi: bila terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki akan diadakan perbaikan," kata Musaddad. Masih terjadinya konflik dalam NU diartikannya tugas formatir belum selesai. Ternyata perdamaian, sekalipun di antara para kiai, tak juga mudah tercapai. Perbedaan pendapat segera muncul tatkala rapat membicarakan sumber konflik NU. Muncul dua kelompok. Pihak pertama berpendapat Munas Ulama NU di Kaliurang pada 1981 yang memilih KH Ali Ma'shum sebagai Rais Aam tidak sah, dan Idham Chalid tetap Ketua Umum PB NU. Sedang kelompok kedua menganggap Munas Kaliurang sah dan tak bisa diganggu gugat, sedang Idham sejak mengundurkan diri 6 Mei 1982 bukan lagi ketua umum. Pembicaraan menjadi hangat tatkala Idham Chalid mengusulkan agar Munas Ulama Kaliurang tidak diakui. Musaddad, Ali Yafie dan Imam Sofwan menyetujui ini. KH Masykur menanyakan kepada Musaddad yang memimpin rapat, apakah usul itu berarti pengangkatan KH Ali Ma'shum juga tak diakui. Musaddad mengiyakannya. Jawaban ini rupanya menggusarkan Masykur. "Lho bagaimana tak mengakui. Padahal sampeyan kan yang dulu membaiatnya?" kata Masykur pada Musaddad. Diingatkannya juga, Musaddadlah yang pada Munas Ulama Kaliurang itu memimpin komisi yang kemudian mengangkat Ali Ma'shum sebagai Rais Aam. Karena kedua kelompok pendapat ini tak bisa dipertemukan, Musaddad memutuskan untuk mengadakan voting. Hasilnya: empat suara setuju membentuk kepengurusan baru, dan dua orang -- Masykur dan Jusuf Hasjim -- menolak. Mereka berdua meninggalkan pertemuan tersebut. Malam itu juga dibuat pengumuman nomor 001/A.II/O5.b/1983 yang ditandatangani Idham, Ali Yafie dan Imam Sofwan. Musaddad sendiri baru menandatanganinya 10 hari kemudian di Bandung setelah didatangi Nuddin Lubis dan Imam Sofwan. Di situ antara lain dinyatakan: berhubung perkembangan dalam tubuh NU akhir-akhir ini membingungkan kalangan NU sendiri dan masyarakat di luar NU, yang apabila tak dicegah akan semakin berlarut-larut dan mengakibatkan mundurnya NU, dipandang perlu untuk mengadakan langkah dan tindakan untuk memulihkan keutuhan dan kelancaran jalannya organisasi. Tindakan tersebut berupa keputusan: kepengurusan PB NU yang sah, yang berhak menandatangani semua jenis surat, mandat, instruksi, pernyataan dan sebagainya, di tingkat syuriah adalah Anwar Musaddad dan Ali Yafie. Di tingkat Tanfidiah adalah Idham Chalid, Imam Sofwan, Nuddin Lubis dan Lukmanul Hakim. Selanjutnya pada kekatiban Syuriah Aminuddin Azis ditunjuk sebagai Katib Syuriah, sedang pada sekretariat jenderal semua surat yang sah hanya ditandatangani Chalid Mawardi atau Cecep Syarifuddin, yang kebetulan menantu Musaddad. Keputusan ini dinyatakan berlaku sampai muktamar yang "akan segera diadakan". KEPUTUSAN tersebut berarti secara tidak langsung pemecatan 12 orang anggota PB NU: Ali Ma'shum, Masykur, Saifuddin Zuhri, Imron Rosyadi, Hamid Wijaya, Abdurrahman Wahid, Rodi Sholeh, Jusuf Hasjim, Mahbub Djunaidi, Munasir, Zamroni dan Chalik Ali. "Itu suatu tindakan kalap yang tak perlu digubris," kata Jusuf Hasjim. Ketua II PB NU Mahbub Djunaidi, yang disingkirkan Idham Chalid dkk. menganggap rapat formatir 13 Januari itu tidak sah. "Tugas formatir sudah berakhir setelah terbentuk PB NU," ujarnya. Tentang klausul yang dipakai Musaddad sebagai alasan berhaknya formatir kembali tampil, Mahbub menolak dengan keras. "Klausul itu kan cuma basa-basi yang biasa dibuat dalam suatu surat keputusan," katanya. NU wilayah Jawa Timur rupanya menolak keputusan Idham Chalid dkk. Pada 22 Januari lalu mereka mengadakan rapat kilat, dihadiri seluruh cabang NU di provinsi tersebut. Turut hadir antara lain KH As'ad Syamsul Arifin dan KH Machrus Ali. Rais Aam KH Ali Ma'shum, yang sejak Agustus lalu menyatakan diri Pemangku Jabatan Ketua Umum PB NU menolak. "Saya tidak diundang dan tidak diberitahu adanya rapat itu," kata Kiai Ali di pesantrennya pekan lalu. Ia menegaskan, PB NU di bawah kepemimpinannya teup jalan. "Biar anjing menggonggong, kami akan tetap berjalan terus," katanya. Mengapa Idham Chalid dkk. melakukan gerakannya itu hanya beberapa pekan sebelum Sidang Umum MPR? Padahal konon Idham dan As'ad -- tatkala keduanya bertemu November 1982 -- sudah sepakat untuk "tidak membuat keramaian" sampai SU MPR Maret. Timbul macam-macam spekulasi. Bahkan ada yang mengaitkan gerakan "pemecatan" itu dengan kemungkinan pencalonan Idham sebagai wapres. Tapi yang pasti, luka itu telah menggigit lebih dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo